Rabu, 25 April 2012

Naskahku yang Pertama :D


ARTI CINTA SESUNGGUHNYA

 Siti Syofiatun N. (sahabatku, red).

                Hujan turun lagi pagi ini. Dinginnya cuaca menemani  perjalananku menuju sekolahku tercinta. Langit mendung diatas sana. Aku tersenyum sendiri tanpa kusadari. “Ya Tuhan, terima  kasih untuk hujan yang Kau turunkan hari ini. Semoga saja hujan ini membawa berkah untuk kami semua.” Doaku dalam hati.
                Rintik-rintik hujan yang turun menciptakan titik-titik air di atas kaca depan mobil.  Ayah mengemudi dengan tenang di sebelahku sambil bersenandung ria. Akupun tersenyum melihatnya.
                Hari ini adalah hari pertama aku masuk ke kelas baruku sebagai siswi kelas XII-IPA di SMA Nusantara di daerah Jakarta Timur. Di dalam hati aku bertanya-tanya “Siapa sajakah teman baruku di kelas ini? Karena terjadi pengacakan siswa untuk setiap tahun ajaran baru.”
***
                “Ayah, aku masuk ke sekolah dulu, ya?” kataku sambil membuka pintu mobil. “Iya sayang, hati-hati.” Aku tersenyum menanggapi kata-kata ayahku. “Assalammualaikum, yah.” Aku mencium tangan ayahku sebelum memasuki gerbang sekolah. “Wa’alaikum salam, sayang.” Senyum ayah mengiringi kepergianku.
                Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. “Ternyata kangen juga, ya sama sekolah ini setelah 2 minggu liburan.” Kataku dalam hati sambil memperhatikan deretan kelas yang ada di sebelahku. Aku tersenyum sepanjang perjalanan, senang rasanya bisa bertemu kembali dengan teman-teman.
                BUUKK!!! Tiba-tiba sesuatu yang berat menabrak badanku dari arah depan. Tak terasa aku jatuh terpental ke lantai. Semua buku yang kugenggam tadi jatuh berhamburan di atas lantai. Aku bangun dari posisiku yang dilihatin banyak orang. Cepat-cepat aku melihat orang yang telah menabrakku dengan kurangajarnya.
                Ternyata orang itu juga jatuh di atas lantai. Dia ikut bangun dari atas lantai. “Maaf... Maaf. Aku tidak bermaksud untuk menabrakmu. Aku sedang terburu-buru tadi.” Katanya sambil merapikan buku-bukuku yang bergeletakan di lantai tanpa memandangku sama sekali.
                Aku berjongkok di depannya, ikut mengambil buku-bukuku yang terjatuh di lantai. Aku berdiri dan dia pun juga ikut berdiri. Saat itulah untuk pertama kalinya sejak kejadian tadi aku benar-benar melihat wajah orang itu. “OMG!! Itu Arya, cowok terkeren, tertampan, terkaya, dan terpopuler di sekolahku.” Aku menutup mulutku yang terbuka tidak sopan saking kagetnya. Dia memandangku dan memanggil namaku. “Nadia, ya??” tanyanya polos.
                Aku mengangguk linglung menjawab pertanyaannya. “Tunggu! Kok dia bisa tau namaku sih??” tanyaku dalam hati. “Kalau aku sih tentu kenal dia karena dia populer. Tapi gimana bisa dia kenal cewek kuper kayak aku??”
                “Emmh, kok tau namaku sih?” tanyaku polos. Dia tiba-tiba tertawa sambil memandangku. Aku melihatnya dengan heran. “Upss, sorry-sorry. Kelepasan. Habis kamunya lucu banget.” Dia tersenyum kemudian menghela napas panjang. Aku hanya bisa terdiam memandangnya.
                “Kamu benar-benar nggak ingat aku?” aku menggelengkan kepala sambil masih terheran-heran dengan kejadian ini. “Aku Arya, teman kamu waktu TK dulu. Wah, benar-benar amnesia nih anak.” Katanya sambil menggelengkan kepala. “Whattt?? TK! Gilak apa dia? TK gue udah 11 tahun yang lalu. Gimana mau ingat?”      
                Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan tersenyum nggak jelas. Kemudian dia memberikan bukuku yang sedari tadi dia pegang padaku. “Oke deh, aku harus cepat-cepat menemui Pak Hasan dulu. Kita ngobrol lagi lain kali, ya?” katanya sambil tersenyum lantas meninggalkanku.
                Aku tak pernah membayangkan sebelumnya kalau aku akan ngobrol dengan anak terpopuler di sekolahku. Tapi percaya atau tidak, setelah kejadian itu aku jadi dekat dengan Arya Nugraha Kurniawan (cowok paling digila-gilai oleh semua cewek di sekolahku).
***
                Aku masuk ke dalam kelas dengan gusar. Tidak ada bangku kosong yang tersisa, hanya ada 1 bangku tersisa di sebelah cewek yang sedang meniup permen karetnya sehingga membentuk balon kecil. Tiba-tiba permen karet itu meledak dan menyisakan lengketnya permen karet di sekitar bibir cewek itu. Aku tertawa terbahak-bahak di depannya dan dia ikut menertawakan dirinya sendiri.
                “Hallo, aku Nadia.” Kataku sambil mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku dengan senang hati. “Hai, aku Dinda.” Katanya sambil tersenyum. “Apa aku boleh duduk di sebelahmu?” tanpa basa basi dia pun mengangguk. “Why not?” Aku duduk di sebelahnya sambil melanjutkan perbincangan kami tadi dan menunggu bel masuk berbunyi.
                Saat aku tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang diceritakan Dinda, seseorang dengan jahilnya melempar kertas yang dengan mulusnya mengenai kepalaku. “Auuh, siapa sih lempar-lempar nggak jelas? Sakit tau!” aku menoleh pada orang itu. Dia tersenyum jahil padaku. “Lama-lama aku bisa masuk rumah sakit gara-gara jantungan kalau tiap hari musti ketemu sama cowok ini.” Aku cemberut dalam hati. “Hai, kita ketemu lagi, ya?” kata Arya sambil melambaikan tangan padaku.
***

                   1 bulan, 2 bulan, 3 bulan.... Bulan-bulan yang datang kami lewati bersama. Aku, Dinda, dan Arya menjadi sahabat baik. Kemana-mana kami selalu bersama-sama. Bila ada aku pasti juga ada mereka berdua. Walau terkadang kami berbeda pendapat, tapi kami masih bias menyelaraskan pikiran dan tidak pernah bertengkar hebat.
                Teman yang baik, sahabat yang baik takkan pernah mementingkan egonya sendiri. Karena teman adalah tempat untuk saling berbagi, menerima, dan member kekurangan dan kelebihan masing-masing pihak. Tak pernah masing-masing dari kami bersikap menang sendiri. Karena aku, Dinda, mau pun Arya selalu meminta pendapat masing-masing dari kami. Selalu ingin dikritik karena dengan itu kami sadar bahwa kami saling menyayangi satu sama lain.
Kami sudah kelas 3 dan akan menghadapi ujian, walau hari yang aku jalani adalah hari yang melelahkan, tapi jika ada mereka berdua terasa menyenangkan.
                Seperti biasa, hari ini aku pulang sore lagi karena aku harus mengikuti bimbel dan seperti biasa juga hari ini hujan terus-terusan turun. “Ah, langit nangis lagi. Nggak habis apa tuh air mata?” gerutuku sambil menatap langit yang menurunkan banyak rintik hujan.
                Kutaruh stopmap plastik di atas kepalaku yang berkerudung untuk menghalau hujan. Kuterobos rintik-rintik hujan yang dengan derasnya turun. Dinda sudah pulang dari tadi karena dia sudah dijemput. Sementara Arya sudah keluar kelas dari tadi, mungkin dia juga sudah pulang. Baru sedetik lalu aku memikirkan hal itu, tapi kini aku melihatnya tengah berdiri tidak jauh dari tempatku berada.
                Dia berdiri di depan emperan toko sambil memainkan rubiknya. Sepeda gunungnya ia parkir di sebelahnya. Aku dengan tergesa-gesa berlari kearahnya. Aku pun ikut berteduh di sampingnya, dengan kesal kubersihkan bajuku yang sudah basah kuyub terkena air hujan. Arya tetap terfokus pada rubiknya, ia tak menoleh sama sekali kepadaku. Aku jadi kesal dengannya.
                “Hem, hem.” Aku berdeham di sebelahnya. Ia menoleh kepadaku dan baru sadar kalau sedari tadi aku memperhatikannya. Dia tersenyum dan menyapaku dengan sok lugu.
                “Oh,,, haii. Sorry, nggak sadar kalau ada orang.”
                “Iya, nggak apa-apa kok.”
                “Kamu nungguin jemputan, ya?”
                “Iya nih. Mana ayahku lama banget lagi.” Dia tersenyum menanggapi kata-kataku. Tiba-tiba saja jantungku berdebar tak karuan. “Hah, tuh kan bener. Dari awal aku udah ngerasa aku bakal jantungan kalau selalu bertemu dia.” Pikirku dalam hati.
                Dia merogoh kantung tasnya dan memberikan sesuatu kepadaku. Sesuatu yang hangat saat ku pegang. Ternyata itu teh hangat. “Lumayan buat angetin badan.” Aku menerimanya dengan tersenyum. “Makasih, ya.” Ku minum teh hangat pemberian darinya. Tak lama setelah itu ayahku datang menjemput. “Aku pulang dulu ya, bye.” Aku meninggalkannya dan berlari menuju mobil.
***
                “Mana sih nih anak? Udah jam segini masak belum datang-datang juga?” jam sudah menunjukkan pukul 06.45 tapi Dinda belum juga datang ke sekolah. Aku celingukan sendiri di bangkuku sambil memandang ke luar kelas.
                Aku bangkit berdiri dari bangku dan berjalan keluar kelas. Angin sepoi-sepoi menyentuh pipiku yang hangat. Kujatuh terduduk di bangku yang terletak di dekat pohon. Kupandangi bunga-bunga yang ada di taman.
                Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lenganku, secara reflex langsung kulepaskan tanganku dari genggamannya. “Hai, sorry. Aku ngagetin kamu, ya?” Alex teman sekelasku lantas duduk di sebelahku. Aku menggeser posisi dudukku untuk menjauh darinya. “Emm, nggak apa-apa kok.”
                “Ngapain kamu sendirian di sini? Di sinikan dingin banget.”
                “Aku lagi pingin sendirian aja.”
                “Kemana dua anjing peliharaanmu itu yang selalu mengikutimu?”
                “Anjing??” aku bertanya tak percaya.
                “Iya, itu dua orang yang selalu bersamamu.”
                “Mereka bukan anjing! Mereka berdua adalah sahabatku.” Kataku dengan marah. Tiba-tiba saja rasanya darahku menjadi mendidih karena kata-katanya. “Sebaiknya kau jaga kata-katamu bila kamu ingin dihargai oleh orang lain.”
                “Oke. Oke. I’m sorry. Aku hanya bercanda.” Aku diam tak menanggapi kata-katanya. Untuk beberapa saat kami diam tak berbicara.
                “By the way. Nanti malam kamu ada acara nggak?” tanyanya.
                “Nggak ada.”
                “Kalau gitu nanti malam kamu pasti bisa nemeni aku nonton, kan?”
                “Sorry aku nggak bisa.” Aku bangkit dari tempat dudukku. Saat aku melewatinya untuk kembali ke kelas, tiba-tiba dia menyentuh tanganku lagi. Kutepis tangannya. “Apa yang kau lakukan?? Jangan kurangajar, ya!”
                “Ayolah! Sejak awal aku sudah menyukaimu.” Dia bangkit berdiri dan dengan cepat aku melangkah mundur menjauhinya. “Tapi aku tidak menyukaimu.” Saat dia mulai melangkah mendekatiku sebuah tas ransel berat melayang di belakangnya dan dengan mulus mengenai kepalanya menimbulkan suara BUKKK yang lumayan keras dan dia pun jatuh tersungkur.
                Aku menghadap ke depan dan melihat Arya sudah berlari mendekat. Dengan cepatnya ia mencengkram kerah baju Alex dan menjatuhkan tinjunya yang besar ke arah wajah Alex. Alex pun jatuh ke tanah tanpa perlawanan. Arya lantas mengambil tas ranselnya yang tadi jatuh di tanah.
                “Kalau kau memang laki-laki, kau tak kan bersikap kurangajar terhadap seorang wanita!” katanya sambil menunjuk Alex. Sebelum ia pergi, ia melayangkan pandangan kesalnya padaku. Aku yang masih terpaku hanya diam tertegun tak dapat berucap satu patah kata pun dan tanpa kusadari rasa itu kembali muncul.
***
                Tok… tok… tok. Bunyi pintu kelas yang diketuk membuyarkan konsentrasi seluruh isi ruangan, sementara Pak Hasan yang sedang menerangkan pelajaran ikut berhenti berbicara. “Masuk!” pintu pun terbuka dan dua orang yang kukenal masuk ke dalam kelas.
                “Dari mana saja kalian berdua? Kalian telat mengikuti pelajaran saya sudah 15 menit.” Omel Pak Hasan.
                “Emm… begini, Pak…….” Perkataan Dinda pun terhenti karena kakinya diinjak oleh Arya. “Kami tadi dipanggil Bapak Kepala Sekolah, Pak.” Arya tersenyum santai pada Pak Hasan. “Ya sudah. Kalian cepat duduk sana!” Mereka berdua lantas duduk di bangku masing-masing.
                Setelah pelajaran Pak Hasan selesai, Dinda menoleh padaku dan menatapku dengan jahil. “Sebenarnya ada apa sih dengan kalian berdua?” itulah saat pertama kami mulai berbicara setelah dia datang terlambat.
                “Maksudmu? Ada apa gimana?” tanyaku heran.
                “Iya, kalian berdua kenapa? Antara kamu dengan Arya.”
                “Aku tidak mengerti apa maksudmu?”
                “Em, begini…” Dia berhenti bicara dan celingukan mencari sesuatu. “Untung Arya nggak ada. Jadi gini ceritanya.” Dia mulai bercerita padaku dengan semangat ’45. “Waktu aku berjalan menuju kelas, aku berpapasan dengan Arya di koridor. Tiba-tiba dia menarik tanganku dan menyeretku untuk mengikutinya….”

                “Ad…. Ada apa ini? Arya lepasin aku! Kelas kita ada di sana. Kita mau kemana?” Arya tak hentinya menyeretku dan aku terpaksa berjalan mengikuti langkahnya. “Ahh, cerewet. Ikut aja dan nggak usah banyak tanya!”
                Ia menyeretku sampai akhirnya kami berhenti di kantin sekolah. Dengan titah seorang raja dia menunjuk sebuah bangku. “Duduk!” dan seperti keledai dungu aku pun mengikuti titahnya. Lalu dia meninggalkan aku yang masih terheran-heran. “Kenapa sih nih anak? Aneh banget hari ini.”
                Ia kembali sambil membawa dua gelas Cola yang ia pesan di kantin. Ia duduk di depanku dan menyodorkan satu gelas Cola padaku. Dengan cepat ia menengguk Colanya. “Arya, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh aneh banget hari ini.” Aku memandangi tingkah lakunya. Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah mengacak-acak rambutnya. Aku hanya bias memandangnya dengan heran. “Menurutmu wajar nggak sih kalau aku jatuh cinta sama Nadia.” Ia mengangkat kepalanya dan menatapku. “Whatt??” aku melongo menatapnya.

                “Dan begitulah ceritanya. Makanya tadi aku terlambat sama Arya.” Aku hanya bias menatap kosong pada Dinda. Arya jatuh cinta padaku? Lantas mengapa pandangannya padaku tadi seolah-olah dia sangat membenciku. Aku hanya dapat bertanya-tanya dalam hati.
***
                “Assalammualaikum warah matullah… Asslammualaikum warah matullah.” Kuucap salam dengan menengok ke kanan dan ke kiri di bagian akhir sholatku. Kutengadahkan kedua tanganku dan mulai bermunajah pada Allah SWT. “Ya Allah ya Rabb berikanlah aku kesabaran dalam hidup ini. Berikanlah aku ilmu dan kepandaian yang barokah untukku agar aku dapat lulus dengan hasil yang baik. Amin.” Doaku dalam hati.
                Kulepas mukenaku dan kulipat sedemikian rupa agar rapi, lalu kukembalikan ke lemari tempat alat-alat sholat disimpan. Kupakai lagi kerudungku. Saat aku bangkit berdiri, aku melihat Arya masih khusyuk menunaikan ibadahnya di bagian shof paling depan. Aku melihat jam tanganku masih pukul 13.30 dan kurang setengah jam lagi bimbel akan dimulai, tapi mushola sekolah sudah sepi pengunjung. Seminggu setelah kejadian itu Arya masih belum mengajakku berbicara sama sekali dan Dinda terus-terusan bertanya padaku tentang kami.
                Aku duduk di teras mushola sambil menghela napas panjang. Kupakai kedua kaos kaki dan sepatuku. Sebelum aku kembali ke kelas, sebuah suara memanggil namaku. Itu suara Arya. “Nadia…”
                Aku berhenti melangkah dan berbalik menghadapnya. “Iya.”
                “Bisa kita berbicara sebentar?”
                Butuh 2 detik untukku menjawab pertanyaannya. “Bisa.” Aku duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. Sekitar 3 meter dari posisinya. Aku terus-terusan memandangi tanah karena gugup memikirkan apa yang akan dikatakan oleh Arya.
                Ia menghela napas panjang sebelum mulai bicara. “Aku tau kamu pasti marah kepadaku karena kejadian seminggu yang lalu. Aku tau kamu kecewa dan kaget melihatku yang bertingkah seperti itu. Aku minta maaf bila seminggu terakhir ini aku tak pernah mengajakmu bicara.”
                 Aku memandangnya heran. “Aku tidak marah terhadapmu dan aku tidak kecewa karenamu. Aku malah sangat berterima kasih karena kamu telah menyelamatkanku dari hal apa pun yang akan diperbuat oleh Alex.”
                “Kau pasti sudah mengetahui semuanya dari Dinda. Ya, Nadia. Ya, aku akui bahwa aku memang telah jatuh cinta padamu. Maaf bila perasaanku telah merusak persahabatan diantara kita.” Aku terdiam tak sanggup berkata-kata. “Aku juga tau orang seperti apa dirimu. Aku tau kamu nggak akan mau pacaran dulu sebelum kamu bias meraih cita-citamu. Aku juga begitu, Nad. Tapi hanya dengan berkata seperti ini hatiku baru bisa tenang. Rasanya aku sudah mencurahkan seluruh rasa yang kupendam selama ini.”
                “Arya…..”
                “Nadia, kau tak perlu cemas. Kita tetap berteman, kan?” katanya sambil tersenyum dan memandangku. Aku pun ikut tersenyum bersamanya. Tanpa kusadari rasa itu muncul lagi.
***
                Setelah kejadian itu kami tetap bersahabat. Hari-hari kami lewati bersama. Suka dan duka kami bertiga bagi satu sama lain. Itulah persahabatan yang sesungguhnya.
                Tak terasa bulan demi bulan dengan cepat berlalu. Dan kurang dari seminggu kami akan menghadapi ujian nasional. Kami selalu belajar bersama. Bila ada kesulitan pasti kami berunding. Dan saat ujian nasional pun tiba.
                “Good luck, teman-teman.” Kataku kepada Dinda dan Arya. “Kamu juga, Nad.” Dinda menepuk pundakku dan masuk ke dalam ruangan. “Jangan lupa baca basmallah.” Arya tersenyum dan ikut masuk ke dalam ruangan bersama Dinda.
***
                Hari kelulusan tiba. Tak sabar aku ingin mengetahui hasil ujianku. Hari ini adalah hari paripurna siswa sekaligus hari pengumuman kelulusan siswa.
                Saat tiba di sekolah Dinda sudah menyambutku di depan aula pertemuan. “Huh… akhirnya kamu datang juga. Aku sudah deg-degan nunggu hasil ujian kita semua.” Dia menggandengku ke tempat duduk kami. Arya duduk di sebelah Dinda. Dia tersenyum padaku dan mulai mengajak Dinda berbicara.
                Acara demi acara berlalu dengan meriah dan saat pengumuman 5 besar pun tiba. Setelah hal itu diumumkan aku benar-benar merasa takjub. Kedua sahabatku berhasil mendapatkan danem diatas rata-rata. Mereka maju ke depan dan menerima ucapan selamat dari Bapak Kepala Sekolah. Setelah turun dari panggung Dinda menghampiriku dan memelukku.
                “Selamat ya, Din.” Ucapku bahagia. “Selamat juga buatmu Arya.”
                “Makasih banyak, Nad.” Dinda tersenyum padaku.
                “Setelah ini kamu mau melanjutkan kuliah dimana?” tanyaku pada Dinda. “Mungkin aku akan melanjutkan pendidikan di Brawijaya Jurusan Kedokteran. Kalau kau sendiri?”
                “Aku akan kuliah di UGM Jurusan Pertanian.” Kataku. Aku mengalihkan pandanganku kepada Arya yang sedari tadi terdiam. “Bagaimana denganmu Arya?” tanyaku padanya yang sedari tadi tengah melamunkan sesuatu. “Aku… Aku harus pergi dulu.” Ia bergegas pergi meninggalkan aku dan Dinda yang terheran-heran.
                “Tingkahnya beberapa hari ini memang aneh, Nad. Aku khawatir dengan Arya.” Dinda memegang lenganku. Aku diam memandang sosok Arya yang semakin menjauh.
***
                “Wake up, Nadia! Wake up!” suara cempreng seseorang menyakitkan telingaku. Kutarik selimut menutupi wajahku. “Nadia, bangun woyy! Udah siang nih.” Kata seseorang yang menarik-narik selimutku dengan ganasnya. “Ini masih pagi, Bunda. Ijinkan aku tidur lebih lama lagi. Aku masih ngantuk.” Teriakku dari dalam selimut.
                “Nad, ini aku Dinda. Keadaan sedang genting sekarang kok kamu malah bisa-bisanya masih ingin tidur.”
                “Nggak ada banjir di Jakarta, Dinda. Ini musim kemarau. Please deh! Aku pingin tidur!”
                “Siapa juga yang bilang ada banjir? Aku cumin mau bilang. ARYA MAU PINDAH KE PERANCIS. Ya udah kalau kamu nggak mau bangun. Aku juga bisa pergi ke airport sendiri. Dan mengucapkan selamat tinggal padanya.” Dinda melepaskan selimutku dengan kasar dan berjalan kea rah pintu keluar.
                Butuh 2 detik untuk pikiranku mencerna kalimat Dinda. Arya mau pindah ke Perancis? What? Kubuka selimut yang masih menutupi tubuhku. Aku bangkit dari tempat tidur dan menghalangi langkah Dinda yang akan keluar dari kamarku.
                “Ada apa?” Tanya Dinda ketus. “Kamu bilang Arya mau pindah ke Perancis?” tanyaku sambil merentangkan tangan untuk mencegah Dinda pergi. “Ya, dan pesawatnya akan take off kurang dari 30 menit lagi.” Aku melotot pada Dinda yang tersenyum puas. “Kurang dari 30 menit lagi?” ulangku sambil tercengang. “Dan kalau kau tidak segera ganti baju, aku akan meninggalkanmu!” ancaman Dinda membuatku secepat kilat lari terbirit-birit menuju kamar mandi.
***
                Pohon-pohon, rumah-rumah, gedung-gedung di Jakarta terlewat dengan cepatnya saat kulihat melalui kaca mobil Dinda. Alunan lagu Vierra yang berjudul Kepergianmu mengalun dengan lembut melalui speaker mobil Dinda. Dinda menyetir bagai orang kesurupan di sebelah kananku. “Apa kamu nggak bisa pelan sedikit?” tanyaku sambil berpegangan pada kursi penumpangku. “Dan apa kau sudah tidak perduli lagi pada Arya? Dia akan pergi, Nad. Apa kamu nggak sadar juga? Kukira kau perduli padanya.”
                Aku menoleh pada Dinda dan dia pun juga memandangku. “Jelas aku perduli.” Jawabku polos. Tiba-tiba dengan gesitnya Dinda membanting setir ke samping kiri untuk berbelok. Aku pun ikut terlempar ke samping. “Dinda, kamu mau membunuhku?” tanpa menjawab pertanyaanku dia langsung memarkir mobil dan membukakan pintu untukku.
                “Kurang 5 menit lagi Arya take off. Cepat kau susul dia sebelum aku benar-benar membunuhmu.” Gertaknya dengan melotot padaku. Tak menunggu aba-aba lagi aku langsung berlari menyusul Arya. Saat berlari tiba-tiba semua kenangan, semua rasa, semua kata yang pernah ada menguap dan berkumpul jadi satu. Rasaku, rasanya, dan kenangan kami berdua teringat jelas di benakku. Sejelas aku melihat pantulan bayanganku di cermin.
                Seorang pria berjalan lambat ke pintu masuk penerbangan. Dia memakai jaket merah dan membawa koper. “ARYA!” jeritku dengan keras padanya. Satu kata itu mampu tuk hentikan langkahnya. Aku berlari menghampirinya. Dia berbalik menghadapku saat aku terengah-engah di depannya.
                “Nadia.” Dia memegang kedua lenganku dan membantuku bangun. Kembali kulihat senyuman itu. Senyum yang membuat bumi ini berguncang dan melemaskan seluruh saraf di tubuhku.
                “Kamu gila, ya? Seenaknya aja mau ninggalin aku. Pergi nggak bilang-bilang!” semburku galak. Dia tertawa dengan kerasnya hingga punggungnya berguncang. “Maaf. Maaf. Aku nggak sengaja.”
                “Kamu selalu bilang nggak sengaja. Tapi aku tau kau pasti sengaja ingin meninggalkan aku.”
                “Tidak, Nadia.” Jawabnya serius. Tatapan matanya langsung terpusat padaku. “Aku benar-benar tak ingin pergi meninggalkan dirimu. Tapi aku harus pergi untuk mencapai cita-citaku. Aku harus pergi. Aku akan melanjutkan kuliah di Sorbone, Perancis. Ini keinginan ayahku dan aku sudah menyetujuinya.”
                “Tapi tak bisakah kau tinggal lebih lama lagi di sini?”
                “Maafkan aku. Aku benar-benar tak bisa.”
                “Arya…” ucapku parau.
                “Nadia, pesawatku harus take off sekarang. Aku senang saat aku akan pergi kau datang ke sini. Aku senang aku bisa melihatmu sebelum aku pergi. Dan percaya atau tidak, perasaanku kepadamu tetap sama seperti dulu. Aku akan terus mencintaimu.”
                “Maafkan aku yang selama ini sudah bersandiwara di depanmu. Sesungguhnya aku juga mencintaimu. Hanya saja aku tak mampu untuk mengucapkan kalimat itu.”
                “Nad, masih banyak waktu untuk aku mencintaimu. Masih banyak waktu untukku menunggumu. Masih banyak waktu untuk kita bersama nantinya. Percayalah aku akan pulang dan segera melamarmu. Aku akan menyelesaikan studiku dan lulus dengan nilai yang bisa dibanggakan. Tunggu aku hingga aku pulang. Aku tak ingin hanya sekedar menjadi pacar untukmu. Cinta tidak harus dijalani dengan pacaran. Aku ingin menjadikanmu sebagai teman hidupku hingga aku mati. Karena aku ingin menjagamu bahkan dari diriku sendiri. Aku tak ingin menaburkan luka di hatimu.” Dia menggenggam tanganku. Pemberitahuan take off pesawat kembali terdengar.
                “Aku harus pergi.” Katanya sambil berjalan mundur dan perlahan melepaskan tanganku. Aku masih terpukul hingga detik berikutnya. “Aku akan menunggumu, Arya. Aku mencintaimu.” Teriakku sebelum akhirnya bayangan Arya lenyap saat pintu itu tertutup. Samar-samar kulihat senyum Arya yang mengembang.

THE END…………..

By         : Aulia Eka Putri Purnama
Fb         : Aulia Eka Putri Purnama

Twitter   : @auliaekaputrip

            Email     : auliaekaputripurnama@yahoo.co.id

1 komentar:

Total Pageviews

Poll

Followers

About Me

Foto saya
Hai, aku Aulia Eka Putri Purnama. bisa dipanggil Al. duduk di kelas XI-MM di SMKN 1 Tuban. :))