☺Sahabat Tempat Berbagi☺
Temen-temen SMK N 1 TUBAN :D
Pagi
ini kembali Indah mengulang aktivitas sehari-harinya. Bangun pagi-pagi, sholat
subuh, mandi, dan turun ke lantai bawah untuk sarapan bersama kedua orang
tuanya. Dia anak tunggal dari keluarga yang cukup terpandang. “Hai, sayang.
Hari yang indah bukan? Seperti anak mama.” Suara mamanya yang merdu
mengalun dari arah dapur. Indah berjalan
cepat menuruni anak tangga dan berlari memeluk mamanya.
“Yang
tepat itu ‘hari yang cantik’ seperti mamaku yang tambah cantik.” Senyum Indah merekah
di balik pelukan mamanya. “Hahaha. Anak mama ini bisa saja.” Tak lama setelah
itu ayah Indah keluar dari kamar dan berjalan ke arah meja makan. “Pagi ayah.”
Indah mencium kedua pipi ayahnya yang dibalas dengan senyuman oleh ayahnya.
“Putri ayah tambah cantik aja.” Kata Pak Omar sambil mengampil koran di atas
meja.
Indah
pura-pura cemberut menanggapi pujian ayahnya. “Ahh, ayah ngejek Indah, ya??”
Indah menarik kursi dan mulai duduk tenang di atasnya. “Kata siapa ayah ngejek
Indah? Itu kan kenyataan, sayang?” Indah tersenyum begitupun Pak Omar.
Bu
Omar datang dari dapur dan mulai menata makanan di atas meja. “Aduh-aduh. Ayah
sama anak dari tadi kok bicara aja? Emang ngobrolin apa? Mama boleh tau,
nggak?” Mama Indah mulai duduk di atas kursi. “Ih, mama mau tau aja sih?”
“Emang
mama nggak boleh tau, ya?” Bu Omar mulai menghidangkan nasi dan lauk pauk untuk
suaminya. “Terima kasih, Ma.” Kata Pak Omar. “Emmh, gimana ya?? Nggak boleh
ding.” Tawa Indah berkumandang ria. “Dasar anak mama. Ya sudah, sekarang kamu
cepetan makan. Nanti malah telat sekolah.”
“Iya,
mamaku sayang.” Indah mulai mengambil nasi dan lauk ke dalam piringnya.
“Kalau
sudah makan. Nanti kamu berangkat bareng ayah ya, Ndah!”
“Nggak
usah, ma. Indah mau berangkat pakai sepeda. Lagian sekolah Indah juga nggak
seberapa jauh dari rumah.” Indah tersenyum pada mamanya. “Ya sudah kalau mau
kamu begitu.”
^.^#^_^#^o^
Indah
mulai memasuki kelas dengan mengembangkan senyum di pipinya. Riska sahabat dan
teman sebangkunya menyambutnya dengan kaget. “Indah, ada apa ini? Kenapa
pakaianmu kotor begini?” Riska memegang kedua siku Indah dan memandang Indah
dari bawah hingga atas. “Emmh, nggak apa-apa kok, Ris. Ini tadi aku jatuh ke
tanah. Aku nggak lihat jalan yang ada lubangnya. Hehehe.”
“Indah.
Indah. Kamu ini kenapa nggak hati-hati?” ucap Riska sambil menggelengkan
kepala.
“Hahaha.
Lain kali aku akan berhati-hati, teman.” Indah menggaruk kepalanya dengan
canggung.
Mereka
berdua lalu berjalan ke kelas bersama-sama. “Kamu sudah ngerjain tugas Bu Lyla,
kan?” Riska memulai perbincangan. “Udah dong. Indah gitu lho.” Senyum Indah
bangga. “Nyontek, yak! Hehehe.” Riska tersenyum manis dan menyenggol-nyenggol
siku Indah. “Hadeh, anak ini. Kebiasaan nyonteknya nggak ilang-ilang.” Ucap
Indah kesal. “Kemarin aku bantuin mama belanja sampe sore, Ndah. Habis itu
bantuin kakak ngerjain tugas.” Riska mulai mengeluarkan jurus-jurus rayuan gombalnya.
“Riska nggak usah alasan deh. Ngerjain tugas kamu aja belum. Gimana mau
ngerjain tugas kakakmu?”
“He’eh.
Iya ya. Hahahaha. Kamu tau aja sih. Peramal ya? Pasti iya deh!”
“Anak
ini.” Indah lalu mengeluarkan buku dari dalam tasnya. Seketika Riska langsung
tersenyum penuh kemenangan. “Ihh, Indah so sweet banget deh. Mumumu. Hahaha.”
Riska memonyongkan bibirnya ke arah Indah.
“Riska!
Jangan gitu deh!” Indah membalasnya dengan senyuman. Dan merekapun tertawa
bersama-sama.
^. ^#^_^#^o^
Suara
canda tawa anak-anak sekolah berkumandang di area kantin sekolah SMA Indonesia,
Surabaya. Riska dan Indah berjalan menuju kantin sambil bercanda. “Ingat nggak
tadi Dion waktu di kerjain sama Ana. Gila! Lucu banget ekspresinya. Ketakutan
smbil geli-geli gimana gitu. Hahaha.” Kata Riska sambil memperagakan ekspresi
Dion tadi. Indah tersenyum melihat raut wajah Riska, tapi tiba-tiba senyum itu lenyap.
Riska yang sedari tadi berjalan mundur dan mengawasi Indah, setelah melihat
wajah Indah yang kelihatan takut Riska langsung membalikkan badannya menuju
pandangan Indah.
Indah sedang melihat Amara yang juga melihat
Indah dengan senyuman puas di wajahnya. “Amara.” Ucap Indah parau dan
menghentikan langkahnya. “Indah, kamu kenapa?” Tanya Riska yang khawatir
terhadap sahabatnya itu. “Ahh, aku tak apa, Ris.” Jawab Indah dengan senyuman.
“Baiklah. Ayo, kalau begitu kita harus makan. Aku lapar nih.” Riska menarik
tangan Indah dan menuju salah satu bangku kosong di ujung kantin.
Saat
mereka berdua menikmati makanan tiba-tiba seorang wanita dan kelompok kecilnya
menghampiri Indah. Ia menggebrak meja dengan kasarnya. “Astaga!” kata Riska
yang kaget karena pentol yang akan dimakannya meloncat keluar dari mangkuk.
Indah juga tak kalah kagetnya. Wajahnya pucat pasi melihat seseorang itu.
“Amara. Apa-apaan kamu ini? Aku nggak suka ya dengan sikapmu ini.” Riska
langsung berdiri dari kursi dan menatap Amara dengan marah.
“Aku
lebih nggak suka lagi dengan temanmu ini. Dulu kau memang temanku, Ris. Tapi
sekarang sudah tidak lagi. Kau dan kau juga. Kalian berdua adalah musuhku.”
Amara mengarahkan telunjuknya pada Riska dan Indah.
“Amara,
apa salah kami? Berhenti bersikap kekanak-kanakan seperti ini!” kata Riska yang
sudah hampir frustasi mengahadapi tingkah Amara.
“Hai!”
tangan Amara kembali menggebrak meja. “Jangan pernah bilang aku
kekanak-kanakan. Jaga mulutmu kalau kau ingin selamat. Ayo, kita pergi dari
tempat kotor ini.” Titah Amara mengomandai ketiga temannya yang lain.
“Ciaoo.”
Kristin salah seorang teman Amara tersenyum puas dan melayangkan tangan dengan
gayanya yang sok.
“Ahhhhhh……”
jerit Riska sambil menggebrak meja dengan kedua tangannya yang mengepal. Kekesalan
sangat terlihat jelas di raut wajahnya yang masam.
“Ris,
tenanglah. Tak ada gunanya marah-marah.” Indah berusaha menenangkan.
“Mereka
itu memang keterlaluan, Ndah. Mereka tak pernah berubah. Mereka tak pernah
berusaha untuk lebih bersikap dewasa. Mereka selalu saja begitu. Bersikap
seolah-olah mereka itu penguasa di sini.” Riska memandang kosong ke arah
mangkuk baksonya. “Kau tahu mengapa aku keluar dari geng mereka?” Indah
menggelengkan kepala. “Karena mereka tak pernah menghargai orang lain. Dan aku
tak ingin bersikap seperti yang mereka lakukan tadi. Aku ingin berubah dan
menjadi orang baik.”
“Tenangkan
dirimu, Riska. Kita berdoa saja. Semoga mereka berempat bisa berubah dan
bersikap lebih baik lagi. Allah punya rencana-Nya sendiri, teman.” Indah
tersenyum sambil menepuk pundak Riska.
“Kau
memang sahabatku yang baik, Ndah. Pasti Allah sangat mencintaimu.”
“Allah
selalu mencintai semua umat-Nya. Allah tak kan pernah membiarkan umatnya
tersesat untuk selamanya. Bersabarlah. Doakan yang terbaik untuk mereka
berempat.” Mereka berdua lantas tersenyum bersama-sama.
^.^#^_^#^o^
“Hahhhh….!!!”
Jerit Amara sambil membanting kamar tidurnya tertutup. Ia langsung melemparkan
tas sekolahnya ke tempat tidur. Kamarnya kacau. Tak tertata rapi. Setiap pagi
Bi Darsih yang selalu membereskan kamarnya. Bi Darsih adalah pembantu
kepercayaan di rumahnya. Amara lantas menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur.
“Aku
benci. Aku benci sekali padanya. Pada Riska dan terutama Indah. Cewek goblok,
lugu, membosankan, dungu. Cewek paling bodoh sejagat raya!” ucapnya marah.
Walau ia sendiri tau sebenarnya ia iri terhadap kemampuan Indah. Pesona yang
dimiliki Indah. Sehingga banyak orang yang tertarik untuk menjadi temannya.
Sementara teman-teman Amara, mungkin jika Amara tidak kaya raya teman-temannya
tak kan mau berteman dengannya. Ia sendiri pernah merasa menyesal. Karena ia
pernah melukai hati Riska dan membuat satu-satu sahabat terbaiknya pergi dari
hidupnya.
Amara mengambil handphonenya yang tergeletak
di atas meja belajar. Cepat-cepat ia pencet nomor Kristin, Abel, dan Destya.
Mereka berempat langsung terhubung dalam satu telepon. “Halo, kalian berempat.
Aku pingin keluar rumah. Ayo, ajojingan. Kalian mau ikut nggak?” Tanya Amara
pada ketiga temannya.
“Aku
nggak bisa, sayang. Mama ngajak pergi ke rumah tante.” Jawab Destya.
“Payah
banget sih loe, Des.”
“Sorry
deh.” Destya langsung menutup teleponnya.
“Aku
juga nggak bisa, Mar. Lain kali aja, ya? Lagi ngerjain tugas Bu Wuri nih.” Kini
Abel yang menjawab.
“Hello,
Abel sayang. Ngapain sih loe ngerjain tugas. Ngerjain di sekolah kan juga bisa!
Ah payah loe.” Sambungan telepon pun terputus.
“Mara,
loe nggak usah marah-marah gitu kali. Gue bisa temenin loe. Mau ajojingan
dimana?” jawab Kristin. “Loe bisa nemeni gue, Kris? Oke deh. Gue jemput di
rumah loe, ya?”
“Oke.
Kita ke Café Rion aja, gimana?”
“Umm,
oke deh. See you.”
^.^#^_^#^o^
Indah
membawa sepeda kesayangannya dengan gembira. Sabtu pagi memang terasa sejuk.
Seperti biasa ia berangkat sekolah ditemani dengan sepeda kesayangannya. “Heh,
Jalang. Minggir loe! Dasar KAMSEUPAY loe! Hahaha.” Tiba-tiba sebuah mobil
Mercedes berwarna hitam menyerempet Indah dari samping. Indah hampir saja
terjatuh, tapi untung dia masih bisa menjaga keseimbangannya.
Samar-samar
ia bisa melihat wajah orang yang tadi menyerempetnya. “Amara.” Kata Indah kaget
sambil masih terguncang karena kejadian tadi. “Apa benar dia Amara? Kalau
benar, aku harus cepat-cepat mengatakan hal ini pada Riska.
Sesampainya
di sekolah Indah berlari dengan cepat menuju kelas. “Riska. Riska!” teriaknya
sambil memasuki ruang kelas yang masih sepi. Hanya ada tiga anak di dalamnya,
tapi beruntung Riska sudah ada di bangku duduk mereka. Sambil masih ngos-ngosan
Indah duduk di bangku mereka.
“Indah,
kamu kenapa? Kok lari-larian nggak jelas gitu?”
“Amara,
Ris. Amara.” Katanya terengah-engah.
“Tarik
napas dulu, Ndah.” Indah menarik napas panjang. Setelah Indah tenang, ia
kembali menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya.
“Apa?
Kamu ketemu Amara di jalan? Dan Amara hampir menyerempetmu?”
“Hemm,
iya, Ris.” Ucap Indah ragu. “Ris, kita harus bicara pada keluarga Amara. Agar
mereka tidak mengkhawatirkan Amara. Setidaknya Amara baik-baik saja.”
“Amara
sudah menghilang dari seminggu yang lalu. Iya, kita harus laporkan ini pada
keluarganya. Ayo, Ndah!!” merekapun bergegas menuju rumah Amara.
^.^#^_^#^o^
Malam sekali Indah baru pulang dari rumah
Amara. Di sana tadi ia berbincang-bincang dengan kedua orang tua Amara yang
tampak cemas apalagi Mamanya. Mama Amara sangat terguncang karena kehilangan putri
tunggalnya. Kedua orang tua Amarapun menceritakan semua yang dialami Amara.
Semenjak kecil Amara adalah anak yang suka dimanja oleh kedua orang tuanya.
Semua yang dimintanya selalu terpenuhi. Apapun itu, kedua orang tuanya selalu
menurutinya karena mereka sadar. Mereka tak punya waktu untuk bersama Amara.
Mamanya
menangis setiap hari karena putrinya yang hilang. Ia menyesal kenapa bisa jadi
begini. Tapi semua sudah terlanjur. Mereka semua tak tau dimana Amara kini
berada. Mama dan Papanya maklum bila Amara bersikap egois dan selalu membuat
onar.
Saat
mengolah sepedanya, di jalan Indah melihat sesosok perempuan berjalan dengan
terseok-seok di atas trotoar. Cahaya yang suram membuat wajah orang itu
samar-samar terlihat. Tapi saat orang itu mulai mendekat Indah tau itu siapa?
“Amara.” Indah langsung mendekat ke trotoar dan menjatuhkan sepedanya.
Amara
yang kelihatan lemas tiba-tiba saja jatuh. “Amara. Amara. Bangun, Amara. Apa
yang kau lakukan di sini malam-malam begini?” Indah mengguncang-ngguncang tubuh
Amara. Indah sadar tubuh Amara semakin kurus. Dia sangat ringan seolah-olah
Indah bisa menggendongnya.
“Kau,
siapa kau?” Tunjuk Amara ke wajah Indah, tapi mata Amara sedikit terpejam. Dia
mabuk. Baru berfikir begitu tiba-tiba saja keluar busa dari mulut Amara.
“Amara, kau kenapa?” jerit Indah yang khawatir. Indah menengok kanan dan kiri
jalan, tapi tak ada satupun kendaraan yang lewat. “Amara, bertahanlah!”
“Siapa
kau?” jerit Amara kasar. “Tidak penting siapa aku! Kau sedang sakaw. Kau tak
bisa bertahan lebih lama lagi kalau kau tidak di obati.” Ucap Indah yang
semakin kalut. “Aku tak butuh obat! Aku butuh uang!” kata Amara sambil berusaha
menggerakkan badannya, tapi gagal Amara terjatuh lagi. Indah langsung membopong
gadis itu. “Kau gila!” bentak Amara. “Naik ke punggungku! Sebelum kau mati
kocak di sini! Cepat naik!” perintah Indah yang masih memegangi tubuh Amara.
“Aku tak mau!” tapi Indah tetap menggendong Amara. “Rumah sakit 1 km lagi.
Bertahanlah Amara. Kau pasti selamat.” Amara sudah tak sadarkan diri sejak saat
itu.
Dengan gesit dan cepat Indah langsung berlari
menuju Rumah Sakit. Sepeda kesayangannya ia tinggal begitu saja di jalanan. “Allah, jaga temanku ini. Jangan ambil dia
dari semua orang yang menyayanginya.” Doa Indah dalam hati.
^.^#^_^#^o^
Seminggu
sudah Amara dirawat di Rumah Sakit. Keadaannya mulai membaik. Sejak seminggu
dulu ia menghilang, Amara mengkonsumsi narkoba dan minuman keras. Tapi untung
saja Indah cepat membawanya ke Rumah Sakit. Setelah keluar dari Rumah Sakit
Amara harus menjalani rehabilitasi di suatu tempat. Cerita memalukan dialami
oleh SMA Indonesia, Surabaya. Kristin (sahabat Amara sendiri) yang membuat
Amara mencoba narkoba. Ia adalah pengedar narkoba yang sekarang sudah diamankan
oleh polisi.
Hari
minggu ini, Riska dan Indah menjenguk Amara di panti rehabilitasinya. Mereka
menemui Amara yang sedang duduk di bangku dekat pohon. Rupanya ia sedang
menikmati udara sore hari. “Hai, Amara.” sapa Riska. Amara pun menoleh padanya.
“Riska.” Ia langsung memeluk sahabat lamanya itu. “Indah, kau datang juga.”
“Amara,
bagaimana keadaanmu?” Tanya Indah sambil tersenyum. “Aku…, seperti yang kalian
lihat. Semakin hari semakin baik.” Katanya. “Duduklah!” Mereka bertiga lantas
duduk bersama.
“Indah,
aku ingin berterima kasih padamu. Kau telah menolongku. Aku sadar aku begitu
jahat padamu dulu. Aku harap kau bisa memaafkanku.” Ucap Amara menyesal.
“Amara, manusia itu tempatnya salah. Tak ada satupun makhluk Allah yang
sempurna. Akupun sudah memaafkanmu.”
“Kau
baik sekali, Indah. Benar kalau Riska menyukaimu dan memilihmu sebagai
sahabatnya. Ia benar telah meninggalkanku.” Kata Amara sambil tersenyum.
“Amara, aku tak meninggalkanmu. Aku hanya ingin kau berubah menjadi lebih baik
lagi. Kau tetap sahabatku, kawan. Kita
bertiga sekarang bersahabatkan?” mereka tersenyum. Riska menaruh kedua
lengannya di pundak kedua sahabatnya masing-masing.
“Hahaha,
tapi sepertinya aku harus mengulang kelas lagi.” Ucap Amara sedih.
“Tenang,
kawan. Kami akan selalu menghibur dan ada untukmu. Kami akan menyemangatimu
hingga akhir. Ya kan, Ndah?” Riska menoleh pada Indah. “Tentu saja. SEMANGAT!”
teriak Indah. Indah bangun dari duduknya dan mengacungkan kepalan tangannya ke
atas udara.
“Amara,
SEMANGAT.” Riska pun ikut bangun. “Benar kata Indah, SEMANGAT!” mereka bertiga
pun tertawa bersama. Senja mulai menghilang di ujung cakrawala. Menyisakan
tangis kebahagiaan pada ketiga sahabat itu.
By :
Aulia Eka Putri P.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar