♥ARTI CINTA SESUNGGUHNYA♥
Siti Syofiatun N. (sahabatku, red).
Hujan
turun lagi pagi ini. Dinginnya cuaca menemani
perjalananku menuju sekolahku tercinta. Langit mendung diatas sana. Aku
tersenyum sendiri tanpa kusadari. “Ya
Tuhan, terima kasih untuk hujan yang Kau
turunkan hari ini. Semoga saja hujan ini membawa berkah untuk kami semua.”
Doaku dalam hati.
Rintik-rintik
hujan yang turun menciptakan titik-titik air di atas kaca depan mobil. Ayah mengemudi dengan tenang di sebelahku
sambil bersenandung ria. Akupun tersenyum melihatnya.
Hari
ini adalah hari pertama aku masuk ke kelas baruku sebagai siswi kelas XII-IPA
di SMA Nusantara di daerah Jakarta Timur. Di dalam hati aku bertanya-tanya “Siapa sajakah teman baruku di kelas ini?
Karena terjadi pengacakan siswa untuk setiap tahun ajaran baru.”
***
“Ayah,
aku masuk ke sekolah dulu, ya?” kataku sambil membuka pintu mobil. “Iya sayang,
hati-hati.” Aku tersenyum menanggapi kata-kata ayahku. “Assalammualaikum, yah.”
Aku mencium tangan ayahku sebelum memasuki gerbang sekolah. “Wa’alaikum salam,
sayang.” Senyum ayah mengiringi kepergianku.
Aku
berjalan menyusuri koridor sekolah. “Ternyata
kangen juga, ya sama sekolah ini setelah 2 minggu liburan.” Kataku dalam
hati sambil memperhatikan deretan kelas yang ada di sebelahku. Aku tersenyum
sepanjang perjalanan, senang rasanya bisa bertemu kembali dengan teman-teman.
BUUKK!!!
Tiba-tiba sesuatu yang berat menabrak badanku dari arah depan. Tak terasa aku
jatuh terpental ke lantai. Semua buku yang kugenggam tadi jatuh berhamburan di
atas lantai. Aku bangun dari posisiku yang dilihatin banyak orang. Cepat-cepat
aku melihat orang yang telah menabrakku dengan kurangajarnya.
Ternyata
orang itu juga jatuh di atas lantai. Dia ikut bangun dari atas lantai. “Maaf...
Maaf. Aku tidak bermaksud untuk menabrakmu. Aku sedang terburu-buru tadi.”
Katanya sambil merapikan buku-bukuku yang bergeletakan di lantai tanpa
memandangku sama sekali.
Aku
berjongkok di depannya, ikut mengambil buku-bukuku yang terjatuh di lantai. Aku
berdiri dan dia pun juga ikut berdiri. Saat itulah untuk pertama kalinya sejak
kejadian tadi aku benar-benar melihat wajah orang itu. “OMG!! Itu Arya, cowok terkeren, tertampan, terkaya, dan terpopuler di
sekolahku.” Aku menutup mulutku yang terbuka tidak sopan saking kagetnya.
Dia memandangku dan memanggil namaku. “Nadia, ya??” tanyanya polos.
Aku
mengangguk linglung menjawab pertanyaannya. “Tunggu!
Kok dia bisa tau namaku sih??” tanyaku dalam hati. “Kalau aku sih tentu kenal dia karena dia populer. Tapi gimana bisa dia
kenal cewek kuper kayak aku??”
“Emmh,
kok tau namaku sih?” tanyaku polos. Dia tiba-tiba tertawa sambil memandangku.
Aku melihatnya dengan heran. “Upss, sorry-sorry. Kelepasan. Habis kamunya lucu
banget.” Dia tersenyum kemudian menghela napas panjang. Aku hanya bisa terdiam
memandangnya.
“Kamu
benar-benar nggak ingat aku?” aku menggelengkan kepala sambil masih
terheran-heran dengan kejadian ini. “Aku Arya, teman kamu waktu TK dulu. Wah,
benar-benar amnesia nih anak.” Katanya sambil menggelengkan kepala. “Whattt?? TK! Gilak apa dia? TK gue udah 11
tahun yang lalu. Gimana mau ingat?”
Aku
hanya menjawab pertanyaannya dengan tersenyum nggak jelas. Kemudian dia
memberikan bukuku yang sedari tadi dia pegang padaku. “Oke deh, aku harus
cepat-cepat menemui Pak Hasan dulu. Kita ngobrol lagi lain kali, ya?” katanya
sambil tersenyum lantas meninggalkanku.
Aku
tak pernah membayangkan sebelumnya kalau aku akan ngobrol dengan anak
terpopuler di sekolahku. Tapi percaya atau tidak, setelah kejadian itu aku jadi
dekat dengan Arya Nugraha Kurniawan (cowok paling digila-gilai oleh semua cewek
di sekolahku).
***
Aku
masuk ke dalam kelas dengan gusar. Tidak ada bangku kosong yang tersisa, hanya
ada 1 bangku tersisa di sebelah cewek yang sedang meniup permen karetnya
sehingga membentuk balon kecil. Tiba-tiba permen karet itu meledak dan
menyisakan lengketnya permen karet di sekitar bibir cewek itu. Aku tertawa
terbahak-bahak di depannya dan dia ikut menertawakan dirinya sendiri.
“Hallo,
aku Nadia.” Kataku sambil mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku dengan
senang hati. “Hai, aku Dinda.” Katanya sambil tersenyum. “Apa aku boleh duduk
di sebelahmu?” tanpa basa basi dia pun mengangguk. “Why not?” Aku duduk di
sebelahnya sambil melanjutkan perbincangan kami tadi dan menunggu bel masuk
berbunyi.
Saat
aku tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang diceritakan Dinda, seseorang
dengan jahilnya melempar kertas yang dengan mulusnya mengenai kepalaku. “Auuh,
siapa sih lempar-lempar nggak jelas? Sakit tau!” aku menoleh pada orang itu.
Dia tersenyum jahil padaku. “Lama-lama
aku bisa masuk rumah sakit gara-gara jantungan kalau tiap hari musti ketemu
sama cowok ini.” Aku cemberut dalam hati. “Hai, kita ketemu lagi, ya?” kata
Arya sambil melambaikan tangan padaku.
***
Teman
yang baik, sahabat yang baik takkan pernah mementingkan egonya sendiri. Karena
teman adalah tempat untuk saling berbagi, menerima, dan member kekurangan dan
kelebihan masing-masing pihak. Tak pernah masing-masing dari kami bersikap
menang sendiri. Karena aku, Dinda, mau pun Arya selalu meminta pendapat
masing-masing dari kami. Selalu ingin dikritik karena dengan itu kami sadar
bahwa kami saling menyayangi satu sama lain.
Kami sudah kelas
3 dan akan menghadapi ujian, walau hari yang aku jalani adalah hari yang
melelahkan, tapi jika ada mereka berdua terasa menyenangkan.
Seperti
biasa, hari ini aku pulang sore lagi karena aku harus mengikuti bimbel dan
seperti biasa juga hari ini hujan terus-terusan turun. “Ah, langit nangis lagi.
Nggak habis apa tuh air mata?” gerutuku sambil menatap langit yang menurunkan
banyak rintik hujan.
Kutaruh
stopmap plastik di atas kepalaku yang berkerudung untuk menghalau hujan.
Kuterobos rintik-rintik hujan yang dengan derasnya turun. Dinda sudah pulang
dari tadi karena dia sudah dijemput. Sementara Arya sudah keluar kelas dari
tadi, mungkin dia juga sudah pulang. Baru sedetik lalu aku memikirkan hal itu,
tapi kini aku melihatnya tengah berdiri tidak jauh dari tempatku berada.
Dia
berdiri di depan emperan toko sambil memainkan rubiknya. Sepeda gunungnya ia
parkir di sebelahnya. Aku dengan tergesa-gesa berlari kearahnya. Aku pun ikut
berteduh di sampingnya, dengan kesal kubersihkan bajuku yang sudah basah kuyub
terkena air hujan. Arya tetap terfokus pada rubiknya, ia tak menoleh sama
sekali kepadaku. Aku jadi kesal dengannya.
“Hem,
hem.” Aku berdeham di sebelahnya. Ia menoleh kepadaku dan baru sadar kalau
sedari tadi aku memperhatikannya. Dia tersenyum dan menyapaku dengan sok lugu.
“Oh,,,
haii. Sorry, nggak sadar kalau ada orang.”
“Iya,
nggak apa-apa kok.”
“Kamu
nungguin jemputan, ya?”
“Iya
nih. Mana ayahku lama banget lagi.” Dia tersenyum menanggapi kata-kataku.
Tiba-tiba saja jantungku berdebar tak karuan. “Hah, tuh kan bener. Dari awal aku udah ngerasa aku bakal jantungan
kalau selalu bertemu dia.” Pikirku dalam hati.
Dia
merogoh kantung tasnya dan memberikan sesuatu kepadaku. Sesuatu yang hangat
saat ku pegang. Ternyata itu teh hangat. “Lumayan buat angetin badan.” Aku
menerimanya dengan tersenyum. “Makasih, ya.” Ku minum teh hangat pemberian
darinya. Tak lama setelah itu ayahku datang menjemput. “Aku pulang dulu ya,
bye.” Aku meninggalkannya dan berlari menuju mobil.
***
“Mana
sih nih anak? Udah jam segini masak belum datang-datang juga?” jam sudah
menunjukkan pukul 06.45 tapi Dinda belum juga datang ke sekolah. Aku celingukan
sendiri di bangkuku sambil memandang ke luar kelas.
Aku
bangkit berdiri dari bangku dan berjalan keluar kelas. Angin sepoi-sepoi menyentuh
pipiku yang hangat. Kujatuh terduduk di bangku yang terletak di dekat pohon.
Kupandangi bunga-bunga yang ada di taman.
Tiba-tiba
sebuah tangan menyentuh lenganku, secara reflex langsung kulepaskan tanganku
dari genggamannya. “Hai, sorry. Aku ngagetin kamu, ya?” Alex teman sekelasku
lantas duduk di sebelahku. Aku menggeser posisi dudukku untuk menjauh darinya.
“Emm, nggak apa-apa kok.”
“Ngapain
kamu sendirian di sini? Di sinikan dingin banget.”
“Aku
lagi pingin sendirian aja.”
“Kemana
dua anjing peliharaanmu itu yang selalu mengikutimu?”
“Anjing??”
aku bertanya tak percaya.
“Iya,
itu dua orang yang selalu bersamamu.”
“Mereka
bukan anjing! Mereka berdua adalah sahabatku.” Kataku dengan marah. Tiba-tiba
saja rasanya darahku menjadi mendidih karena kata-katanya. “Sebaiknya kau jaga
kata-katamu bila kamu ingin dihargai oleh orang lain.”
“Oke.
Oke. I’m sorry. Aku hanya bercanda.” Aku diam tak menanggapi kata-katanya.
Untuk beberapa saat kami diam tak berbicara.
“By
the way. Nanti malam kamu ada acara nggak?” tanyanya.
“Nggak
ada.”
“Kalau
gitu nanti malam kamu pasti bisa nemeni aku nonton, kan?”
“Sorry
aku nggak bisa.” Aku bangkit dari tempat dudukku. Saat aku melewatinya untuk
kembali ke kelas, tiba-tiba dia menyentuh tanganku lagi. Kutepis tangannya.
“Apa yang kau lakukan?? Jangan kurangajar, ya!”
“Ayolah!
Sejak awal aku sudah menyukaimu.” Dia bangkit berdiri dan dengan cepat aku
melangkah mundur menjauhinya. “Tapi aku tidak menyukaimu.” Saat dia mulai
melangkah mendekatiku sebuah tas ransel berat melayang di belakangnya dan
dengan mulus mengenai kepalanya menimbulkan suara BUKKK yang lumayan keras dan
dia pun jatuh tersungkur.
Aku
menghadap ke depan dan melihat Arya sudah berlari mendekat. Dengan cepatnya ia
mencengkram kerah baju Alex dan menjatuhkan tinjunya yang besar ke arah wajah
Alex. Alex pun jatuh ke tanah tanpa perlawanan. Arya lantas mengambil tas
ranselnya yang tadi jatuh di tanah.
“Kalau
kau memang laki-laki, kau tak kan bersikap kurangajar terhadap seorang wanita!”
katanya sambil menunjuk Alex. Sebelum ia pergi, ia melayangkan pandangan
kesalnya padaku. Aku yang masih terpaku hanya diam tertegun tak dapat berucap
satu patah kata pun dan tanpa kusadari rasa itu kembali muncul.
***
Tok…
tok… tok. Bunyi pintu kelas yang diketuk membuyarkan konsentrasi seluruh isi
ruangan, sementara Pak Hasan yang sedang menerangkan pelajaran ikut berhenti
berbicara. “Masuk!” pintu pun terbuka dan dua orang yang kukenal masuk ke dalam
kelas.
“Dari
mana saja kalian berdua? Kalian telat mengikuti pelajaran saya sudah 15 menit.”
Omel Pak Hasan.
“Emm…
begini, Pak…….” Perkataan Dinda pun terhenti karena kakinya diinjak oleh Arya.
“Kami tadi dipanggil Bapak Kepala Sekolah, Pak.” Arya tersenyum santai pada Pak
Hasan. “Ya sudah. Kalian cepat duduk sana!” Mereka berdua lantas duduk di
bangku masing-masing.
Setelah
pelajaran Pak Hasan selesai, Dinda menoleh padaku dan menatapku dengan jahil.
“Sebenarnya ada apa sih dengan kalian berdua?” itulah saat pertama kami mulai
berbicara setelah dia datang terlambat.
“Maksudmu?
Ada apa gimana?” tanyaku heran.
“Iya,
kalian berdua kenapa? Antara kamu dengan Arya.”
“Aku
tidak mengerti apa maksudmu?”
“Em,
begini…” Dia berhenti bicara dan celingukan mencari sesuatu. “Untung Arya nggak
ada. Jadi gini ceritanya.” Dia mulai bercerita padaku dengan semangat ’45.
“Waktu aku berjalan menuju kelas, aku berpapasan dengan Arya di koridor.
Tiba-tiba dia menarik tanganku dan menyeretku untuk mengikutinya….”
“Ad…. Ada apa ini? Arya lepasin aku! Kelas
kita ada di sana. Kita mau kemana?” Arya tak hentinya menyeretku dan aku
terpaksa berjalan mengikuti langkahnya. “Ahh, cerewet. Ikut aja dan nggak usah
banyak tanya!”
Ia menyeretku
sampai akhirnya kami berhenti di kantin sekolah. Dengan titah seorang raja dia
menunjuk sebuah bangku. “Duduk!” dan seperti keledai dungu aku pun mengikuti
titahnya. Lalu dia meninggalkan aku yang masih terheran-heran. “Kenapa sih nih
anak? Aneh banget hari ini.”
Ia kembali sambil
membawa dua gelas Cola yang ia pesan di kantin. Ia duduk di depanku dan menyodorkan
satu gelas Cola padaku. Dengan cepat ia menengguk Colanya. “Arya, sebenarnya
ada apa sih? Kamu tuh aneh banget hari ini.” Aku memandangi tingkah lakunya.
Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah mengacak-acak rambutnya. Aku hanya
bias memandangnya dengan heran. “Menurutmu wajar nggak sih kalau aku jatuh
cinta sama Nadia.” Ia mengangkat kepalanya dan menatapku. “Whatt??” aku melongo
menatapnya.
“Dan
begitulah ceritanya. Makanya tadi aku terlambat sama Arya.” Aku hanya bias
menatap kosong pada Dinda. Arya jatuh cinta padaku? Lantas mengapa pandangannya
padaku tadi seolah-olah dia sangat membenciku. Aku hanya dapat bertanya-tanya
dalam hati.
***
“Assalammualaikum
warah matullah… Asslammualaikum warah matullah.” Kuucap salam dengan menengok
ke kanan dan ke kiri di bagian akhir sholatku. Kutengadahkan kedua tanganku dan
mulai bermunajah pada Allah SWT. “Ya
Allah ya Rabb berikanlah aku kesabaran dalam hidup ini. Berikanlah aku ilmu dan
kepandaian yang barokah untukku agar aku dapat lulus dengan hasil yang baik.
Amin.” Doaku dalam hati.
Kulepas
mukenaku dan kulipat sedemikian rupa agar rapi, lalu kukembalikan ke lemari
tempat alat-alat sholat disimpan. Kupakai lagi kerudungku. Saat aku bangkit
berdiri, aku melihat Arya masih khusyuk menunaikan ibadahnya di bagian shof
paling depan. Aku melihat jam tanganku masih pukul 13.30 dan kurang setengah
jam lagi bimbel akan dimulai, tapi mushola sekolah sudah sepi pengunjung. Seminggu
setelah kejadian itu Arya masih belum mengajakku berbicara sama sekali dan
Dinda terus-terusan bertanya padaku tentang kami.
Aku
duduk di teras mushola sambil menghela napas panjang. Kupakai kedua kaos kaki
dan sepatuku. Sebelum aku kembali ke kelas, sebuah suara memanggil namaku. Itu
suara Arya. “Nadia…”
Aku
berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya. “Iya.”
“Bisa
kita berbicara sebentar?”
Butuh
2 detik untukku menjawab pertanyaannya. “Bisa.” Aku duduk tidak jauh dari
tempatnya duduk. Sekitar 3 meter dari posisinya. Aku terus-terusan memandangi
tanah karena gugup memikirkan apa yang akan dikatakan oleh Arya.
Ia
menghela napas panjang sebelum mulai bicara. “Aku tau kamu pasti marah kepadaku
karena kejadian seminggu yang lalu. Aku tau kamu kecewa dan kaget melihatku
yang bertingkah seperti itu. Aku minta maaf bila seminggu terakhir ini aku tak
pernah mengajakmu bicara.”
Aku memandangnya heran. “Aku tidak marah
terhadapmu dan aku tidak kecewa karenamu. Aku malah sangat berterima kasih
karena kamu telah menyelamatkanku dari hal apa pun yang akan diperbuat oleh
Alex.”
“Kau
pasti sudah mengetahui semuanya dari Dinda. Ya, Nadia. Ya, aku akui bahwa aku
memang telah jatuh cinta padamu. Maaf bila perasaanku telah merusak
persahabatan diantara kita.” Aku terdiam tak sanggup berkata-kata. “Aku juga
tau orang seperti apa dirimu. Aku tau kamu nggak akan mau pacaran dulu sebelum
kamu bias meraih cita-citamu. Aku juga begitu, Nad. Tapi hanya dengan berkata
seperti ini hatiku baru bisa tenang. Rasanya aku sudah mencurahkan seluruh rasa
yang kupendam selama ini.”
“Arya…..”
“Nadia,
kau tak perlu cemas. Kita tetap berteman, kan?” katanya sambil tersenyum dan
memandangku. Aku pun ikut tersenyum bersamanya. Tanpa kusadari rasa itu muncul
lagi.
***
Setelah
kejadian itu kami tetap bersahabat. Hari-hari kami lewati bersama. Suka dan
duka kami bertiga bagi satu sama lain. Itulah persahabatan yang sesungguhnya.
Tak
terasa bulan demi bulan dengan cepat berlalu. Dan kurang dari seminggu kami
akan menghadapi ujian nasional. Kami selalu belajar bersama. Bila ada kesulitan
pasti kami berunding. Dan saat ujian nasional pun tiba.
“Good
luck, teman-teman.” Kataku kepada Dinda dan Arya. “Kamu juga, Nad.” Dinda
menepuk pundakku dan masuk ke dalam ruangan. “Jangan lupa baca basmallah.” Arya
tersenyum dan ikut masuk ke dalam ruangan bersama Dinda.
***
Hari
kelulusan tiba. Tak sabar aku ingin mengetahui hasil ujianku. Hari ini adalah
hari paripurna siswa sekaligus hari pengumuman kelulusan siswa.
Saat
tiba di sekolah Dinda sudah menyambutku di depan aula pertemuan. “Huh… akhirnya
kamu datang juga. Aku sudah deg-degan nunggu hasil ujian kita semua.” Dia
menggandengku ke tempat duduk kami. Arya duduk di sebelah Dinda. Dia tersenyum
padaku dan mulai mengajak Dinda berbicara.
Acara
demi acara berlalu dengan meriah dan saat pengumuman 5 besar pun tiba. Setelah
hal itu diumumkan aku benar-benar merasa takjub. Kedua sahabatku berhasil
mendapatkan danem diatas rata-rata. Mereka maju ke depan dan menerima ucapan
selamat dari Bapak Kepala Sekolah. Setelah turun dari panggung Dinda
menghampiriku dan memelukku.
“Selamat
ya, Din.” Ucapku bahagia. “Selamat juga buatmu Arya.”
“Makasih
banyak, Nad.” Dinda tersenyum padaku.
“Setelah
ini kamu mau melanjutkan kuliah dimana?” tanyaku pada Dinda. “Mungkin aku akan
melanjutkan pendidikan di Brawijaya Jurusan Kedokteran. Kalau kau sendiri?”
“Aku
akan kuliah di UGM Jurusan Pertanian.” Kataku. Aku mengalihkan pandanganku
kepada Arya yang sedari tadi terdiam. “Bagaimana denganmu Arya?” tanyaku
padanya yang sedari tadi tengah melamunkan sesuatu. “Aku… Aku harus pergi
dulu.” Ia bergegas pergi meninggalkan aku dan Dinda yang terheran-heran.
“Tingkahnya
beberapa hari ini memang aneh, Nad. Aku khawatir dengan Arya.” Dinda memegang
lenganku. Aku diam memandang sosok Arya yang semakin menjauh.
***
“Wake
up, Nadia! Wake up!” suara cempreng seseorang menyakitkan telingaku. Kutarik
selimut menutupi wajahku. “Nadia, bangun woyy! Udah siang nih.” Kata seseorang
yang menarik-narik selimutku dengan ganasnya. “Ini masih pagi, Bunda. Ijinkan
aku tidur lebih lama lagi. Aku masih ngantuk.” Teriakku dari dalam selimut.
“Nad,
ini aku Dinda. Keadaan sedang genting sekarang kok kamu malah bisa-bisanya
masih ingin tidur.”
“Nggak
ada banjir di Jakarta, Dinda. Ini musim kemarau. Please deh! Aku pingin tidur!”
“Siapa
juga yang bilang ada banjir? Aku cumin mau bilang. ARYA MAU PINDAH KE PERANCIS.
Ya udah kalau kamu nggak mau bangun. Aku juga bisa pergi ke airport sendiri.
Dan mengucapkan selamat tinggal padanya.” Dinda melepaskan selimutku dengan
kasar dan berjalan kea rah pintu keluar.
Butuh
2 detik untuk pikiranku mencerna kalimat Dinda. Arya mau pindah ke Perancis?
What? Kubuka selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku bangkit dari tempat tidur
dan menghalangi langkah Dinda yang akan keluar dari kamarku.
“Ada
apa?” Tanya Dinda ketus. “Kamu bilang Arya mau pindah ke Perancis?” tanyaku
sambil merentangkan tangan untuk mencegah Dinda pergi. “Ya, dan pesawatnya akan
take off kurang dari 30 menit lagi.” Aku melotot pada Dinda yang tersenyum
puas. “Kurang dari 30 menit lagi?” ulangku sambil tercengang. “Dan kalau kau tidak
segera ganti baju, aku akan meninggalkanmu!” ancaman Dinda membuatku secepat
kilat lari terbirit-birit menuju kamar mandi.
***
Pohon-pohon,
rumah-rumah, gedung-gedung di Jakarta terlewat dengan cepatnya saat kulihat
melalui kaca mobil Dinda. Alunan lagu Vierra yang berjudul Kepergianmu mengalun
dengan lembut melalui speaker mobil Dinda. Dinda menyetir bagai orang kesurupan
di sebelah kananku. “Apa kamu nggak bisa pelan sedikit?” tanyaku sambil
berpegangan pada kursi penumpangku. “Dan apa kau sudah tidak perduli lagi pada
Arya? Dia akan pergi, Nad. Apa kamu nggak sadar juga? Kukira kau perduli
padanya.”
Aku
menoleh pada Dinda dan dia pun juga memandangku. “Jelas aku perduli.” Jawabku
polos. Tiba-tiba dengan gesitnya Dinda membanting setir ke samping kiri untuk
berbelok. Aku pun ikut terlempar ke samping. “Dinda, kamu mau membunuhku?”
tanpa menjawab pertanyaanku dia langsung memarkir mobil dan membukakan pintu
untukku.
“Kurang
5 menit lagi Arya take off. Cepat kau susul dia sebelum aku benar-benar membunuhmu.”
Gertaknya dengan melotot padaku. Tak menunggu aba-aba lagi aku langsung berlari
menyusul Arya. Saat berlari tiba-tiba semua kenangan, semua rasa, semua kata
yang pernah ada menguap dan berkumpul jadi satu. Rasaku, rasanya, dan kenangan
kami berdua teringat jelas di benakku. Sejelas aku melihat pantulan bayanganku
di cermin.
Seorang
pria berjalan lambat ke pintu masuk penerbangan. Dia memakai jaket merah dan
membawa koper. “ARYA!” jeritku dengan keras padanya. Satu kata itu mampu tuk
hentikan langkahnya. Aku berlari menghampirinya. Dia berbalik menghadapku saat
aku terengah-engah di depannya.
“Nadia.”
Dia memegang kedua lenganku dan membantuku bangun. Kembali kulihat senyuman
itu. Senyum yang membuat bumi ini berguncang dan melemaskan seluruh saraf di
tubuhku.
“Kamu
gila, ya? Seenaknya aja mau ninggalin aku. Pergi nggak bilang-bilang!” semburku
galak. Dia tertawa dengan kerasnya hingga punggungnya berguncang. “Maaf. Maaf.
Aku nggak sengaja.”
“Kamu
selalu bilang nggak sengaja. Tapi aku tau kau pasti sengaja ingin meninggalkan
aku.”
“Tidak,
Nadia.” Jawabnya serius. Tatapan matanya langsung terpusat padaku. “Aku
benar-benar tak ingin pergi meninggalkan dirimu. Tapi aku harus pergi untuk
mencapai cita-citaku. Aku harus pergi. Aku akan melanjutkan kuliah di Sorbone,
Perancis. Ini keinginan ayahku dan aku sudah menyetujuinya.”
“Tapi
tak bisakah kau tinggal lebih lama lagi di sini?”
“Maafkan
aku. Aku benar-benar tak bisa.”
“Arya…” ucapku
parau.
“Nadia,
pesawatku harus take off sekarang. Aku senang saat aku akan pergi kau datang ke
sini. Aku senang aku bisa melihatmu sebelum aku pergi. Dan percaya atau tidak,
perasaanku kepadamu tetap sama seperti dulu. Aku akan terus mencintaimu.”
“Maafkan
aku yang selama ini sudah bersandiwara di depanmu. Sesungguhnya aku juga
mencintaimu. Hanya saja aku tak mampu untuk mengucapkan kalimat itu.”
“Nad,
masih banyak waktu untuk aku mencintaimu. Masih banyak waktu untukku
menunggumu. Masih banyak waktu untuk kita bersama nantinya. Percayalah aku akan
pulang dan segera melamarmu. Aku akan menyelesaikan studiku dan lulus dengan
nilai yang bisa dibanggakan. Tunggu aku hingga aku pulang. Aku tak ingin hanya
sekedar menjadi pacar untukmu. Cinta tidak harus dijalani dengan pacaran. Aku
ingin menjadikanmu sebagai teman hidupku hingga aku mati. Karena aku ingin
menjagamu bahkan dari diriku sendiri. Aku tak ingin menaburkan luka di hatimu.”
Dia menggenggam tanganku. Pemberitahuan take off pesawat kembali terdengar.
“Aku
harus pergi.” Katanya sambil berjalan mundur dan perlahan melepaskan tanganku.
Aku masih terpukul hingga detik berikutnya. “Aku akan menunggumu, Arya. Aku
mencintaimu.” Teriakku sebelum akhirnya bayangan Arya lenyap saat pintu itu
tertutup. Samar-samar kulihat senyum Arya yang mengembang.
THE END…………..
By : Aulia Eka Putri Purnama
Fb
: Aulia Eka Putri Purnama
Twitter
: @auliaekaputrip
Email : auliaekaputripurnama@yahoo.co.id




ini untuk sahabatku :)
BalasHapus