Sabtu, 03 November 2012

Mentari


M E N T A R I

Matahari berkilau keemasaan di antara gugusan langit biru. Gumpalan awan putih berkumpul jadi satu membentuk sebuah salam penyapa. Seolah berucap ‘selamat pagi dunia!’, namun Mentari tahu itu hal yang mustahil. Ia tersenyum sambil terus berjalan menuju kelasnya. Beberapa anak yang baik hati dan segan padanya berhenti untuk sekedar menyapa. Mentari mengangguk dan tersenyum senang. Ia membawa beberapa buku di tangan kirinya yang selalu ia percaya.
Tuhan itu adil, saat kita lemah pasti ada kekuatan tersembunyi yang ada pada diri kita, maka dari itu percayai dirimu sendiri agar kau tak pernah merasa kekurangan. Selalu ada hal yang lebih dalam dirimu. Karena setiap orang itu berbeda-beda. Ia percaya di balik sebuah musibah selalu ada hal terindah pada akhirnya.
Mentari menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai lantai dua di sekolahnya. Walau dengan keadaan fisiknya yang tidak sempurna, ia berhasil masuk ke sekolah normal dengan prestasi yang membanggakan. Hingga saat ini ia sudah duduk di kelas 10 SMA Nusantara di daerah Jakarta Barat.
Di undakan tangga yang terakhir, tak sengaja ia bertabrakan dengan seseorang hingga buku yang dipegangnya jatuh berserakan di atas lantai. “Maaf. Maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Mentari mengambil beberapa buku yang jatuh di atas lantai dan dibantu oleh orang yang menabraknya. “Tidak apa-apa kok.” Mentari mencoba melihat wajah orang misterius itu, namun ia terhalang oleh ujung jilbabnya yang menghalangi pandangannya. Sejauh ini ia belum berhasil menebak siapa pemilik suara sopran ini.
“Nah, ini bukumu yang terakhir.” Si pria di depan Mentari bangkit berdiri setelah menyerahkan buku terakhir ke tangan Mentari. Mentari ikut berdiri dan sekarang ia berhasil bertatapan langsung dengan pria misterius itu. “Hai. Aku Johan.” Si pria tersenyum dengan sopan sambil mengulurkan tangannya. Mentari hanya bisa menghela napas dan menyesal karena tak bisa menyambut tangan itu. Tangan kirinya sudah penuh dengan tumpukan buku. Si pria berambut cepak itu mulai mengerti dan menurunkan tangannya. “Rupanya kau adik kelasku, ya?”
“Kurasa begitu, kak.” Mentari mengangguk dengan sopan dan Johan membalasnya dengan senyuman. “Baiklah. Aku rasa kita sama-sama terburu-buru. Jadi maafkan aku atas kejadian tadi.” Mentari hanya tersenyum menjawab pernyataan Johan.
“Maaf, kak, aku harus pergi sekarang.” Johan tersenyum. “Baiklah, sampai jumpa lagi.” Mentari mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan Johan di tempatnya berdiri.
Ketika Johan akan melangkahkan kaki untuk pergi, tak sengaja ia menginjak selembar kertas di atas lantai. “Lho, ini kan kertas cewek itu.” Johan menggaruk kepalanya dan hendak memanggil Mentari, namun gadis itu sudah berbelok ke kelasnya. “Ya, sudah lah. Nanti saja kuberikan padanya.”
**
“Heh, Nadin. Masih aja lo mau deket-deket cewek cacat gitu? Nggak malu apa yak?” Fero mendengus kesal melihat Nadin teman lamanya yang kini lebih dekat dengan Mentari. Mentari yang duduk di sebelah Nadin hanya bisa tertunduk dengan sedih.
Nadin yang merasa terusik langsung bangkit dari tempat duduk dan menggebrak meja kelas dengan kasar. “Fero, jaga kata-katamu! Kamu nggak punya perasaan banget sih? Kenapa kamu selalu saja membuli Mentari. Dia punya salah apa sama kamu?”
Fero melengos dan tertawa dengan dibuat-buat. “Salah apa? Hidupnya aja udah salah. Pakai acara masuk-masuk ke sekolah elit kayak sekolah kita gini. Dia itu Cuma buat malu sekolahan tahu, nggak?” Fero tertawa terbahak-bahak bersama kedua teman wanita di belakangnya.
“Kamu benar-benar keterlaluan ya, Fer.” Nadin menjambak rambut Fero dengan kasar. “Auh! Lepaskan! Lepaskan! Kau tidak tahu siapa aku, ya?”
“Kamu itu cuma seorang pembuat onar di sekolah ini.” kedua wanita di belakang Fero langsung membantu Fero untuk melepaskan rambutnya dari tangan Nadin.
“Nadin, udahlah. Jangan menambah masalah! Biarkan mereka pergi.”
“Tapi, Men.” Mentari memegang tangan Nadin dan mencoba memberinya pengertian. Dengan kasar Nadin melepaskan rambut Fero. Ia mengedikkan bahunya dan mengibaskan tangannya dengan jijik. “Hihh, rambut mak lampir.” Nadin mengelap tangannya dengan menggunakan roknya. “Awas lo, ya! Tunggu aja! Bakal gue bales ini semua.” Fero mengacungkan jarinya dan beranjak pergi diikuti kedua dayang setianya. “Lakukan saja, Fer! Gue nggak pernah takut sama ancaman lo!” Teriak Nadin dari dalam kelas.
“Sudah. Sudah. Jangan kamu ladeni dia terus. Bisa-bisa kamu bakal benar-benar dikerjain sama dia.”
“Gue nggak peduli, Men. Gue tahu seperti apa dia. Cuma anak manja yang nggak bisa bersimpati sama orang lain.” Dengan kesal Nadin kembali duduk di atas kursi sambil memanyunkan bibirnya. “Kenapa sih kamu nggak baikan lagi sama dia?”
“Nggak. Dia itu nggak pernah bisa berubah.”
“Tapi kalian berdua kan sahabat. Sebagai sahabat seharusnya kamu bisa kasih support supaya dia mau berubah.” Nadin memandang Mentari. “Dia nggak mau berubah, Mentari. Aku bersahabat sama dia udah bertahun-tahun lamanya. Tapi dia nggak mau berubah dan nggak bisa berubah.”
“Kata siapa nggak bisa? Bisa kok. Setiap manusia pasti bisa jadi lebih baik dari sebelumnya. Kamu harus bisa kasih dia semangat untuk berubah. Dia pasti bisa kok, Nad. Asal dia percaya pada diri sendiri saja.” Nadin tersenyum dan memegang pundak Mentari. “Aku tak tahu hatimu terbuat dari apa, tapi kamu adalah teman yang baik, Mentari. Hal itulah yang masih belum bisa ia lihat dari dirimu. Terima kasih, teman.” Mentari tersenyum dan melanjutkan kegiatannya untuk membuat sebuah sketsa.
**
“Hei, Johan.” Riko berlari menghampiri Johan yang sedang berjalan keluar gerbang sekolah untuk pulang. “Hei, what’s up bro?” Mereka saling bersalaman dan merangkul punggung satu sama lain. “Mau kemana lo?” Tanya Riko.
“Ya mau pulang lah. Emangnya mau kemana lagi?”
“Ohh, lo tahu nggak. Ada lomba lukis yang bakal di selenggarain bulan ini.”
“Serius lo? Kapan?”
“Gue nggak tahu kapan tepatnya, tapi yang jelas bulan ini. Nah, berhubung gue punya temen berbakat seperti lo. Makanya gue belain capai-capai buat kejar lo and ngasih tahu soal ini ke lo.” Johan tampak berpikir untuk beberapa saat hingga Riko mengagetkannya. “Gimana? Lo mau ikut kan?”
“Nggak tahu deh. Gue pikir-pikir dulu, ya?” Johan melihat jam tangannya dan segera berpamitan pada Riko. “Gue pergi dulu ya. Udah telat nih.” Johan menepuk punggung Riko dan segera pergi meninggalkannya.
“Aneh banget anak itu. Tumben-tumbenan dia nggak langsung nerima tawaran gue. Biasanya langsung semangat kalau ada lomba macam gini.” Riko menggaruk kepalanya. “Tauk ah.”
Setelah tiba di rumah Johan segera masuk ke dalam kamarnya dan membuka tas punggungnya. Ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas dan mulai mengamati lukisan dalam kertas itu. Lukisan yang begitu artistik dan anggun. Pikirnya dalam hati. “Gimana kalau cewek tadi aja yang ikut lomba itu, ya?” Johan tersenyum dan menjentikkan jarinya.
**
“MENTARI!” Nadin berteriak dari lantai satu hingga terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Mentari menghantikan langkah kakinya ketika akan menginjak anak tangga berikutnya. Ia mengernyit sedikit mendengar teriakan Nadin yang cempreng.
“Ada apa, Nadin?” Nadin tersenyum lebar dan langsung berlari menaiki tangga untuk menyusul Mentari. Setelah kedua sahabat itu bertatap muka, Nadin langsung memeluk Mentari di depannya. Dengan kaget Mentari hanya bisa terdiam dan membalas pelukan Nadin.
“Kamu menang, Mentari.” Mentari mengernyitkan dahinya dan menggaruk kepalanya yang di tuupi oleh kerudung putih. “Menang apa sih?” Seketika itu juga wajah Nadin yang sebelumnya berseri-seri kini jadi lemas. “Maksudmu?” Nadin balik bertanya.
“Yah, apa yang maksudmu?”
“Ah, mbulet nih. Kamu nggak tahu kalau kamu menang lomba lukis antar sekolah di seluruh Jakarta.”
“Heh? Lomba apa sih? Aku nggak ngerti deh maksudmu itu apa.”
“Aduh, Mentari. Jadi kamu nggak tahu kalau kamu menang lomba lukis.”
“Gimana mau tahu sedangkan aku nggak pernah ikut lomba.”
“Come on, Mentari. Ini baca nih surat. Dari wali kelas kita tuh.” Nadin menyerahkan sebuah amplop surat kepada Mentari. Mentari menerimanya dan segera membaca apa isi surat itu.
Ingin rasanya ia pingsan di tempat setelah membaca surat itu. “Aku nggak pernah ikut lomba. Apalagi mengirimkan lukisanku untuk mengikuti sebuah perlombaan.”
“Lalu?”
“Mungkin panitia penyelenggara lomba salah mengirim surat.”
“Tapi itu namamu Mentari. Lihat dan baca! Mentari Letisya Zahira. Mana mungkin panitia lomba salah nama dan salah alamat waktu mengirim tuh surat.”
“Tapi si…”
“Hai, Mentari.” Johan berdiri di dekat mereka berdua dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. “Aku yang mengirim lukisanmu untuk mengikuti lomba itu.”
“Bagaimana bisa?” Johan duduk di sebelah Mentari sambil menautkan kedua tangannya di atas lutut. “Waktu kita bertabrakan kau menjatuhkannya. Aku menemukannya dan kukira kau pantas mengikuti lomba ini. Hasilnya, lihat saja! Kau berhasil jadi juara satu dan mengharumkan nama sekolah.”
“Johan.” Mentari tak kuasa menahan haru hingga ia menangis bahagia. Ia mampu menunjukkan bahwa perkataan orang lain selama ini salah besar terhadapnya. Ia tidak lemah. Ia berguna. Dan ia mampu mengharumkan nama sekolahnya dan membuat bangga semua orang terutama kedua orang tuanya. Memang ia tidak punya tangan kanan, tapi masih ada tangan kiri yang selalu jadi pelengkap hidupnya, menjadi tumpuannya dalam berkarya. Ia mampu membuktikan bahwa keadaan fisik yang tidak sempurna bukan penghalang baginya untuk berkarya. Nadin memeluk Mentari dengan bahagia. “Terima kasih, Johan.” Johan tersenyum dan mengangguk. Ia ikut bahagia untuk Mentari.
Tak berapa lama setelah mereka bertiga berbincang-bincang bersama, mereka mendengar sebuah teriakan dari seorang gadis di lantai bawah. Cepat-cepat mereka turun dari undakan tangga dan melihat Fero yang menjerit sambil ditarik dua orang polisi.
“Saya tidak bersalah, pak. Saya bukan pengedar narkoba. Ini semua fitnah, pak.” Si polisi tetap menarik paksa walaupun Fero berteriak-teriak tak karuan. “Semua bukti sudah otentik dan anda tidak bisa mengelak lagi. Sekarang ikut kami ke kantor polisi.” Fero hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya dengan putus asa karena perlawanan seperti apapun tak dapat membuat kedua polisi itu merubah pikirannya.
Fero melotot marah saat melewati Mentari, Johan, dan Nadin.  Mentari hanya bisa membalas tatapannya dengan sedih. Tak bisa ia pungkiri bahwa ia ikut sedih dan nelangsa saat melihat teman sekelasnya harus berurusan dengan polisi. Walau bagaimanapun sikap Fero kepadanya selama ini, hal itu tak bisa membuat Mentari untuk membencinya.
Kedua orang tua Fero mengikuti di belakang. Mamanya menangis sesenggukan sambil dirangkul suaminya. “Dia pantas mendapatkannya.” Nadin berucap. “Nadin, kau tidak boleh seperti itu.”
“Apa gunanya mengasihani orang seperti dia? Dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Yang penting sekarang kamu bisa menunjukkan siapa yang mengharumkan nama sekolah dan siapa yang membuat kebusukan di dalam sekolah.”
“Dia tetap teman kita. Walau bagaimanapun sifatnya kepada kita. Walau bagaimanapun perlakuannya ia tetap teman kita.” Joha memegang pundak Mentari. “Kau mau memaafkannya?” Mentari tersenyum dan menjawab, “Apapun itu. Aku sudah memaafkannya.”



By:   Aulia Eka Putri Purnama
XI-MM

Senin, 24 September 2012

Contoh Treatment Gue


Treatment
TREE

 


1.      SEGMENT – 1
Segerombolan anak berlarian di sekitar koridor. Dua sahabar yang saling berangkulan berjalan bersama sembari mengembangkan tawa mereka. Bangku-bangku di sekitar koridor menampakkan murid-murid yang duduk dan bercanda.

2.      SEGMENT – 2
Rere menyisir rambutnya yang panjang di depan cermin di dalam kamarnya. Saat ia tersenyum, tiba-tiba saja rambutnya rontok sebanyak genggaman tangan. Ia merasa panik, kepalanya berdenyut-denyut, hidungnya mengeluarkan darah, lalu ia pingsan begitu saja.

3.      SEGMENT – 3
Pagi hari, sebelum Rere berangkat ke sekolah, ia duduk di ruang makan bersama ibunya. Ia diam dalam kebisuan begitu lama dan hingga akhirnya ia tidak memakan masakan ibunya. Ia pergi begitu saja.

4.      SEGMENT – 4
Rere berjalan menghampiri supirnya –Pak Budi—yang tengah menunggunya di halaman rumah sambil membersihkan kaca mobil dan mereka pun berangkat menuju ke sekolah Rere.

5.      SEGMENT – 5
Saat jam istirahat, Rere menikmati bekal yang dibawakan ibunya di depan kelas. Ia duduk di sebuah bangku panjang sambil melihat teman-temannya yang hilir mudik berjalan di depannya. Lalu seseorang datang menghampirinya yang tak lain adalah Andrea sahabat Rere. Mereka pun bercanda bersama.

6.      SEGMENT – 6
Rere lari di sepanjang jalan koridor sekolah dan berusaha menuju taman belakang sekolah tepat waktu karena ia mempunyai sebuah janji untuk bertemu dengan Arga di tempat itu.

7.      SEGMENT – 7
Rere menghampiri seorang laki-laki yang sudah menunggunya sejak tadi. Lelaki itu adalah kekasihnya yang bernama Arga. Mereka tengah berencana untuk bertemu sore nanti.

8.      SEGMENT – 8
Sore hari ketika Rere dan Arga tengah berjalan untuk pulang setelah menonton film, mereka dihampiri oleh seorang pengemis. Pengemis itu meminta sedikit uang dari mereka dan Rere pun memberikan uangnya pada pengemis.
9.      SEGMENT – 9
Saat jam istirahat sekolah, Rere tengah mencari-cari buku Bahasa Jepang di perpustakaan, namun tak kunjung menemukan buku itu, lalu Andrea datang dan membantunya untuk mencari buku. Ketika mereka telah menemukan buku itu, terdengar suara barang jatuh di sana. Rere pun berusaha menolong Niko yang menjatuhkan buku-buku. Penjaga perpustakaan datang menghampiri mereka bertiga dan menghukum mereka karena perbuatan yang dilakukan Niko.

10.  SEGMENT – 10
Rere berlari dan masuk ke dalam toilet wanita. Ia berusaha menghilangkan dan menghapus darah yang semakin banyak menetes dari hidungnya.

11.  SEGMENT – 11
Setelah Rere pulang dari sekolah, ia masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi. Ibunya menghampirinya dan mereka saling berbicara.

12.  SEGMENT – 12
Rere bertemu dengan Arga di taman belakang sekolah untuk menyatakan keinginannya. Arga memberinya setangkai bunga. Mereka membisu sekian lama, lalu Rere mulai mengatakan keputusannya. Arga hanya dapat membisu mendengar kata-kata Rere.

13.  SEGMENT – 13
Rere menulis sepucuk surat untuk Arga di malam hari. Ia mencurahkan semua alasannya dalam surat itu, tapi tiba-tiba saja hidungnya mengeluarkan darah lagi dan iapun jatuh pingsan.

14.  SEGMENT – 14
Pagi hari, ibu Rere tengah menyuapi bubur kepada Rere, lalu tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Arga berdiri di sana. Menampakkan wajah yang sedih. Ibu Rere keluar dari kamar dan memberikan waktu bagi mereka untuk berbicara. Seketika itu juga Rere menghembuskan napasnya yang terakhir.

15.  SEGMENT – 15
Rere membayangkan masa lalunya, saat ia pertama kali berjumpa dengan Arga di taman belakang sekolah. Di dekat sebuah pohon. Arga memberinya setangkai bunga dan menanyakan namanya ketika ia pertama kali melakukan MOS di sekolahnya.

16.  SEGMENT – 16
Saat jam istirahat sekolah, Arga tengah melamun dan duduk di depan kelas. Andrea berjalan menghampirinya dan menyerahkan surat terakhir dari Rere untuknya.


Jumat, 14 September 2012

Perakitan PC

wahahaha...
kali ini di pelajaran kompetensi keahlian multi media, ada tugas buat gambar ilustrasi berdasarkan bab kopetensi yang ada pada jurusan multi media.. :)
dan berdasarkan pemikiran gue yang awut-awutan gue dengan bangga memilih bab TARAA! Perakitan PC.. :) xixixi

berhubung gue nggak bisa gambar jadi gue pilih yang mudah buat gue..
Ok deh coba liat nih gambar awut-awutan gue :D


 wkwkwk. hasilnya begitu amazing :D
di gambar ini gue mengilustrasikan bahwa perkembangpan komputer atau PC dimulai dari persatuan antara monitor, casing, dan keyboard :D
lalu berkembang lagi menjadi LCD
lalu lebih kompleks lagi menjadi lepi
dan yang terakhir perkembangannya menjadi lebih multi fungsi menjadi PC tablet
HOREE!!
tepuk tangan buat si jenius penemu PC :D

Jumat, 07 September 2012

Contoh Tugas Skenario karyaku !


Skenario





TREE

FADE IN:
1.                  SEKOLAH – PAGI
Segerombolan anak berlarian di sekitar koridor. Dua sahabar yang saling berangkulan berjalan bersama sembari mengembangkan tawa mereka. Bangku-bangku di sekitar koridor menampakkan murid-murid yang duduk dan bercanda.

2.                  KAMAR TIDUR – SIANG
Cahaya matahari masuk menerobos jendela kamar Rere dan tertahan di atas lantai kamar. Seorang gadis berambut panjang menyisir rambutnya dengan senyum cemerlang di hadapan sebuah kaca. Tiba-tiba saja tangannya yang terkepal memegang rambutnya yang rontok. Rere memandang genggaman tangannya. Kejadian selanjutnya ia merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut dan hidungnya mengeluarkan darah. Lalu semuanya GELAP.

3.                  RUANG MAKAN – PAGI
Seorang gadis berkerudung putih dengan pakaian putih abu-abu bersama ibunya duduk di atas kursi. Di depannya terhidang berbagai jenis masakan. Sang ibu menatap anaknya dengan gelisah. Matanya menyiratkan perasaan pedih dan tertekan. Anaknya yang sedari tadi duduk di hadapannya hanya memandang kosong ke piring di depannya. Matanya menyiratkan rasa letih. Tak tahan dengan keadaan itu, ibu Rere pun berjalan ke arahnya dan mengelus kepalanya.

IBU RERE
(sedih)
Apa kau yakin tidak ingin memakan makanan yang sudah ibu buatkan untukmu?

RERE
(menatap ibunya)
Tidak, Ma. Aku mau berangkat sekolah!
(mengambil tas di sisinya dan pergi keluar rumah)

IBU RERE
(berteriak)
RERE!

4.                  HALAMAN RUMAH – PAGI
Seorang laki-laki paruh baya membersihkan kaca depan mobil ketika Rere datang menghampirinya. Pak Budi segera menghampiri Rere dan memasukkan kain lap ke dalam saku celananya.

PAK BUDI
(tersenyum)
Pagi, Non. Apa kabar?
RERE
(tersenyum singkat)
Pagi, Pak. Aku baik-baik saja. Apa kita bisa berangkat sekarang.

PAK BUDI
(berjalan ke dekat pintu mobil dan membukanya)
Siap, Nona. Silahkan masuk!

Rere tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Sementara Pak Budi berjalan ke sisi mobil yang lain dan mulai tancap gas menuju sekolah.

5.                  BANGKU DEPAN KELAS – JAM ISTIRAHAT
Dua orang siswi yang membawa buku dan tersenyum bersama lewat di depan Rere yang tengah menikmati bekal di sebuah bangku di depan kelasnya. Ia kembali meneruskan menyantap roti isi selai strawberrynya ketika seorang gadis mungil berlari ke arahnya. Kepang kuda gadis itu bergoyang ke kanan dan kiri saat ia berlari. Rere tersenyum dan bangkit dari bangku itu, ia menyambut Andrea –sahabatnya—dengan sebuah pelukan.

RERE
(tersenyum senang dan melepaskan pelukan)
Andrea, ada apa ke sini? Kau tidak rapat OSIS?

ANDREA
(memanyunkan bibirnya)
Masa bodoh sama rapat. Sudah seminggu aku tidak bertemu sahabatku. Masak aku harus meninggalkanmu demi rapat konyol.

Mereka berdua duduk di bangku panjang tadi. Rere menawarkan roti isinya kepada Andrea yang menerima dengan mata berbinar-binar

RERE
(memandang taman di depan)
Walau begitu kau harus tetap menjalankan tugasmu. Kau itu anggota OSIS jadi kamu harus melakukan tanggung jawabmu terhadap jabatanmu.

ANDREA
(memandang Rere)
Ah, kau ini. Aku kan lagi kangen sama sahabatku.
(melingkarkan kedua tangannya ke leher Rere)

Mereka berdua bercanda bersama dan melewatkan hampir setengah jam istirahat dengan tertawa. Setelah Rere menghabiskan roti isinya dan tak sengaja melihat jam tangannya. Ia teringat sesuatu.

RERE
(melotot)
Gawat! Kenapa aku bisa sepikun ini sih?

ANDREA
(meneliti wajah Rere)
Ada apa? Apa kau melupakan sesuatu?

RERE
(memegang kedua tangan Andrea)
Aku harus pergi. Aku ada janji dengan Arga.
(menatap dengan tatapan memohon)

ANDREA
(menyunggingkan senyum)
Pergilah! Dia pasti sudah menunggumu dari tadi.

RERE
(tersenyum dan sedikit berdiri dari bangku)
Terima kasih, kawan!
(berlari melalui koridor)

ANDREA
(berteriak)
Good luck, Re!

6.                  KORIDOR – JAM ISTIRAHAT
Rere berlari di sepanjang koridor dan segera menuju taman belakang sekolah. Ia mendaki tangga dan berbelok di tikungan sebelum sampai di taman.

7.                  TAMAN BELAKANG SEKOLAH – JAM ISTIRAHAT
Seorang laki-laki berambut cepak berdiri di depan sebuah bangku panjang sedang memperhatikan lapangan bola yang ada di depannya. Tangan kanannya di masukkan ke dalam saku celana. Rere merapikan kerudung putihnya dan seragamnya sebelum berjalan dengan perlahan menghampiri Arga yang tak lain adalah kekasihnya. Arga menghela napas panjang dan menoleh kea rah datangnya Rere. Ia tersenyum senang melihat orang yang ditunggunya akhirnya datang.

RERE
(menundukkan kepala)
Maaf aku telat. Aku kelupaan. Apa kakak sudah lama menungguku?

ARGA
(tersenyum)
Tidak apa-apa. Oh, ya. Ayo, duduk!

Mereka berdua duduk di masing-masing sisi bangku.

RERE
(menghela napas)
Ada apa? Mengapa kakak mengajakku bertemu?

ARGA
(menoleh dan memandang Rere)
Apa aku salah jika aku merindukan kekasihku?

RERE
(tersenyum malu)
Tidak kok.

ARGA
(menautkan kedua telapak tangannya dan menaruh sikunya di atas lutut)
Apa kau ada acara sore ini?

RERE
(berpikir)
Tidak. Memangnya kenapa?

ARGA
(tersenyum dan memandangnya)
Aku ingin mengajakmu jalan-jalan dan menonton sebuah film. Ada film terbaru yang akan tayang.

RERE
Jam berapa?

ARGA
Sekitar jam 3 sore. Aku janji kita tidak akan pulang malam. Paling larut jam 6 sore.

RERE
(tersenyum senang)
Okelah kalau begitu. Jam 3.

ARGA
(tersenyum)
Jam 3. Aku jemput di rumahmu.

Rere tersenyum sebelum akhirnya pergi meninggalkan Arga sebelum bel masuk kelas berbunyi.

8.                  PINGGIR JALAN – SORE
Matahari menampakkan cahayanya yang mulai memudar dan akan kembali menuju peraduan. Awan di atas langit berpendar keabuan. Rere dan Arga berjalan di pinggir jalan setelah menonton film di bioskop. Mereka tertawa bersama disela perjalanan mereka.
Rere tertawa mendengar lelucon yang dikatakan oleh Arga dan mereka berbelok sebelum perempatan. Tiba-tiba seorang pengemis berjalan menghampiri mereka. Seorang bapak-bapak yang terbatuk-batuk dengan pakaian compang camping berjalan mendekat. Setelah dekat ia mulai menengadahkan telapak tangannya. Rere memandang dengan iba.

PENGEMIS
(menengadahkan tangan dan memegang perutnya)
Sedekahnya, mbak.

RERE
(menatap iba)
Aduh, kasihan sekali

PENGEMIS
(memegang perutnya)
Saya sudah seminggu tidak makan, mbak.

RERE
(merogoh-rogoh tasnya)
Ini untuk bapak. Maaf nilainya tidak seberapa. Semoga itu cukup.

PENGEMIS
(menerima uang itu)
Terima kasih, mbak. Mbak baik sekali.

Pengemis itu lantas pergi dari hadapan mereka dengan wajah berseri-seri. Rere mengatur letak tasnya di pundak dan melanjutkan perjalanan. Sementara itu Arga tersenyum di belakang Rere dan merasa kagum.

RERE
(berbalik menghadap Arga dan cemberut)
Kenapa senyam senyum terus?

ARGA
(menutup mulut dengan tangannya)
Maaf. Aku kagum melihatmu. Biasanya orang memberi pengemis uang seribuan, tapi kamu malah 50 ribuan. Wow, pengemis bisa cepat kaya bila mondar mandir dihadapanmu.

RERE
(menghela napas)
Kita sebagai manusi yang diciptakan oleh Allah dengan keadaan yang lebih baik dari saudara kita yang lainnya, berarti kita wajib menyisihkan uang untuk mereka yang pantas dibantu.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan.

ARGA
(tersenyum tanpa menatap Rere)
Kau wanita yang baik dan sholehah. Aku beruntung.

RERE
(menatap Arga)
Mengapa beruntung?

ARGA
(balas menatap Rere)
Karena memilikimu.

RERE
(menyunggingkan senyum tipis)
Aku bukan milikmu, tapi milik Allah.

ARGA
(menatap jalan)
Maksudku aku beruntung bisa memiliki pacar sepertimu.

Mereka berdua tersenyum satu sama lain dan melanjutkan perjalanan mereka.

9.                  PERPUSTAKAAN SEKOLAH – JAM ISTIRAHAT
Rere memeriksa sejumlah buku yang tertata rapi di rak perpustakaan. Matanya mencari-cari judul buku yang sedang dicarinya. Andrea berjalan mengendap-endap dibelakangnya sebelum menyentuh pundak Alisa dan mengagetinya.

ANDREA
(berteriak)
Duarrr!!

RERE
(terlonjak kaget)
Astaghfirullah, Andre!
(mengelus dada)

ANDREA
(tertawa terbahak-bahak)
Sorry, kawan. Hehehe. Peace!

RERE
(memalingkan wajah dan kembali mencari buku)
Dimana ya?

ANDREA
(celingukan di belakang punggung Rere)
Cari apaan sih kamu ini? Kulihat dari tadi kamu sibuk sendiri.

RERE
(menarik buku-buku dari rak)
Ini lho buku pelajaran Bahasa Jepang

ANDREA
(tersenyum)
Oh, buku Bahasa Jepang. Kalau buku itu bukan disini tempatnya. Tapi di sini nih!
(menarik lengan baju Rere)

RERE
(memegang tangan Andrea di bahunya)
Aduh, aduh, Andrea.

ANDREA
(menunjuk rak buku di depan mereka)
Di sini nih tempatnya

RERE
(berbinar-binar)
Wah, makasih, kawan. Kau benar-benar membantu.

ANDREA
(menyentuh kerah bajunya sambil berlagak)
Andrea gitu lho!

Mereka berdua pun tertawa dan bercanda bersama, lalu sebuah suara “GEDUBRAK” mengagetkan dan menghentikan tawa mereka.

RERE
(berbisik)
Suara apa itu?

ANDREA
(mengayunkan tangan sembari mengajak)
Ayo kita lihat!

Di perpustakaan itu tidak ada orang lain selain mereka berdua. Mereka pun berjalan mengendap-endap dan melihat Niko –teman sekolah mereka yang terkenal bandel—jatuh di atas lantai, sedangkan buku-buku berserakan di dekat kakinya.

NIKO
(menyentuh pantatnya)
Aduh!!

RERE
(menghampiri Niko dan menyentuh lengannya)
Kau tidak apa-apa?

NIKO
 (menepis tangan RERE)
Aku tidak perlu bantuanmu, anak tengik!

ANDREA
(berjalan menghampiri mereka berdua)
Mengapa kau kasar sekali, Niko? Padalah Rere cuma ingin menolongmu.

Niko membalas tatapan Andrea dengan tajam. Ia membersihkan sikunya dan akan bengkit berdiri tapi ia jatuh lagi ke atas lantai, namun ia berhasil berpegangan pada rak buku.

RERE
(memandang Niko)
Hati-hati

NIKO
(berteriak)
Jangan menolongku!

ANDREA
(memandang Niko sambil berteriak)
Kau jahat sekali, Niko! Dia hanya ingin menolongmu!

RERE
(menyentuh dan melepaskan tangan Andrea)
Berhenti Andrea. Niko hanya akan tambah kesal jika kau begitu.

ANDREA
(menatap Rere)
Rere….

Rere menatap Andrea dengan tatapan memohon. Andrea melengos tanpa memandang Niko, sedangkan Niko mendengus dan berdecak sebal.

Tak lama setelah itu seorang laki-laki datang dan menghampiri mereka. Laki-laki berumur separuh baya itu, tak lain adalah penjaga perpustakaan.

PAK PENJAGA
(berteriak)
Hei, ada apa ini? Mengapa kalian rebut-ribut sendiri?
(melotot kepada ketiga siswa)

RERE
(menggaruk lehernya dengan gusar)
Anu, Pak…

PAK PENJAGA
(memuntir kumisnya)
Ona. Anu. Ona. Anu.

ANDREA
(memandang pak penjaga)
Begini, Pak, kami hanya ingin membantu Niko yang terjatuh. Sebenarnya bukan kami sih, tapi Rere. Aku sih nggak tertarik nolongin gerandong kayak dia.
(melirik Niko lalu melengos begitu saja)

RERE
(menyentuh punduk Andrea)
Andrea, ah…

ANDREA
(marah)
Udahlah, Re, orang macam dia itu nggak pantas dibantu. Orang kaya sombong yang sok!
(melirik Niko dengan kesal)

PAK PENJAGA
(melepaskan tangannya dari kumis)
Halah-halah. Sudah! Kalian semua bapak hukum.

ANDREA
(melotot)
Hah? Dihukum? Bapak nggak salah ngomong? Kami Cuma niat bantuin tuh orang. Kenapa kami ikutan dihukum?

PAK PENJAGA
(menaruh kedua tangan di pinggul)
Eh, anak kecil ini, dibilangin kok ngeyel. Kalian udah membuat keributan di perpustakaan. Jadi kalian harus menyapu dan menata buku-buku yang jatuh itu.

Setelah memberikan hukuman, penjaga perpustakaan itu pergi dan meninggalkan ketiga sisiwa di sana. Andrea kesal dan menghentakkan kakinya di lantai.

ANDREA
(mendengus sebal)
Ah! Dasar! Ini semua gara-gara lo tau nggak!
(menunjuk Niko yang sedari tadi diam)

NIKO
(melotot pada Andrea)
Kalau karena gue, emangnya kenapa, NONA SOK JAGO!

ANDREA
(melangkah maju sambil mengepalkan tangan)
Tutup mulut, orang jahat!

RERE
(menahan langkah Andrea)
Andrea, cukup!

ANDREA
(memandang Rere dan menghela napas panjang)
Tapi, Re!

Rere tersenyum dan menggiring temannya untuk mencari sapu dan mulai membersihkan perpustakaan. Sementara itu Niko dengan sebal dan mengutarakan kata-kata tidak jelas, mulai merapikan buku-buku yang terjatuh.
Andrea menyapu lantai perpustakaan dengan wajah sewot. Rere menghampiri Niko dan membawakan obat oles untuk pergelangan kakinya.

NIKO
(melirik Rere)
Ngapain lo kesini lagi?

RERE
(memberikan obat pada Niko)
Aku Cuma mau ngobatin kakimu, kok.


NIKO
(tersenyum sinis)
Gue nggak butuh tuh.

Tanpa memandang Rere, Niko langsung meneruskan pekerjaannya untuk menata buku. Di sampingnya Rere menghela napas dan menaruh obat itu di atas meja. Ia lalu berjalan ke samping Niko dan membantunya menata buku.

NIKO
(memandang Rere dengan sebal)
Ngapain lo masih di sini?

RERE
(tersenyum)
Aku cuma mau bantuin kamu aja.

NIKO
(marah)
Harus berapa kali lagio gue bilang ini ke lo! GUE NGGAK BUTUH BANTUAN!

RERE
(tersenyum)
Setiap manusia membutuhkan bantuan dari orang lain, Nik.

NIKO
(melotot)
Gue enggak tuh!

RERE
(mengangkat bahu dan melanjutkan menata buku di rak)
Ya, sudah.

NIKO
(meringis kesakitan sambil memegang pergelangan kaki)
Aduh!

RERE
(menghampiri Niko dan membawa obat tadi)
Kenapa, Nik? Sakit, ya? Ini obatnya.

Rere mengulurkan obat oles yang di pegangnya kepada Niko. Niko menerimanya dengan kasar dan mulai mengurut sendiri pergelangan kakinya yang terluka. Ia membiarkan Rere begitu saja. Lama mereka diam dalam kebisuan, kepala Rere seperti diserang seribu tawon. Kepalanya kembali berdenyut-denyut dan hidungnya mengeluarkan darah. Niko menoleh dan mengawasinya.

NIKO
(tersenyum sinis)
Kenapa lo?

RERE
(memegang hidung)
Nggak papa kok.

Rere langsung berlari keluar perpustakaan sambil menutupi hidungnya.

ANDREA
(berteriak)
Re, kamu kenapa?

10.              TOILET WANITA – JAM ISTIRAHAT
Rere membersihkan darah di hidungnya di kamar mandi. Setelah itu ia membasuh wajahnya di depan cermin. Dan menyumpal hidungnya yang mengeluarkan darah dengan tishu. Ia hampir saja terjatuh, namun tangannya berhasil berpegangan pada kaca di depannya.

11.              RUANG TAMU – SIANG
Rere yang lelah sehabis pulang sekolah langsung duduk di kursi dan melemparkan tasnya ke lantai. Ibunya yang baru saja akan menghampirinya terlihat khawatir terhadap anaknya.
IBU RERE
(cemas)
Rere, ada apa?

RERE
(tersenyum)
Tak apa, ma. Hanya kelelahan.

IBU RERE
(duduk disamping Rere dan menyentuh pundaknya)
Mau mama ambilkan minum? Tunggu sebentar ya, sayang.

Sebelum ibu Rere pergi, Rere menyentuh tangan ibunya.

IBU RERE
(menoleh dan duduk kembali)
Ada apa, sayang?

RERE
(tersenyum)
Hanya ingin bilang. Aku cinta mama karena Allah.

Mereka berpelukan. Ibu Rere berkaca-kaca mendengar perkataan anaknya.

IBU RERE
(mengelus punggung anaknya)
Mama juga sayang Rere karena Allah.

RERE
(melepaskan pelukan)
Maafin Rere, mah. Rere nggak bisa jadi anak yang baik buat mama. Ayah sudah meninggal dan sebentar lagi Rere akan menyusulnya. Tapi Rere janji mama nggak akan sendirian. Rere akan melihat dan mengawasi mama dari atas sana.

IBU RERE
(menyentuh pipi anaknya)
Jangan berkata begitu, nak.

RERE
(memegang tangan ibunya)
Ma, memang itu kenyataannya. Mama mau kan memaafkan Rere.

IBU RERE
(mengangguk dan menarik napas panjang)
Mama sudah memaafkanmu.

12.              TAMAN BELAKANG SEKOLAH – JAM ISTIRAHAT
Rere menyentuh tubuh pohon angsana yang ada di hadapannya. Sedari tadi ia berdiri di san sendirian dan menanti Arga yang belum juga datang. Setelah lama menanti Arga menghampiri Rere dan menyapanya.

ARGA
(tersenyum)
Hai, apa sudah lama menunggu?

Rere
(mengangkat kedua pundaknya)
Yah, lumayan.

ARGA
(membuat wajahnya terlihat merasa bersalah)
Maafkan aku. Tapi aku punya hadiah untukmu.
(mengeluarkan bunga sepatu dari balik punggungnya)

Rere tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Mereka lalu berjalan dan mendekat. Rere mengambil bunga di tangan Arga tanpa menyentuh tangannya.

RERE
(mencium bunga)
Terima kasih.
(tertawa)

ARGA
(menggaruk belakang kepalanya)
Mengapa tertawa? Memangnya ada yang lucu ya?

RERE
(duduk di bangku dan memandang lapangan di depannya)
Ya lucu saja. Setiap laki-laki member bunga mawar merah untuk orang yang di cintainya. Sementara kau memberiku bunga sepatu. Apa tidak aneh?

ARGA
(tersenyum)
Aku ingin jadi laki-laki berbeda. Dan tidak monoton.

Mereka diam dalam kebisuan begitu lama sampe akhirnya Rere mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan hal itu kepada Arga.

RERE
(menarik napas)
Aku ingin putus.

ARGA
(kaget dan menoleh kepada Rere)
Apa maksudmu?

RERE
(memandang kebawah)
Aku ingin putus. Hanya ingin putus. Maafkan aku.

Rere berdiri dari bangku dan saat ia berjalan melewati Arga, ia berhenti. Arga mulai berdiri dan berkata.

ARGA
(sedih)
Setidaknya, beritahu aku apa alasanmu?

Rere hanya bisa menghela napas dan melanjutkan perjalannannya. Bunga yang dipegangnya jatuh ke atas tanah. Arga hanya dapat menatap bunga itu dengan sedih.

13.              KAMAR TIDUR – MALAM
Rere menuliskan sepucuk surat untuk Arga sebelum ia tidur. Belum selesai surat itu dibuat kepalanya terasa pusing lagi. Hari demi hari rasa pusing itu semakin bertambah. Ia tak memperdulikan rasa sakit yang dideritanya dan darah yang menetes dari hidungnya. Ia tetap melanjutkan menulis surat itu, hingga di bait terakhir ia selesai, rasa sakit itu tak bisa ditahannya lagi. Ia berjalan ingin menuju pintu.

RERE
(berteriak)
MAMA!

Ibu Rere masuk ke kamar Rere dan melihat anaknya sudah dalam keadaan tak sadarkan diri di atas lantai.

14.              KAMAR TIDUR – PAGI
Di dalam kamar, ibu Rere sedang menyuapi anaknya dengan semangkuk bubur. Belum selesai ia menyuapkan sendok terakhir pintu kamar sudah terbanting terbuka. Arga berdiri mematung di ambang pintu. Ibu Rere menaruh mangkuk di atas meja lalu mempersilahkan Arga untuk masuk.
Arga lalu berjalan menghampiri Rere dan duduk di sampingnya. Ia tidak melepaskan tatapannya dari wajah Rere.

RERE
(parau)
Arga.

ARGA
(sedih)
Rere, mengapa bisa begini?

RERE
(tersenyum)
Aku taka pa kok. Hanya sakit biasa.

ARGA
(memandang wajah Rere)
Berhenti membohongiku mulai dari sekarang. Andrea sudah menceritakan semuanya. Kau. Kenapa kau membohongiku? Kenapa kau tak menceritakan semua ini padaku? Dan mengapa kau tidak pergi ke rumah sakit?

RERE
(tersenyum)
Banyak sekali pertanyaanmu. Aku jadi bingung harus jawab yang mana. Aku tidak bisa masuk rumah sakit. Aku ingin menghabiskan waktu terakhirku bersama mama. Aku tak bercerita karena aku tak ingin kamu sedih. Aku tidak berbohong hanya tidak bercerita.

ARGA
(menghela napas)
Aku hanya ingin kau bicara padaku tentang hal ini.

RERE
(memandang Arga)
Aku tak ingin kau sedih.

ARGA
Sekarang aku jadi tambah sedih karena tak tahu sejak awal.

RERE
(menghela napas)
Maafkan aku. Maaf aku tidak bercerita.

ARGA
(tersenyum)
Hei, aku tetap mencintaimu. Jangan sedih. Kau akan sembuh.

Arga berusaha tersenyum dan menghibur kekasihnya, namun hatinya terasa sakit seperti di injak-injak berton-ton gajah. Rere merasakan pening yang teramat pada kepalanya. Ia mengernyit menahan sakit.

ARGA
(memandang Rere)
Ada apa?

RERE
(memegang kepalanya)
Waktuku tidak lama.

ARGA
(sedih)
Jangan berkata begitu.

RERE
(memandang Arga)
Waktuku sudah habis. Biarkan aku bicara. Aku minta maaf tidak bisa bertahan lama denganmu. Maaf tidak pernah membicarakan ini denganmu. Aku hanya ingin kau bahagia. Aku berharap jika aku bisa memulai kehidupan kedua. Aku ingin bersamamu. Tapi itu semua tergantung Allah.

ARGA
(menunduk)
Rere.

RERE
(tersenyum)
Selamat tinggal, Ar. Senang bisa mengenalmu. Jalani hidupmu dengan lebih baik lagi. Kau tetap kekasihku sejak awal hingga akhir.

Rere menutup matanya dan Arga meneriakkan namanya lalu Ibu Rere, Pak Budi, dan Andrea masuk ke dalam kamar. Mereka semua hanya dapat menunduk di sebelah ranjang Rere.




15.              TAMAN SEKOLAH – PAGI
Dalam tidurnya yang panjang Rere membayangkan saat pertama kali ia berjumpa dengan Arga di taman belakang sekolah. Pria itu sedang menjalankan hukumannya karena telat masuk kelas. Ia berjongkok dan memotong rumput di lapangan bola.
Rere yang tengah kabur karena di kejar-kejar kakak kelas yang ingin berkenalan dengannya langsung berlari dan bersembunyi di belakang bangku.
Arga yang menyadari kehadiran Rere langsung berjalan menghampirinya dengan mengendap-endap. Rere yang mengira kakak kelas itu sudah pergi lalu berdiri dari persembunyiannya.


RERE
(kaget)
Aaaaa…

Rere menutup wajahnya dan Arga tertawa memperhatikannya.

RERE
(melepaskan tangan dari wajahnya)
Si… siapa kamu? Mengapa kamu tertawa?

ARGA
(tersenyum lebar)
Kau lucu. Ada apa adik kecil? Mengapa kamu bersembunyi?

Rere masih ingat hari itu. ia memakai seragam SMPnya dan kain yang di selempangkan di lehernya seperti dasi. Ia tengah menjalani MOSnya yang pertama.

RERE
(gugup)
Anu, tadi ada cowok yang mengejarku. Aku takut. Jadi aku bersembunyi.

ARGA
(tersenyum)
Sudah jangan nangis. Aku punya hadiah untukmu.

Arga berjalan ke sebuah tanaman dan memotong bunga sepatu dari sana. Ia lalu memberikannya kepada Rere.

ARGA
(memberikan bunga)
Ambillah!

RERE
(menunjukk dirinya)
Untuk Rere?

ARGA
(kembali menyodorkan bunga lebih dekat)
Iya, ini untukmu!

Takut-taku Rere mengambil bunga itu, Arga tersenyum melihatnya. Rere pun ikut tersenyum.

RERE
(tersenyum)
Terima kasih. Kakak baik sekali.

ARGA
(tersenyum)
Aku memang baik. Jadi itu namamu? Rere? Nama yang cantik.

RERE
(tersenyum tipis)
Iya, Anasya Renata Kusumo.

Mereka tersenyum bersama dan ingatan itu pun kabur membentuk ruang gelap sangat gelap.

16.              BANGKU DEPAN KELAS  – JAM ISTIRAHAT.
Andrea menghela napas sebelum berjalan menemui Arga yang sedang melamun dan duduk di depan kelas. Andrea membawa sepucuk surat di tangannya. Berwarna biru cerah seperti warna yang disukai Rere sahabatnya yang kini telah meninggal.

ARGA
(menatap Andrea di depannya)
Rere…

ANDREA
(menghela napas)
Aku Andrea, bukan Rere, kak.

Arga mengucek matanya sebelum memandang Andrea untuk yang kedua kalinya.

ARGA
(mengela napas)
Oh, kamu, Ndre. Ada apa? Maaf aku masih belum terbiasa dengan kematian Rere.

ANDREA
(menyodorkan surat)
Aku bisa mengerti, kak. Ini surat terakhir dari Rere untukmu.

ARGA
(menerima surat)
Terima kasih.

ANDREA
(tersenyum dan menyentuh pundak Arga)
Kuatkan dirimu. Ikhlaskan dirinya. Aku yakin ia lebih bahagia di sana.

Setelah itu Andrea langsung pergi dari sana. Ia mengelap matanya yang sedikit berair. Setelah Andrea pergi, Arga membuka surat dari Rere.


Assalammualaikum Wr. Wb.

Hai, Arga, apa kabar? Semoga kau selalu dalam keadaan sehat dan dalam perlindungan Allah. Aku yakin saat kau menerima surat ini aku sudah pergi jauh dari sisimu. Maaf tak bisa berterus terang padamu sejak awal. Maaf aku tak bisa benar-benar membuatmu bahagia. Selama hidupku aku hanya bisa membuatmu tertawa tapi belum bahagia sepenuhnya. Maafkan aku karena hal itu. 
Oh, ya apa kau tahu. Aku bahagia di sini. Aku akan bertemu dengan papaku yang terlebih dahulu pergi menghadap Ilahi. Aku akan mulai mencarinya. Hehehe.
Aku harap kepergianku tak kan membuatmu sedih berlarut-larut. Mulailah lembaran baru. Kenang aku dalam ingatanmu, tapi jangan kurung ingatan itu hingga membuatmu tersiksa. Aku senang bisa mengenalmu dalam hidupku. Berjanjilah padaku kau akan menjalani hidup ini sebaik yang dulu saat kau membuatku tertawa.
Kadang hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan, tapi aku bersyukur karena Allah memberiku hidup yang indah. Bersama mama, Andrea, dan dirimu aku tidak pernah merasa kesepian. Kau harus berjanji, kau akan bahagia walau tanpa aku. Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupakan aku.
Arga, terima kasih untuk hari-hari kita. Aku akan selalu mengingatnya sampai kita bertemu kembali di sini. Di alamku, jika Allah mengizinkan. Selamat tinggal. Aku mencintaimu.

Wassalammualaiku Wr. Wb.

Salam hangat

Rere


Arga menghela napas sebelum kembali memasukkan surat itu kedalam amplop. Ia membasuh wajahnya dengan kedua tangan, lalu tersenyum membayangkan wajah Rere.

ARGA
(tersenyum)
Aku akan bahagia, Rere.


TAMAT



Total Pageviews

Poll

Followers

About Me

Foto saya
Hai, aku Aulia Eka Putri Purnama. bisa dipanggil Al. duduk di kelas XI-MM di SMKN 1 Tuban. :))