1 Avenue
Street
Musim gugur datang lebih cepat di
awal bulan Oktober tahun ini. Daun-daun pohon ek berguguran dengan warna merah
kecoklatan yang mirip dengan warna tanah. Jalanan sekitar Amalone Street
dipenuhi dengan dedaunan yang setiap saat turun dan lepas dari pohonnya.
Beberapa petugas kebersihan berkeliaran kesana kemari dengan membawa sapu dan
tong sampah besar. Udara dingin berhembus di setiap tempat membawa nuansa
dingin yang mencekam sehingga bisa membuat berdiri bulu kuduk di sekitar kulit
leher yang terbuka.
Alisa
berjalan-jalan disekitar taman dengan celana jins, kaos ketat, dan sweter
hangat yang membalut tubuhnya. Kaca mata tak lupa ia pakai. Dua orang laki-laki
berjalan dibelakangnya. Mereka bukan pencuri atau semacamnya. Mereka hanyalah
Pelindung Alisa yang ditugaskan ayahnya untuk menjaga Alisa dengan
mempertaruhkan hidup mereka.
Salah
satunya sebut saja bernama Felix bertubuh tinggi besar dan dipenuhi dengan
otot-otot yang keras di sekitar tubuhnya. Pukulannya mampu membuat manusia
biasa akibatnya paling kecil ya patah tulan atau dikirim langsung ke Neraka.
Memakai baju hitam dan kalung emas berbentuk bintang dengan lingkaran disekitar
bintang itu. Melambangkan kalung milik keluarga Alisa. Dia mempunyai rambut
pirang yang lumayan gelap hampir seperti hitam.
Yang
kedua bernama Verdian, laki-laki tinggi dengan rambut yang lumayan panjang
sampai pundak. Dia keturunan China dengan kulit putih yang hampir transparan.
Dia selalu memakai jas panjang berwarna hitam dan menyembunyikan pedang di
balik jas itu. Matanya fokus dan mematikan. Orang yang dipandangnya akan merasa
kematian mendekatinya.
“Nona,
hari hampir malam. Apa kita harus pulang sekarang?” Alisa berbalik dan berkata
pada Verdian. “Ver, kalau kau ingin pulang maka pulanglah. Aku masih ingin di
sini. Kau tau hanya waktu tertentu saja aku bisa keluar dari rumah. Kalau papa
pulang pasti aku tidak bisa kemana-mana.” Maklum Alisa memang putri tunggal
pebisnis kaya berusia separuh baya dengan penghasilan kira-kira USD$ 5 juta.
Alisa kehilangan ibunya saat usianya masih 5 tahun. Dan ia diasuh oleh
pembantunya yang bernama Kira. Sekarang usianya sudah 17 tahun.
“Baiklah,
Nona. Kami akan terus menemani Anda.” Kata Verdian sambil menundukkan kepala.
“Bagus.” Alisa melanjutkan perjalannannya disekitar taman. Ia menaikkan penutup
kepala sweternya. Telapak tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jinsnya.
Verdian dan Felix masih patuh mengikutinya di belakang. Berjalan pelan-pelan
untuk menjaga jarak dengan majikannya.
Gerombolan
anak kecil laki-laki berlarian ke arah Alisa. Mereka tertawa lepas dan saling
berkejaran satu sama lain. Alisa tersenyum samar di balik jubahnya. Dua orang
remaja duduk berdampingan di sebuah bangku dekat air mancur. Mereka saling
tertawa lepas dengan girangnya. Si lelaki terus mencerocos dan mengeluarkan
kata-kata manis untuk merayu wanita di sampingnya. Sekelebat bayangan masa lalu
melintasi benak Alisa.
“Hai, Gisel.” Sapa seorang laki-laki yang
tak lain adalah pria yang sama dengan pria yang sedang duduk di taman. Ini
adalah memori dalam ingatan sang laki-laki.
“Hai, Mark.” Jawab wanita itu dengan
senyum merekah. “Nanti sore kamu ada acara?” Mark memegang halus tangan Gisel.
“Um, kurasa tidak ada. Kenapa kau ke sini?”
“Jawaban yang sama untuk
pertanyaanmu itu. Satu-satunya alasan aku bisa kesini adalah karena aku ingin
mengajakmu berkencan malam ini. Apa kau setuju?”
“Tentu saja, Mark. Aku akan datang.”
Mark mencium punggung tangan Gisel. “Baiklah sayang. Malam ini jam 7 tepat di
O’connel Cinema.”
Alisa
hampir saja jatuh ke tanah kalau Verdian tidak dengan cepat menangkapnya dan
memegang pinggangnya. “Nona. Anda tidak apa-apa?” Tanya Verdian berbisik di
dekat telinga Alisa yang masih lemah dalam pelukannya. “Bayangan itu datang
lagi, Ver. Bukan mimpi buruk yang lalu, tapi bayangan tentang laki-laki di
depan sana. Aku melihat memorinya saat tadi pagi dia bertemu dengan
selingkuhannya.” Alisa hampir terjatuh lagi dan dengan cepat Verdian menguatkan
pegangannya di pinggang Alisa.
“Kenapa
bayangan dan memori-memori yang datang pada Nona selalu membuat Nona lemas.
Seakan semua bayangan dan pikiran itu menguras energi Nona.” Verdian menegakkan
tubuh Alisa yang lelah. Alisa terus memegangi keningnya yang sakit. Saraf-saraf
di kening itu berkedut kuat seolah kaget menerima gambaran yang melintas tadi.
“Aku
harus memperingatkan gadis itu. Sebelum ia menjadi korban laki-laki tidak tahu
diri itu.” Alisa melepaskan tubuhnya dari jangkauan Verdian, tapi Verdian
menangkap siku Alisa dan memutar tubuh Alisa menghadap padanya. “Kurasa itu
bukan ide yang bagus Nona. Tolong, kita harus kembali pulang sebelum Tuan
tiba.”
“Verdian,
apa kau pernah menganggap ideku bagus. Tak pernah sekali saja bukan?” ucap
Alisa sarkatis dan tersenyum sinis pada Verdian.
“Nona,
tolong jangan begini.” Verdian menundukkan kepalanya dengan canggung. Alisa
memandangnya tajam dan Verdianpun dengan pasrah melepaskan tangannya dari
lengan Alisa.
Alisa
berbalik menuju kedua remaja itu dengan sedikit canggung ia menyapa wanita yang
sedang tersenyum senang di sebelah sang
pria. Felix dan Verdian mengikuti langkah Alisa dan bersikap awas di
belakangnya.
“Sore…”
sapa Alisa dengan tersenyum pada gadis itu.
“Sore.
Maaf. Siapa Anda?” si gadis tersenyum dan menatap Alisa sambil mengawasi wajah
Alisa. “Apa namamu Gisel?” Tanya Alisa. Si laki-laki tampak tertegun dan merasa
gugup. Sikapnya berubah aneh dan ia mulai menggigiti kuku tangannya.
“Gisel?”
si wanita membeo dan menambahkan nada menekan pada kalimatnya. Dia memicingkan
matanya pada Alisa. “Siapa itu Gisel? Oh, kurasa Anda salah orang. Aku Bella.
Bukan Gisel.” Wanita itu tersenyum.
“Oh,
kukira kau bernama Gisel dan kau akan pergi nonton dengan pria ini di O’connel
Cinema pukul 7 tepat malam ini.”
“O’connel
Cinema? What? Gisel? Maaf kau siapa dan dari mana kau tahu bahwa kekasihku akan
pergi dengan wanita yang bernama Gisel ke O’connel Cinema?”
“Selamat
sore, Bella. Dan aku berharap kau akan lebih berhati-hati lagi dengan
laki-laki.” Alisa lantas berjalan meninggalkan dua remaja itu ketika si wanita
mulai memaki-maki si laki-laki yang masih kukuh dengan pendiriannya bahwa dia
tidak mengenal wanita bernama Gisel. Alisa tersenyum samar di balik tudungnya.
“Nona…”
Verdian berjalan hampir sejajar dengan Alisa namun masih berada di belakangnya.
“Aku benci pada laki-laki pembohong, Verdian. Kau tahu itu.” Mereka berjalan
memutari taman dengan daun-daun berguguran di jalanan. “Tentu, Nona.”
“Tampaknya
para petugas kebersihan akan kuwalahan mengatasi semua guguran daun ini.” Alisa
merabakan tangannya ke udara di depannya. Seolah menyapu debu-debu di atas
meja. Dengan sekejap mata daun-daun itu pun lenyap dan hilang entah kemana.
“Nona,
tolong jangan melakukan hal ini lagi di depan umum. Dia bisa merasakan dan
melihat Anda.”
“Aku
bingung Verdian. Mengapa kalian semua terus mengucapkan kata DIA DIA DIA.
Memang DIA itu siapa? Apa hubungannya dengan keselamatan dan keamananku?
Jawab!”
“Nona,
lebih baik kita pulang. Hari mulai gelap dan angin berhembus kencang membawa
udara dingin di sekitar kita. Anda bisa sakit.” Felix berbicara dalam diamnya
yang begitu lama.
“Ayo,
pulang!” ucap Alisa dengan lelah dan terpaksa.
*
Alisa
memandang keluar jendela mobil, menara rumah Alisa hampir terlihat dari jarak 2
kilometer. Rumah itu dibangun dengan megah seperti kastil dan terletak di
Avenue Street. Memiliki pagar utama yang memisahkan halaman rumah yang begitu
luas dengan jalan raya. Pagar itu terbuat dari baja dengan ukiran burung
phoenix di sekitarnya.
Mobil
Mercedes Benz berwarna hitam mulai memasuki gerbang utama, dua orang penjaga
membuka gerbang dengan menekan tombol di masing-masing sisi. Setiap sisi
gerbang memiliki tembok berukuran besar untuk melindungi rumah itu dan
membatasi halaman rumah dengan dunia luar. Seorang penjaga bernama Samuel
tersenyum dan menyapa Alisa. “Nona….” Alisa tersenyum dan mengangguk.
Setelah
melewati gerbang utama mobil melalui sebuah jalan yang terbuat dari tanah
menuju gerbang kedua yang memisahkan rumah dengan halaman depan. Beberapa
tukang kebun sibuk memangkas rumput yang mulai meninggi di kanan dan kiri
jalan. Mereka semua mengangguk dan tersenyum pada Alisa.
Mereka
bertiga mulai memasuki gerbang utama dan membelokkan mobil untuk menghindari
sebuah pancuran besar yang ada di tengah jalan yang dihiasi oleh bunga-bunga di
setiap sisinya. Merekapun sampai di depan pintu rumah itu yang dihiasi oleh
beberapa patung khas Yunani. Walau mereka tinggal di New York, Amerika. Tetapi kakek
buyut mereka berasal dari Yunani di kota besar bernama Athena. Alisa pun sangat
menyukai dan mengagumi mitologi Yunani Kuno. Dengan dewa-dewinya yang begitu
beraneka ragam.
“Papa…”
Alisa berlari keluar dari mobil dan menghambur kepada Mr. Jonathan yang tengah
berjalan memasuki rumah. Rupanya mereka tiba di rumah dengan waktu yang hampir
bersamaan. Alisa memeluk papanya dengan sayang. Saking kagetnya Mr. Jonathan
terhuyung ke belakang menerima pelukan hangat putri tunggalnya.
“Uh….
Hahaha. Sayang, kau mengagetkan papa.” Mr. Jonathan memberikan usapan hangat di
punggung Alisa. Alisa tersenyum di balik bahu papanya. “Aku kangen papa. Kenapa
papa begitu lama pergi?” mereka pun melepaskan pelukan hangat itu
Mr.
Jonathan membelai pucuk kepala anaknya dan tersenyum senang. “Ada beberapa
urusan yang harus papa selesaikan. Dan itu semua tidak mungkin papa tinggalkan
begitu saja, hunny.”
“Yah,
yang jelas urusan yang lebih penting dari aku.” Alisa memasukkan tangan
kanannya ke saku celana dan melekukkan bibirnya membentuk ekspresi kesal.
“Kau
berkata seperti itu seakan papa tak pernah memperhatikanmu.”
“Memang
itu kan yang sesungguhnya.” Alisa melangkah ke dalam rumah tanpa menghiraukan
tatapan ayahnya.
“Alisa….
Alisa….” Mr. Jonathan memanggil nama putrinya, tapi Alisa tetap bersikeras
untuk menghambur pergi dari tatapan ayahnya.
Alisa
memasuki ruang tamu yang dihiasi banyak sekali barang antik. Mulai dari lampu,
guci, jam tower yang berhiaskan emas dari Yunani, patung-patung dewa-dewi
Yunani, meja dan kursi dari Itali, karpet dari Turki, dan sebuah TV 3D layar
datar yang terletak di dekat ruang tamu. Ada juga sebuah lukisan besar
bergambar kakeknya yang tak lain adalah pendiri perusahaan terletak dengan apik
di atas perapian.
“Alis,
mau kemana?” seorang laki-laki tinggi berkulit putih dan berambut ikal berwarna
merah memegang lengan Alisa. “Lepaskan aku, Jimmy.” Jimmy adalah kakak angkat
Alisa. Sebelum Alisa lahir papa dan mamanya sudah mengangkat dua orang anak
laki-laki menjadi anak mereka. Yang tertua bernama Jimmy dan yang kedua bernama
Albert.
“Papa
baru datang?”
“Lihat
saja sendiri! Aku mau ke kamar.” Dengan kasar dan tidak sabar Alisa melepaskan
tangannya dari kakaknya dan menghambur pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya
yang ada di lantai dua. “Alisa!” teriak Jimmy dari bawah. Alisa berbalik dan
melotot pada kakaknya.
“Tolong,
jangan begini lagi!” Alisa hanya memutar bola matanya dan segera menghambur
pergi. Jimmy hanya bisa menghembuskan napas lelah dan pergi menemui ayah
mereka.
*
Malam
sekali Alisa terbangun dari tidurnya karena suara ledakan yang datang
bertubi-tubi di sekitarnya. “Apa-apaan ini? Kenapa suara it uterus-terusan
datang.” Alisa bangun dari tempat tidurnya. Ia menyingkirkan selimutnya dan
berjalan ke arah jendela. “Oh, shit!” ia segera bergegas mengenakan pakaian pelindung,
celana ketat, dan sepatu boot. Di luar rumah ternyata sedang terjadi serangan
mendadak dari sebuah pasukan. Ini bukan kali pertama ia di serang. Ia segera
menghambur dan membawa pedangnya. Beberapa pisau kecil dan runcing dia selipkan
di balik sepatu bootnya. Tidak lupa ia menyelipkan tusuk rambut untuk
menggulung rambutnya agar tidak terurai.
Baru
saja Alisa selesai mempersiapkan diri Albert memasuki kamarnya dengan wajah
pucat. “Alis, ayo pergi sekarang juga.” Ia memasuki kamar dengan pakaian
tempurnya. Beberapa anak panah yang mematikan tersampir di punggungnya. Sebuah
pedang ia genggam dengan rapat. “Aku sudah siap.” Jawab Alisa dengan tegas.
“Tidak
ada pertempuranmu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya dan jalan keluar
paling aman adalah keluar dari sini dengan selamat. Pergilah! Verdian dan Felix
akan menjagamu dengan baik. Para penjaga di bawah tidak mungkin bertahan lama.
Ini lah jalan satu-satunya untukmu. Pergi atau mati.”
“Aku?
Lalu bagaimana dengan kakak?”
“Inilah
tugasku sebagai seorang kakak. Pergilah dan berhati-hatilah!”
“Tidak!
Tanpa keluargaku.”
“Alisa!”
“Kakak!”
Albert mengibaskan rambut pirangnya yang hampir seperti putih, kini rambut itu
sedikit merah terkena cairan dan cairan itu sama dengan yang menempel di pedang
kakaknya. Rupanya pasukan iblis itu telah berhasil memasuki rumah. Baru saja
Alisa berpikir seperti itu dan seorang zombie berwajah rusak memasuki kamarnya.
Alisa tercengang sementara zombie itu mendekat di belakang kakaknya. Dengan
kekuatan dan kecepatan ganas Albert menusukkan ujung pedangnya tepat di jantung
zombie itu tanpa menolehkan wajahnya dari wajah Alisa.
“Pergi
sekarang atau mati!” ucap Albert tegas. Alisa yang masih tercengang dengan
kejadian itu tak kuasa untuk menggerakkan kakinya dari tempatnya berdiri.
Segera Albert menarik tangan adiknya untuk pergi. “Jangan bawa apa pun. Dan
pergilah dengan selamat.” Ucap Albert sambil menarik tangan Alisa dan berlari
keluar kamar.
Rumahnya
yang semula sempurna kini berubah tak beraturan. Guci-guci pecah, meja dan
kursi patah atau mungkin terpotong jadi dua. Dua iblis Hydra berjalan di depan
mereka berdua dan menghadang jalan mereka untuk keluar. Belum sempat Albert
menusukkan pedangnya salah satu iblis itu mati dan berubah jadi abu ketika
suara ledakan terdengar. Jimmy berdiri 3 meter di belakang Albert dan Alisa
sambil mengacungkan pistol peraknya yang masih mengeluarkan asap. Bak seorang
koboi Jimmy meniup moncong pistolnya.
“Reuni
yang sangat sangat sangat seru bukan, adik-adikku?” Alisa dan Albert hanya
menatap tak percaya pada Jimmy yang bisa-bisanya masih tersenyum kegirangan
padahal puluhan iblis menyerang rumah mereka. “Berhenti bersikap sarkatis,
kakak!” Albert berucap dengan kesal.
Tanpa
menunggu perdebatan kedua kakaknya berhenti, Alisa langsung menancapkan
pedangnya ke jantung iblis Hydra ketika iblis itu bergerak mendekat. “Woow….
Ini seru. Aku tak pernah bertempur dengan iblis secara langsung.”
“Diam,
adik. Kalian berdua membuatku gila! Kalian bertempur seolah mendapatkan balon
warna-warni. Masih bisa kalian tersenyum kegirangan dalam keadaan seperti ini?”
Jimmy
dan Alisa tersenyum kepada Albert. Mereka bertiga langsung bergegas menuruni
anak tangga dan tiga zombie menyerbu ke arah mereka seperti hendak memakan
santapan pagi. Dengan liar Alisa menyapukan pedangnya dan menebas leher salah
satu zombie hingga putus. Dalam jarak yang lumayan jauh Albert meluncurkan anak
panahnya tepat di jantung zombie sehingga zombie itu ambruk di atas lantai
tanpa perlawanan. Begitu juga Jimmy dengan sekali tembak ia berhasil meledakkan
isi kepala zombie terakhir. Potongan daging busuk dan isi otak berhamburan di
sekitar mereka. “Itu menjijikkan. Yekh!” ucap Alisa geli sambil memeletkan lidahnya.
“Tapi seru, bukan?” Jimmy tertawa lebar. “Gila!” hardik Albert dengan kesal.
Mereka
bertiga pun meluncur turun ke lantai satu, mayat-mayat berceceran dimana-mana.
Ada darah di sana-sini. Seorang petugas penjaga tergeletak di dekat meja.
Tangan penjaga itu terpotong dengan mengerikan, menyisakan robekan daging yang
berlumuran darah. Napas penjaga itu masih ada saat Alisa menghampirinya.
“Kau
tidak apa-apa? Apa kau bisa mendengarku?” Alisa menghampiri lelaki itu dan
duduk di sebelahnya memeriksa denyut nadi yang mulai melemah. “Nona. Nona harus
pergi dari sini. Kami tidak mungkin bertahan lebih lama lagi. Semoga selamat
Nona dimana pun Anda berada.” Napas penjaga itu mulai memburu dan tercekat
hingga akhirnya ia limbung tanpa daya di dekat Alisa. “Pedro. Pedro! Kau harus
bertahan!” jerit Alisa dengan suara tangis yang lirih. Ia terus menggoncangkan
tubuh Pedro penjaga setia rumahnya , tetapi tak ada jawaban darinya.
Tangan
Jimmy menyentuh pundak adiknya dengan lembut sementara di belakang mereka Albert
tengah melawan sesosok iblis dengan pedangnya. “Dia sudah pergi, Alis. Kita
juga harus pergi ke tempat yang aman. Jauh dari tempat ini. Kami akan bertahan
selama yang kami bisa sampai kamu bisa keluar dari rumah ini.”
“Tidak
ada kami! Kita semua harus keluar dari tempat ini, kakak. Aku tidak akan pergi
dari sini tanpa kalian.” Alisa membantah dengan keras, ia berbalik menatap
wajah kakaknya dengan air mata yang masih menetes di wajahnya.
Jimmy
menghembuskan napas dan tersenyum pada adiknya. Ia menggenggam tangan Alisa dan
menguatkannya. Mengukuhkan jiwa adiknya yang ia rasa mulai gentar. “Kita akan
bersama seperti yang kamu mau. Kita akan pergi dari sini dengan selamat.” Alisa
tersenyum senang dan memeluk kakaknya.
“Kita
harus pergi, Tuan, Nona.” Felix menghampiri dengan napas terengah-engah. Jasnya
robek dan memunculkan aliran merah darah di sekitar lengannya. Dia rupanya juga
ikut bertempur di sana. Verdian mengikuti di belakangnya tanpa luka sedikit
pun. Namun, bayangan kelabu pucat menghiasi bawah matanya. Rupanya ia tengah
tidur saat penyerangan ini berlangsung dan ia sangat lelah, tapi tugasnya tak
mungkin bisa ia tinggalkan.
“Para
penjaga hampir mati semuanya. Kita tidak bisa bertahan lagi. Kita harus pergi
sekarang.” Verdian menatap Alisa lemah, sedikit rasa sayang ada di dalam
tatapannya. Albert melangkah ke samping Alisa. Ia memegang siku adiknya dan
menyeretnya pergi. Alisa merasa sedikit kaget, tapi ia mengikuti langkah
kakaknya dengan patuh. Mereka berlima pun berlari menuju pintu belakang.
“Papa.”
Alisa melepaskan lengannya dari tangan Albert. “Alisa….” Albert menjerit
memanggil nama adiknya, tapi Alisa terus berlari menuju kamar kerja papanya.
Biasanya jam segini papanya masih bekerja di ruang khusus dekat perpustakaan
keluarga.
Alisa
membuka pintu ruang kerja yang begitu besar dengan sekali hentakan. Ia masuk ke
dalam sana dan mulai mencari keberadaan papanya. Berkas-berkas berceceran di
lantai. Sebuah bola dunia yang berukuran besar terguling ke samping dengan
posisi yang ganjil seolah ada badai yang baru saja menerjang ruangan ini.
Alisa
melangkah perlahan mendekati susunan buku-buku yang tertata rapi di rak buku.
Ia hampir memasuki ruangan itu lebih dalam mendekati tempat meja kerja ayahnya
terletak sebelum sebuah suara serak yang kejam mengagetinya. Alisa mundur dan
bersembunyi di balik rak buku mencoba menguping pembicaraan mereka sebisanya.
“Kau,
tak kan bisa mengambil anakku dari ku. Kau tak kan bisa mendapatkannya. Ingat
itu, Virgo!” suara papanya seperti tercekat ketika mengucapkan kata itu. Siapa itu Virgo? Apa hubungan orang itu
dengan semua ini? Jangan-jangan dia adalah dalang dibalik semua kerusuhan yang
terjadi di rumahku?
Alisa
menoleh melihat bayang-bayang di dinding. Sorotan lampu di ruang sebelah
mengirimkan bayangan seorang pria yang jatuh berjongkok di depan pria tinggi
dengan jubah yang tak lain adalah pria bernama Virgo. Tangan Virgo mencekik
leher papa Alisa.
“Kau
berani menantangku, Jonathan?” Virgo semakin mempererat cekikannya di leher Mr.
Jonathan. “Untuk apa aku tidak berani kepadamu? Toh sekarang juga aku akan mati
di tanganmu. Di tangan anakku sendiri.” Alisa membisikkan umpatan dengan kesal
ia mengepalkan tangannya. Ia mulai berjalan memasuki ruangan itu sebelum sebuah
tangan menutup mulutnya dan menarik Alisa kembali ke tempatnya tadi. Alisa
sempat menolak, tapi ia merasa bau badan orang ini sangat ia kenal.
“Ini
aku, Nona. Verdian. Jangan bertindak gegabah.” Bisik Verdian di sebelah telinga
Alisa. Alisa tertegun sementara tangan Verdian masih melingkari pinggangnya dan
satu tangannya masih menutup mulut Alisa. “Aku akan melepaskan tanganku asal
Nona berjanji untuk tidak berbuat gegabah.” Alisa mengangguk pelan.
Perlahan
Verdian melepaskan tangannya dari mulut Alisa. Alisa memutar tubuhnya untuk menghadap
Verdian. “Apa yang kau lakukan di sini?” Alisa memandangnya dengan tajam dan
Verdian pun melepaskan lengannya di pinggang Alisa.
“Melaksanakan
tugasku.” Jawab Verdian sambil menautkan alisnya yang berbentuk bulan sabit
itu. “Dan apa itu tugasmu?” Alisa menantang Verdian dengan pandangannya yang
makin mengancam. Sebelum Verdian sempat menjawab sebuah suara serak menjawab
dengan lantang pertanyaan Alisa itu. “Tugasnya adalah melindungimu dariku, Nona
muda. Dan kini dia telah membawamu kepada kematianmu, yaitu aku. Hahahaha.”
Verdian dan Alisa tercengang di tempatnya berdiri. Ternyata Virgo sudah
menyadari kehadiran mereka dari tadi. “Oh, ayolah anak-anak. Kemarilah!” undang
Virgo.
“Nona,
kita harus lari sebelum terlambat.” Tangan Verdian menarik tangan Alisa, tapi
Alisa tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. “Tidak tanpa papa.”
Alisa melepaskan tangannya dan Virgo menatapnya dengan kaget. Mereka pun
berjalan memasuki ruangan.
“Alisa
apa yang kau lakukan?” Papanya memandang dengan kaget, matanya melotot
membentuk sebuah ketakutan yang teramat hebat. “Oh, ini dia Elizabeth Cornelius
Jonathan. Kemarilah, sayang! Kemari!” tangan Virgo membentuk undangan untuk
Alisa. Alisa tersadar itu bukan sebuah tangan tetapi rangka tangan. Hanya orang
yang menyembah iblis yang mempunyai tangan seperti itu. Alisa tak pernah bisa
benar-benar memandang wajah itu. Virgo memakai sebuah topeng putih hampir mirip
tokoh Pantem dalam film-film horror.
Jonathan
masih terduduk di depan Virgo. “Alisa, jangan mendekat!”
“Oh,
diam Jonathan. Kau merusak semuanya.” Virgo mempererat tangannya yang masih
melingkari leher Jonathan. Verdian mengikuti langkah Alisa yang mulai mendekat
pada Virgo. “Ah, Verdian. Kau di situ saja. Aku tidak mengundangmu kemari.”
Verdian memandangnya dengan marah dan mengambil pedangnya keluar dari
sarungnya. “Oh, sarungkan pedangmu. Jangan repot-repot untuk itu.” Tangan Virgo
terangkat ke atas dan tanpa sentuhan sama sekali Verdian kesakitan dan memegang
lehernya. Ia mengeluarkan suara tercekik dari tenggorokannya.
“Hentikan!”
jeritan Alisa membuat Virgo melepaskan kekuatannya. “Oh, ternyata putri kita
sudah mau berbicara.” Verdian masih memegangi lehernya yang masih sakit, ia
menyarungkan pedangnya di tempat semula.
“Berhenti
memanggilku putri. Namaku Alisa. Aku tahu kau pasti tidak bisa mengeja atau
membaca. Namaku ada di setiap majalah bisnis dunia. Oh, ia kan sekolah
penyembah iblis tak pernah mengajari membaca bahasa Inggris, ya?” Alisa merasa
wajah dalam topeng itu berubah jadi keras namun tersenyum kembali.
“Baiklah,
Alisa. Sebelum aku membunuhmu ada baiknya kau bersenang-senang dahulu dengan
menonton proses kematian papamu....” Sementara Virgo mencerocoskan kata-kata
tak jelas Mr. Jonathan meraih sebuah pisau yang terletak di atas meja dengan
sebelah tangannya.
“Aku
tidak tertarik dengan bisnismu dan papa. Aku hanya ingin kau pergi.” Ucap Alisa
yang mencoba mengalihkan perhatian Virgo dari gerak-gerik papanya. Dengan keras
dan kuat Jonathan menusukkan pisau itu tepat di jantung Virgo. Ia berteriak
kesakitan, teriakannya bagaikan koakan burung gagak di tengah musim dingin.
Tiba-tiba
saja tubuhnya berubah menjadi gumpalan asap hitam yang mencekat pernapasan. Bau
sangit dan busuk berhembus, tapi dengan matinya Virgo papa Alisa ambruk ke
lantai. Gumpalan asap itu membentuk dua sosok iblis Hydra yang seram. Mereka
berjalan menghampiri Verdian dan Alisa.
Alisa
dan Verdian bersiap mengeluarkan pedangnya. Perkelahian pun tak terhindarkan.
Mereka bertarung dengan sengit di ruangan itu. Alisa mengacungkan pedangnya ke
arah salah satu iblis. “Kau akan mati.” Ucap Alisa sengit. Dengan tebasan dan
ayunan pedang yang tak terkendali Alisa marah sejadi-jadinya. Sebelum ia sempat
melukai, iblis itu berhasil melukai lengannya. Alisa berteriak kesakitan dan
jatuh ke lantai.
Verdian
dengan cepat menebas kepala iblis itu membuatnya terhuyung jatuh dan mati.
Alisa berusaha berdiri dan mengingat pelajaran bertarungnya yang diajarkan oleh
Verdian. Beberapa gerakan ia coba untuk ingat. Alisa bangkit dan mulai
mengayunkan pedangnya kepada iblis itu. Ia berhasil menggorok salah satu kepala
iblis itu. Belum sempat Alisa mengirimkan tebasan berikutnya, sebuah mata
pedang muncul dari jantung iblis itu.
Verdian
mencabut pedangnya dari jantung iblis dan iblis itu pun menggelepar lemah di
kakinya. “Hai, seharusnya itu milikku.” Alisa melotot kesal. Verdian hanya
tersenyum samar. “Butuh latihan lagi, Nona.” Alisa memutar bola matanya kesal
dan menghampiri papanya yang tergeletak di lantai.
“Papa,
bertahanlah! Aku akan membawamu ke dokter.” Alisa memegang dan menyangga kepala
papanya di pangkuan. “Ini bukan kekuasaan dokter, sayang. Kau harus merelakan
papa pergi. Selamatkan dirimu dan ikuti nasehat Verdian.” Jonathan memegang
tangan Verdian.
“Tuan.”
“Jaga
putriku dengan baik. Aku percayakan keselamatan putriku padamu.” Napas Jonathan
mulai tercekat. Mulutnya mengeluarkan darah. “Papa!” Alisa menjerit dan
menggoyangkan tubuh ayahnya. “Aku mencintaimu putriku.” Dan Jonathan pun pergi
untuk selamanya. Alisa menangis sejadi-jadinya. Verdian memegang bahu Alisa dan
Alisa pun memeluknya.
“Kita
harus pergi sekarang.”
“Tapi
bagaimana dengan papa.”
“Kita
tak bisa membawa mayatnya. Kita harus meninggalkannya.”
“Tidak!”
Alisa melepaskan pelukannya dan memandang Verdian dengan kecewa. Verdian hanya
menghembuskan napas lelah dan ia menyeret Alisa keluar dari ruangan itu untuk
bergabung dengan kakaknya dan Felix.
*
“Aku
akan mengambil mobil.” Felix melapor kepada Jimmy dan Jimmy pun mengangguk
menyetujui. Tanpa menunggu aba-aba Felix berlari menuju garasi mobil.
“Ikuti
Felix. Jaga adik dengan baik. Aku akan mengambil beberapa senjata di tempat
penyimpanan.” Jimmy memegang punggung Albert dan menatapnya. Kini ia
menyerahkan tanggung jawab untuk menjaga Alisa kepada adiknya. Mereka
berpelukan dengan sayang lalu Jimmy mencium kening Alisa. “Pergilah!” Belum
sempat Alisa berucap selamat berpisah pada kakaknya, tapi tangannya sudah
ditarik oleh Verdian. Jimmy tersenyum, jenis senyum yang selalu dikenali Alisa.
Sedikit kesan nakal dan kurang ajar ada di senyum itu.
“Cepat
naik!” perintah Albert sambil mendorong tubuh adiknya masuk ke dalam mobil.
Felix sudah siap di belakang kemudi dan Verdian sudah duduk di sebelah Felix.
Dengan pasrah Alisa masuk ke dalam mobil. Kepalanya menengok ke kaca belakang
seolah bisa melihat bayangan Jimmy mulai mendekat.
Albert
duduk di kursi belakang dengan Alisa. “Tidak tanpa kakak.” Alisa memegang
lengan Albert. Mereka saling bertatapan sementara Felix menunggu aba-aba untuk
menyalakan mesinnya. “Jimmy akan baik-baik saja. Kau tahu seperti apa dia. Dia orang gila yang takkan
pernah berhenti tersenyum kegirangan. Ia bisa menjaga dirinya sendiri.” Albert
mengangguk dan memberikan dorongan semangat pada adiknya walau ia sendiri pun
tak yakin dengan keselamatan kakaknya. Alisa menyerah dengan pasrah dan duduk
menyandar di dekat kaca. Sesosok zombie tiba-tiba muncul di samping pintu
Alisa.
“Aaaaaa………….”
Alisa menjerit sekuat tenaga.
“Felix!
Sekarang!” mesin mobil menderu kencang dan beberapa zombie yang berlari
mendekat tertabrak dengan ganas oleh mobil itu. Alisa memeluk Albert dengan
sedikit rasa terguncang. Albert mengelus pundak adiknya.
Sekarang
mereka tengah memutari halaman rumah Alisa yang sangat luas. Rumah ini begitu
mirip dengan kastil di negeri-negeri dongeng. Rumah yang berbentuk indah dengan
ukiran-ukiran Yunani dan patung-patung di dekat pintu utama. Menara-menara
menghiasi pucuk rumah dengan indah seolah merobek langit dengan ujungnya yang
runcing.
Mayat
sekelompok penjaga yang ditugaskan untuk menjaga rumah tergeletak tak beraturan
di sekitar jalan dengan tubuh yang terkoyak mengeluarkan serat-serat daging
yang menyeramkan. Alisa menolehkan kepala memandang rumahnya untuk terakhir
kalinya. Langit gelap gulita tanpa kilauan cahaya bulan dan bintang.
Felix
menambah kecepatan mobil dan mulai
mendekat ke gerbang utama rumah yang berukuran sangat besar dengan ukiran
burung phoenix yang tak lain adalah lambang keluarga Jonathan. Mereka semua
memandang rumah itu untuk terakhir kalinya dan sebuah ledakan besar membuat
rumah itu hancur di belakang mereka. Tanah dan mobil yang mereka tumpangi ikut
berguncang karena ledakan yang hebat itu. Sebuah patung besar melayang ke arah
mobil mereka.
Alisa
berteriak dan melindungi kepalanya dengan kedua tangan, ia mengira patung yang
jatuh itu akan melukainya namun dalam beberapa detik tak terjadi apa-apa. Ia
mengangkat kepalanya dan menurunkan tangannya. Patung itu hancur di belakangnya
sebelum jatuh menimpa mobil mereka. Tangan Albert masih terangkat dan napasnya
memburu tegang. Dadanya naik turun seakan ia telah menguras semua energinya.
“Kakak.” Alisa memandangnya dan menurunkan tangan Albert yang masih terangkat
seolah menghalau patung tadi.
“Aku,
aku.” Albert terbata-bata dan masih tercengang dengan apa yang telah terjadi.
Verdian memandang mereka berdua sementara Felix masih mengemudi di belakang
setir. Mereka kini telah memasuki hutan dan akan terus berjalan sampai
perbatasan Kanada ke tempat yang telah di persiapkan oleh papa mereka
sebelumnya.
“Kakak
yang melakukannya?” Alis menatap tak percaya. “Yah, mungkin aku adik. Mungkin
aku.” Albert memandangi telapak tangannya. “Aku masih tidak mengerti. Apa aku
punya kekuatan seperti itu?” Albert bertanya menoleh pada adiknya dan Verdian
secara bergantian.
“Yah,
Tuan. Inilah kekuatan Anda. Dan itu juga adalah alasan mengapa Tuan Besar
mengangkat Anda sebagai anak.” Verdian menjelaskan kepada Albert yang masih
terpukau.
“Alasan?
Jadi papa sudah mengetahui jauh sebelum hal ini akan terjadi?” kini Alisa mencerocoskan
pertanyaan kepada Verdian. Alisa tidak seberapa kaget bahwa Verdian mengetahui
hal ini bahkan sebelum kakaknya tahu.
Verdian
adalah anak pembantu papa yang bernama Chan. Saat Verdian berumur 10 tahun dan
sudah lulus dari perguruan Kung Fu di negeri China, papa mulai membuat
keputusan untuk menjadikannya sebagai pengawal, tapi Verdian diberi izin untuk
meneruskan latihannya. Ia berkelana sampai ke Jepang dan melanjutkan menuntut
ilmu di sana sehingga dia bisa menjadi ahli pedang yang begitu hebat.
“Iya,
sekarang Nona tahu kenapa Nona bisa mendapatkan pengelihatan masa lalu di
saat-saat tertentu karena itu juga yang dimiliki Tuan Besar.”
“Tapi,
Verdian. Aku masih bingung kenapa tak ada orang yang tahu bahwa rumah kita
diserang oleh pasukan iblis. Kenapa FBI tidak menyelidiki semuanya dan kenapa
alarm tidak berbunyi seperti biasanya saat ada perampok yang masuk? Apakah ini
semua sudah direncanakan?”
“Sebagian
dari pendapat Anda memang benar, tapi Virgo juga sudah memantrai rumah agar tak
ada satu pun manusia biasa yang bisa melihat.”
“Tunggu!”
Albert yang sudah mulai sadar kini ikut andil dalam pembicaraan mereka. “Kalau
aku punya kekuatan dan papa menggunakan kekuatanku sebagai alasan untuk
mengangkatku sebagai anak, berarti Jimmy juga punya kekuatan?”
“Benar,
Tuan. Tuan Jimmy memang punya kekuatan.”
“Apa dia
mengetahui kekuatannya?”
“Dia sangat
tahu tentang kekuatannya dan sudah mempelajari lebih banyak beberapa tahun
terakhir.”
“Kenapa
tidak ada yang bercerita?”
“Saat itu
para guru masih ragu dengan apa kekuatan Anda sebenarnya, jadi mereka
merahasiakannya dari Anda.” Para guru adalah guru yang mengajari untuk mengasah
kekuatan putra putri keluarga Jonathan. “Salah satu guru yang bernama Gabriel,
dia bisa mengetahui kekuatan setiap muridnya. Dan saat dia mulai mengetahui apa
kekuatan Anda. Penyerangan ini mulai terjadi sehingga tak ada waktu untuk
memikirkan pelatihan Anda berdua. Maafkan saya.”
“Kenapa
harus minta maaf, Ver. Kau tidak salah.” Alisa tersenyum kepada Verdian.
“Terima
kasih, Nona. Lebih baik sekarang Anda berdua istirahat kami akan berjaga-jaga.
Perjalanan ini akan memakan waktu yang sangat lama sampai kita tiba di tempat
yang aman.”
2
Latihan
Eksklusif
“Kau hanya akan mati di tanganku.” Bisikkan itu kembali menghantui
mimpi malam Alisa. Dalam mimpinya ia berada di sebuah ruang kerja. Dindingnya
terbuat dari kayu mahoni yang di cat coklat mengkilat. Sebuah rak buku besar
yang berisi buku-buku tebal terletak di pojok ruangan. Di dekatnya terdapat
sebuah meja kerja dengan berkas-berkas di atasnya. Sebuah lampu menyala di atas
meja. Di lantai terdapat sebuah karpet yang bergambar lingkaran hitam dengan
segitiga runcing di setiap sisinya. Gambar yang sangat janggal yang pernah
dilihat oleh Alisa.
Alisa tergeletak di atas karpet, ia mencoba bangun dengan kedua
tangannya sebagai penopang. Sepasang kaki menghampiri Alisa yang masih berusaha
untuk bangun dari tempatnya. Dia adalah Virgo, kini ia hanya memakai jubah
hitam dan menurunkan tudung jubahnya sampai menutupi seluruh bagian wajahnya
hingga tak terlihat sama sekali.
Alisa mengangkat kepalanya dan memandang Virgo yang berdiri
sekitar dua meter dari tempat Alisa tergeletak. “Kau….” Alisa memegang
kepalanya yang terasa pening hingga sangat menyakitkan, ia berusaha duduk di
tempatnya dan tetap memandang Virgo di depannya.
“Nona muda. Selamat datang di kematianmu. Aku senang kau bisa
hadir di sini dengan sukarela. Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kau
ucapkan?” lingkaran di karpet tempat Alisa tergeletak menyala dengan terang
membuat ia menyipitkan mata dan menghalau sinar putih itu menusuk matanya.
“Aku tidak akan mati di tanganmu! Kurasa kaulah yang akan kubunuh
terlebih dahulu.” Alisa berdiri dan merasakan perih di tulang selangkanya, ia
pun memegang bahunya dengan sebelah tangan.
“A… a… a. Jangan terburu-buru, Nona. Kita bermain-main saja
dahulu.”
“Aku tidak tertarik dengan permainanmu. Kau telah membunuh papaku.
Dan kau pantas mati di tanganku! Mata dibalas mata, tangan dibalas tangan, dan
nyawa dibalas nyawa! Karena hanya dengan begitu dunia akan seimbang!” jerit
Alisa dengan garang. Emosi memuncak di kepalanya. Virgo menatapnya dengan puas.
Tanpa disangka-sangka dengan cepat tangan Virgo terangkat dan sebuah sinar
merah mengalir menabrak tubuh Alisa. “Alakazam!”
“Tidak!!!”
Alisa terbangun dari mimpinya. Darah menderu kencang dalam tubuhnya. Jantungnya
berpacuan seperti seribu kuda yang berlari kencang. Dadanya naik turun mencoba
menghirup udara segar untuk menenangkan pikirannya yang sedikit terguncang. Keringat
membasahi punggung dan lehernya. Rambutnya kusut dan lengket akibat keringat.
Beberapa
menit terakhir tubuhnya masih terguncang akibat mimpi buruk itu, kemudian ia
menyadari sesuatu. “Aku. Aku dimana?” ia menatap ruangan di sekitarnya tidur.
Ruangan yang berdinding dengan cat coklat muda. Terdapat sebuah meja dan kursi
di depan tempat tidurnya. Sebuah lemari terletak di sebelah kanan tempat tidur
dan pintu keluar ada di sebelah lemari. Di sebelah kanan tempat tidur terdapat
jendela yang tertutup tirai putih tipis menampakkan cahaya bulan ke ubin
lantai. Tinggi jendela itu sama seperti tinggi badan manusia. Tempat tidurnya
terdiri dari sebuah seprai berwarna putih polos dengan sebuah bantal, sebuah
guling, dan sebuah selimut. Terdapat lampu kecil di dekat tempat tidur dengan
warna kuning yang menyala. Lantai ruangan ini terbuat dari ubin berwarna
kelabu.
Pintu kamar
terbuka dengan kencang saat Alisa masih memperhatikan dan menyusuri ruangan ini
dengan matanya. Verdian masuk ke dalam dengan napas yang memburu. “Nona. Apa
Nona baik-baik saja? Saya tadi mendengar jeritan Anda.” Verdian berjalan
mendekati Alisa yang memandangnya dengan lemah. “Apa sudah terjadi sesuatu?”
Verdian duduk di depan Alisa dan memandangnya dengan tatapan khawatir.
“Tidak
terjadi apa-apa, Ver. Hanya mimpi buruk itu.” Alisa menghirup napas panjang.
Verdian tersenyum dan membelai rambut Alisa. “Tidurlah lagi! Tidak ada yang
perlu Nona khawatirkan. Saya akan di sini untuk berjaga-jaga.” Alisa memegang
tangan Verdian dan menggenggamnya.
“Aku tidak
apa-apa, Ver. Kembalilah tidur! Kau juga butuh istirahat.”
“Pejamkan
matamu!” Alisa perlahan memejamkan kedua matanya. Verdian mulai mendekatinya
dan mencium kening Alisa dengan sayang. “Jika terjadi apa-apa peganglah kalung
ini dan panggil namaku atau pun Felix bahkan Albert. Kami pasti akan datang
menolongmu.” Verdian meletakkan sebuah kalung emas dengan gambar burung phoenix
dalam lingkaran emas. Kalung itu hangat di telapak tangan Alisa.
“Terima
kasih. Kalung apa ini? Dan dari mana kau mendapatkannya?”
Verdian
tersenyum dan bangkit dari kasur Alisa. “Itu adalah kalung yang diberikan Mr.
Jonathan padaku. Ia menitipkannya padaku untuk diberikan pada Nona. Kalung itu
menghubungkan ikatan batin antara diriku, Felix, Jimmy, Albert, dan Nona. Genggam
kalung itu dan ucapkan nama kami, maka kami akan tahu dimana Anda berada.
Sekarang Anda mengerti mengapa baik aku, Felix, Jimmy, dan Albert menggunakan
kalung yang hampir mirip dengan kalung itu. Gunanya adalah untuk menghubungkan
kita semua.”
Alisa menggunakan
kalung itu di lehernya. Kalung itu berdenyut hangat di atas dadanya. “Aku
selalu mencintaimu, Papa.” Bisik Alisa lirih sambil memandang kalung itu. “Aku
akan kembali ke kamarku. Selamat malam Nona.” Verdian pun melangkah keluar dari
kamar itu dan Alisa melanjutkan tidurnya yang tertunda.
*
Sinar
matahari menerobos masuk ke kamar Alisa, kala itu jam sudah menunjukkan pukul 8
pagi. Alisa mengedip-ngedipkan matanya mencoba beradaptasi dengan sinar yang
menerpanya. Perlahan-lahan ia mulai bagun dari tidurnya. Ia membuka matanya
dengan sedikit malas dan mulai memandangi kamar itu.
Alisa bangun
dan melihat jam yang terletak di mejanya. Ia mengikat rambutnya yang tergerai
bebas dengan sebuah pita berwarna kuning. Alisa mulai beranjak dari tempat
tidurnya dan berjalan menuju jendela. Ia sibak tirai putih tipis itu dan
berjuta molekul sinar matahari masuk dengan paksa ke kamarnya membuat kamar itu
menjadi terang. Ia membuka jendela itu dan menghirup udara segar dari
pegunungan. Alisa baru sadar bahwa ia berada di sebuah vila di kaki gunung,
tapi entah ini pegunungan apa Alisa masih tidak mengerti. Di depannya terhampar
luas kilauan hijau rumput dan pohon angsana yang mulai menggugurkan daun dan
bunga kuningnya.
Burung-burung
bercicit ria dan membawa helai demi helai ranting pohon untuk membuat sangkar
di batang pohon yang kuat. Hembusan wangi bunga tulip yang berada di dekat
jendela mengirimkan sejuta ketenangan di hati Alisa.
Alisa
tersenyum dalam tekanan-tekanan yang selalu ada di sekitarnya. Ia menggenggam
kalung yang melingkari lehernya. Aku
harus kuat demi papa. Demi kakak dan semua orang yang mencintaiku. Alisa
menghembuskan napas dengan berat. Ia menyandarkan punggungnya di dinding. Pintu
kamar terbuka kemudian Albert masuk ke dalam.
“Adik, apa
kau baik-baik saja?” Albert berjalan menghampiri Alisa dan menyentuh kening
Alisa mencoba merasakan suhu badan adiknya. Alisa tersenyum dan menurunkan
tangan Albert dari keningnya lalu ia genggam tangan itu. “Aku tak apa, kak.”
Albert tersenyum senang.
“Mandilah!
Semua kebutuhanmu ada di lemari itu. Pakaian dan semuanya. Setelah mandi dan
berpakaian turunlah ke lantai bawah, kita akan makan bersama 15 menit lagi!”
Albert mengelus puncak kepala Alisa dan keluar dari kamar itu. Dengan cepat ia
berbalik, “Ah, aku lupa. Kamar mandinya ada di sana.” Albert menunjukkan
jarinya ke pintu sebelah tempat tidur. Alisa tidak ingat pintu itu ada di sana
semalam, tapi mungkin itu karena ia tidak terlalu perhatian akibat mimpi buruk
semalam. “Baiklah, aku keluar dulu.” Pintu kamar pun ditutup oleh Albert.
Alisa
mengangkat kedua bahunya dan berjalan lambat-lambat menuju kamar mandi. Ia buka
pintu itu dan ia sadar ini adalah kamar mandi yang sangat sederhana. Hanya ada
bathub, swower dan sebuah gantungan handuk, serta sebuah kotak P3K yang berisi
obat-obatan dan peralatan mandi.
*
“Tuan,
bagaimana keadaan Tuan Jimmy? Semenjak kejadian semalam tak ada satu pun kabar
yang saya terima dari dia. Saya takut dia menjadi korban dari ledakan kemarin
malam.” Suara Verdian mengawali pembicaraan di ruang makan. Alisa berjalan
mendekat dan bersembunyi di dekat dinding mencoba menguping pembicaraan mereka.
Ia baru sadar bahwa kakaknya (Jimmy) belum kembali sejak semalam dan tanpa ia
sadari tangannya bergetar karena takut terjadi apa-apa dengan kakaknya.
“Aku yakin
Jimmy baik-baik saja. Firasatku mengatakan ia sedang dalam perjalanan menuju
kemari. Bukan berjalanan yang menyenangkan sebenarnya karena ia harus menumpang
dan berhenti di beberapa tempat untuk mencari tumpangan yang baru.” Seorang
laki-laki menjawab rasa khawatir Verdian. Bukan suara yang Alisa kenal rupanya.
Laki-laki itu menghadap konter dapur dan memasak dengan tangkas. Ia
menggerak-gerakkan wajan penggorengan dengan baik dan terlatih seperti seorang
koki.
“Aku juga
merasakan hal yang sama dengan Leonardo.” Albert duduk di depan Verdian. Felix
diam tanpa mengatakan apa pun seperti Felix yang biasanya. Ia memang bukan
orang yang banyak bicara. Felix menjumput sebuah roti dari keranjang dan mulai
memakannya. “Alisa berhentilah menguping dan kemari! Bergabunglah dengan kami!”
ucap Albert terang-terangan membuat Alisa yang mengira dirinya tidak diketahui
keberadaannya menjadi malu setengah mati.
Alisa keluar
dari tempat persembunyiannya. Seperti biasa ia mengenakan sebuah celana jins
ketat dan kaos Gucci dengan jemper sebagai penghangat. Tudung jemper itu yang
semula ia kenakan sekarang ia turunkan. Alisa mendekat ke ruang makan. Ruang
itu sama sederhananya dengan kamarnya di lantai dua. Hanya ada meja makan dan enam
buah kursi. Sebuah keranjang berisi roti, mentega, keju, dan selai yang ada di
atas meja. Verdian, Felix, dan Albert duduk bersebelahan. Dan seperti dugaannya
seorang pria yang bernama Leonardo memasak makanan di konter dapur. Ruangan itu
diterangi oleh cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Di depan dapur
terdapat sebuah pohon besar. Cahaya matahari membuat rambut merah Alisa berubah
menjadi emas.
Albert
tersenyum dan menyuruh Alisa untuk duduk di dekatnya. Leonardo menoleh dan
tersenyum pada Alisa. “Selamat pagi, Nona.” Alisa hanya sedikit menganggukkan
kepala dan Leonardo pun melanjutkan pekerjaannya tadi.
“Siapa dia,
kak?” Alisa berbisik dan mencondongkan tubuhnya kepada Albert. “Dia adalah
orang kepercayaan papa yang ditugaskan untuk menjaga tempat rahasia ini.
Namanya Leonardo berasal dari Perancis. Ibunya dulu adalah pengasuh papa
sewaktu papa masih kecil. Semalam saat kita sampai di tempat ini kamu tidur dan
tidak bisa dibangunkan jadi Verdian membopongmu ke kamar. Jadi kau tidak sempat
bertemu dengan Leon.” Jelas Albert.
“Makanan
siap!” Leonardo membawakan beberapa piring yang berisi makanan. “Maaf hanya ini
yang tersedia. Seharusnya aku membeli persediaan makanan kemarin, tapi ada
sebuah urusan yang harus kuselesaikan.” Satu demi satu piring yang berisi
makanan yang lumayan menggiurkan mulai tersedia di atas meja.
“Kau harus
ikut makan bersama kami, Leon.” Albert menggeser sebuah bangku di dekatnya
untuk diduduki oleh Leonardo yang Alisa tahu panggilannya adalah Leon.
“Terima
kasih banyak, Tuan.” Leon duduk di sebelah Albert. “Mari silahkan dimakan!”
Alisa mulai memakan spaghetti di piringnya. Ia mengunyah dan mencoba untuk
menikmati makanan yang ia akui lumayan enak hampir sama dengan masakan Kira di
rumahnya dulu sebelum Kira mati.
“Masakanmu
enak.” Alisa tersenyum dan memandang Leon di depannya. “Terima kasih, Nona.”
Mereka pun melanjutkan makan dalam diam.
*
Setelah
selesai makan Leon berjalan ke konter dapur untuk mencuci piring. Satu demi
satu orang yang berkumpul mulai mencari aktivitas sendiri-sendiri. Albert pamit
untuk berjogging di sekitar halaman vila sementara Felix pergi ke teras yang
ada di belakang rumah untuk melemaskan otot-ototnya. Yang tersisa di meja makan
hanya Verdian dan Alisa.
“Kurasa ini
waktunya latihan, Nona muda.” Verdian mengawali pembicaraan dan memandang Alisa
yang sedari tadi tertunduk lesu. “Latihan? Again?” Alisa balas memandang
Verdian sambil melengkungkan bibirnya.
“Iya, kurasa
ini waktu yang tepat untuk latihan. Cuaca di luar masih cerah. Salju belum
mulai turun, jadi ada baiknya kita mulai berlatih dengan eksklusif. Karena saat
salju turun semua lapisan tanah akan tertutup oleh salju dan itu sangat tidak
memungkinkan kita untuk latihan.”
“Uh, kurasa
aku juga tidak punya pilihan lain, kan?” Alisa mengangguk pasrah. Verdian
tersenyum dan mengulurkan tangan, Alisa menyambut uluran itu dengan senang
hati. Kau membuat semua ini terasa lebih
indah, lagi. Bahkan pada saat-saat genting seperti ini. Pikir Alisa dalam
hati.
Alisa mulai
tersadar, entah kapan hubungannya dan Verdian menjadi serumit ini. Kini ia
merasa ini bukan hubungan biasa antara majikan dan pengawal. Tiga tahun lalu
saat usia Alisa masih 15 tahun papanya menyuruh dua orang kepercayaannya untuk
melindungi Alisa. Ia mulai tahu mengapa papanya ngotot untuk menugaskan
pengawal untuk mengawalnya dimana saja sejak pengelihatan pertama Alisa di awal
usianya yang ke 17 tahun.
Waktu itu ia
bermimpi buruk di tengah malam. Gambaran bayang-bayang hitam hadir dalam
mimpinya. Di sebuah hutan dengan pohon-pohon yang tak berdaun ia berlari
berusaha kabur dari bayangan itu. Langkah-langkah kuda berderap menyusul di
belakangnya.
Alisa
berusaha bersembunyi di balik batang pohon yang lumayan besar. Gaun putih tipisnya
robek di sana-sini. Sebuah luka muncul di lengan kanan atas. Alisa memegang
luka itu mencoba membuat darah itu berhenti menetes, tapi darah itu tetap
mengalir menimbulkan bercak-bercak merah di lengan gaun Alisa.
Ia bersandar
pada pohon mengatur napasnya yang masih memburu. Langkah-langkah kuda itu sudah
tak terdengar olehnya. Ia berharap keadaan sudah mulai aman, tapi yang terjadi
malah sebaliknya. Di depannya sudah berdiri seseorang. Alisa yakin betul bahwa
itu adalah seorang laki-laki. Dia memakai jubah hitam dan tangannya terbuat
dari tulang tak ada selapis pun kulit atau daging yang menutup tulang itu.
Alisa terkejut setengah mati, ia mencoba menangis dan menjerit berharap
pertolongan datang menghampirinya, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah
rengekan kecil.
Laki-laki
itu mengangkat tangannya dan berkata keras-keras mengucap sebuah mantra
“Alakazam!” dan bagai berjuta-juta molekul sinar yang menyilaukan mata seolah
menelan Alisa bulat-bulat di dalamnya. Alisa terbangun dari mimpi itu dengan keringat
yang mengalir di sekujur tubuhnya.
Dari situ ia
mulai mendapatkan pengelihatan-pengelihatan yang tak terkendali. Kadang bisa
menyebabkannya lelah atau bahkan pingsan. Ia bisa melihat gambaran dirinya dan
orang lain di sekitarnya. Alisa tak pernah tahu bahwa kekuatan itu berasal dari
papanya yang diturunkan padanya. Baru saat Verdian mulai bercerita ia
mengetahui semuanya dan sekarang Verdian berjuang mengajari ilmu berperang
padanya. Sementara Albert terus mencari guru untuk melatih Alisa mengendalikan
kekuatannya.
“Kau yakin
kita akan berlatih di sini?” Alisa menggaruk belakang kepalanya dengan gelisah.
Ia memandang tanah yang jauh di bawahnya sekitar satu setengah meter. “Iya,
Nona.” Verdian tersenyum dan melemparkan pedang Alisa di sisi yang lain. Kini
mereka berdua berdiri di atas batang kayu yang ditata secara horizontal dengan
disangga oleh batang kayu yang besar di masing-masing sisinya.
“Wooo….”
Alisa melangkah ke belakang dan mulai oleng ke kiri dan ke kanan. Ia mencoba
mengatur keseimbangan tubuhnya dengan merentangkan tangannya di masing-masing
sisi. Verdian dan Alisa berdiri saling berhadapan. “Terus, apa yang akan kita
lakukan?” Alisa masih mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya.
“Tentu saja
berkelahi!” Verdian tersenyum lebar sementara Alisa membuka mulut dengan
gelisah. “Berkelahi kau bilang? Berkelahi di atas tanah saja aku masih tidak
becus. Apalagi di atas sini.” Alisa merasakan tubuhnya bergetar. Ia memandang
Verdian yang bergerak-gerak dengan lincah sekitar dua meter di hadapannya.
“Guruku di
China dapat berdiri di atas ranting pohon yang hampir patah dengan satu kaki
saja.”
“Hei, aku
bukan guru Kung Fu, tahu! Kau dapat membuatku mati jika begini cara
latihannya.”
“Terserah
Nona mau mengikuti pelajaranku atau tidak. Yang penting Tuan Besar sudah memberi
mandat pada saya untuk mengawal Nona, menjaga Nona, dan mengajari Nona cara
bertarung. Jadi, saat Nona jauh dari aku ataupun Felix Nona bisa menjaga diri
Anda sendiri. Tapi bukan berarti hal itu pantas untuk dicoba.”
“Oh, diam Verdian.
Kau membuatku pusing.”
“Kalau
begitu mari kita bersenang-senang dulu.” Verdian melangkah maju dengan cepat
untuk mendekati Alisa yang berdiri dengan goyah.
“Verdian!
Jangan mendekat lagi! Aku belum siap.” Rengek Alisa dengan kesal. Ia masih
merentangkan tangannya di setiap sisi dengan goyah. Sementara Verdian melangkah
dengan anggun dan seimbang tak memperdulikan perkataan Alisa. “Verdian, ini
perintah. Oke!” Alisa memelas berharap Verdian menyadari posisinya yang
tertekan.
“Tidak ada
murid yang memerintah guru. Sekarang aku gurumu, bukan pengawalmu.”
“Kau.” Alisa
memandangnya dengan tajam. “Oh, ayolah! Aku benar-benar takut ketinggian. Aku
mohon kita latihan di tanah saja. Jangan di ketinggian seperti ini. Ini
menyeramkan asal kau tahu itu.” Alisa memanyunkan bibirnya dan memelaskan
tatapannya. “Aku mohon.”
Verdian
menghela napas panjang dan menegakkan tongkat yang sedari tadi ia acungkan ke
arah Alisa. “Dulu saat pertama kali aku belajar seperti ini. Aku terjatuh dari
ketinggian 3 meter. Latihan ini masih belum apa-apa.” Ah, dia mulai lagi. Pikir Alisa kesal. “Tulang selangkaku patah dan
aku harus berhenti latihan selama satu bulan.”
“Cukup!
Oke-oke. Mari kita lanjutkan!” Alisa mengacungkan pedangnya keluar dari
sarungnya. Ia tersenyum menantang Verdian
untuk segera memukulkan tongkat itu padanya. “Oh, ayolah! Kenapa sekarang jadi
kau yang diam. Kan, tadi kau bilang kita harus segera latihan sebelum salju
turun. Lagian latihanku dulu saat masih di rumah juga tidak buruk-buruk amat,
bahkan meningkat pesat. Betul kan, guru?” Verdian mengacungkan tongkat dan
kakinya menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Sekarang!”
ujung tongkat Verdian memukul bahu kiri Alisa dengan cepat. Alisa merintih
kesakitan dan memegang bahunya, tubuh Alisa hampir terjatuh kalau saja tongkat
Verdian tidak menghalanginya. Mereka saling menatap satu sama lain. Alisa
bernapas kesakitan, sementara Verdian tersenyum dan mengangkat kedua alisnya.
“Haa!” Alisa
mengacungkan pedangnya dengan ganas, kaki kanannya maju satu langkah ke depan.
Sedikit demi sedikit ia mulai menguasai materi pelajaran ini. Dengan tangkas
Verdian menghalau tebasan pedang Alisa dengan tongkatnya yang sekarang mulai
terpotong pinggirinya terkena pedang Alisa.
Mereka
berdua saling memukul satu sama lain. Alisa menggerakkan pedangnya ke arah
kanan dan Verdian membalas dengan tongkatnya. “Kau tahu? Ini sama sekali tidak
adil untukmu, Ver.” Mereka saling mengunci pukulan satu sama lain. “Oh, ini
adil sekali Nona. Memang sebaiknya orang yang pandai bertarung keadaannya harus
lebih rendah dari orang yang belum bisa bertarung.” Verdian tertawa. Rambut
hitamnya yang lumayan panjang bergerak dengan alami karena tertiup angin pagi.
“Hiaaaa…!!!”
Alisa menggunakan keadaan Verdian yang tengah lengah untuk memukulkan pedangnya
kesamping tongkat Verdian.
Verdian yang
sedari tadi tengah asyik tertawa kini mulai goyah. “Hemm, kurasa kini yang
harus lebih berkonsentrasi adalah kau.” Alisa mengayunkan kakinya ke depan dan
menendang kaki Verdian yang goyah ke kiri dan kanan. Tak butuh waktu lama
Verdian jatuh ke bawah dengan anggun. Sama sekali tidak menimbulkan luka
untuknya.
Verdian
memandang ke atas dan Alisa tersenyum di sana sambil menaruh pedangnya di atas
bahu. “Hahaha. Pintar Nona, pintar.” Mereka saling tersenyum satu sama lain.
“Aku selalu pintar, bukan?”
3
Pertemuan
Kembali
Tengah malam
Alisa masih berusaha untuk tidur, entah mengapa malam ini ia susah sekali untuk
memejamkan matanya. Matanya tak mau menuruti dia padahal badannya begitu lelah
akibat latihan seharian. Verdian berkali-kali memukul tubuhnya dengan tongkat
lunak. Beberapa memar merah menghiasi bagian bahu dan punggung Alisa. Walau pun
sore tadi Leon sudah mengobati luka Alisa dengan tenaga dalamnya, tapi tubuh
Alisa tetap terasa sangat lelah.
Ia baru tahu
bahwa kekuatan Leon adalah penyembuhan. Ia bisa menyembuhkan luka dengan tenaga
dalam dan mengenali jenis-jenis tumbuhan untuk obat maupun tumbuhan yang
beracun. Pantas saja Verdian memukulnya dengan terang-terangan karena pasti ia
sudah mengetahui kekuatan Leon. Sangat
menyebalkan! Alisa menggoyang-nggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan.
Membayangkan kejadian hari ini. Ia merasa sangat kesal pada Verdian, tapi entah
mengapa ia masih tetap mencintai orang itu.
Ia
menggerakkan tubuhnya berbalik dari satu sisi ke sisi yang lain tempat tidur
dan terus begitu selama beberapa waktu. Ia mulai frustasi, mengapa matanya tak
mau terpejam sama sekali? “Aaaa…. Gila! Ini sungguh gila! Mengapa mataku sama
sekali tak bisa terpejam? Huhhh, menyebalkan!” ia bangun dengan kesal dan
memandang sekeliling ruangan.
Alisa
berjalan mendekati cermin dan memandang pantulan dirinya disana. Rambut pirang panjang
hampir kecoklatan yang lurus dan halus, ia gerai bebas sedemikian rupa.
Memancarkan aura cantik dari wajahnya. Kulitnya yang putih bersih berkilau
seperti pualam diterpa sinar bulan yang masuk melalui celah-celah tirai
putihnya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Ia sadar ia adalah cetakan yang
sempurna dari gambaran ibunya yang selama ini tak pernah ia kenali dan ia
rasakan kehadirannya.
Dulu saat
ibunya akan melahirkannya, ibunya mengalami pendarahan hebat. Tapi tanpa gentar
dan takut ibunya tetap memperjuangkan kehidupan Alisa. Tanpa menghiraukan darah
yang keluar dengan hebat ia tetap berusaha keras untuk melahirkan Alisa. Dengan
lahirnya Alisa, Tere –nama asli ibunya—meninggal dunia. Sebelum Tere meninggal,
ia berpesan pada Jonathan untuk menamakan anak mereka Elizabeth Cornelius
Jonathan. Cornelius adalah nama guru Tere yang mati karena menyelamatkan Tere
yang hampir meninggal. Kekuatan ibunya adalah pohon dan segala macam tanaman
dapat ia kendalikan.
Alisa
tersadar dari kenangan masa lalu. Ia berjalan mengambil Snatze –nama
pedangnya—keluar dari lemari. Ia segera mengganti pakaian tidurnya dan memakai
jemper tebal untuk menghalau angin malam. Alisa memegang erat pedangnya di
tangan. Ia bergegas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang
depan vila.
Di ruang itu
terdapat beberapa kursi dan sebuah meja yang terbuat dari rotan. Sebuah vas
bunga diletakkan cantik di atas taplak meja. Alisa mengambil kunci yang
biasanya diletakkan Leon di dalam vas itu. Setelah menemukan kunci yang terselip
di antara tangkai bunga, ia segera berjalan dengan perlahan tanpa suara dan
membuka pintu depan. Pintu terbuka dan Alisa cepat-cepat keluar dari sana.
Alisa
berjalan di sekitar halaman vila. Rumput yang semula hijau kini mulai merah
tertutup oleh daun-daun pohon yang berguguran. Bulan purnama menampakkan
sinarnya yang putih anggun. Alisa berjalan sendirian hanya ditemani oleh
bayangan hitam dirinya di atas rumput.
Di tengah
halaman yang ditutupi oleh guguran daun Alisa merintih, hatinya terasa pilu
memikirkan semua ini. Ia tak mengerti mengapa hidupnya yang semula sempurna
kini berubah jadi petaka.
Pertama
mamanya pergi meninggalkannya sewaktu ia dilahirkan. Alisa tak pernah merasakan
kasih sayang dari seorang ibu. Pasukan iblis menyerang rumahnya yang seperti
istana baginya, papanya pergi meninggalkannya karena dibunuh oleh Virgo seorang
pemuja setan yang gila. Alisa masih tak mengerti mengapa Virgo melakukan ini
pada keluarganya. Kakaknya sampai sekarang belum diketahui dimana keberadaannya.
Dan kini ia terdampar di sebuah vila yang terletak di kaki gunung yang tidak
jelas tempatnya berada dimana. Ia merasa ia mulai gila dengan semua tekanan
ini.
Saat
rintihannya berubah menjadi tangis, sebuah tangan menyentuh bahunya. Alisa
menengok ke belakang, Verdian berdiri di depannya dan tangannya mencengkram
bahu Alisa seolah ingin menguatkan hatinya, mengirim semangat untuk Alisa agar
ia dapat bertahan hingga akhir.
“Kapan kau
tiba di sini?” Alisa bertanya dengan canggung dan mengusap air matanya seolah ingin
menyembunyikan kesedihan itu dari tatapan iba Verdian. “Aku mengikutimu sedari
tadi. Aku tidak ingin kau terluka.” Dengan cepat Verdian menarik tubuh Alisa
mendekatinya dan mereka berpelukan dalam sinar bulan yang cemerlang.
Alisa
menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Verdian. Ia menyentuhkan tangannya di
punggung Verdian. Verdian adalah laki-laki yang tinggi bahkan tinggi Alisa
hanya sampai di dagu Verdian. Alisa menangis di dada Verdian berupaya untuk
melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya. “Menangislah! Jangan berhenti
hingga semua luka itu terangkat keluar dari sana!” Verdian meletakkan dagunya
di atas puncak kepala Alisa. Alisa menangis keras hingga menjeritkan tangis itu
di kegelapan malam.
“Sekarang,
apakah perasaanmu sudah lebih baik?” Verdian menjauhkan dirinya dari tubuh
Alisa dan mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Alisa.
Alisa
tersenyum, “Setidaknya Virgo sudah mati, bukan?”
Verdian
menghela napas panjang dan memandang jauh ke mata Alisa mencoba mencari
sisa-sisa luka yang masih ada di dalam diri Alisa. Dengan sangat menyesal ia berucap, “Seorang
pemuja iblis tidak bisa dibunuh hanya dengan satu tusukan kecil di tubuhnya.
Memang dia bisa mati. Tapi kita harus memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian
dan membakarnya agar tubuh itu tidak jadi satu. Kau bisa menusukkan pisau ke
tubuhnya, tapi bukan berarti ia akan mati. Ia hanya merasa sakit dan ia akan
pulang kepada pimpinannya. Kau pernah dengar tentang vampir?” Alisa mengangguk
pelan. “Kira-kira cara membunuhnya sama dengan cara membunuh vampir.”
“Berarti ia
tidak mati?”
“Tidak.
Untuk itulah mengapa kita harus ada di sini. Untuk melindungimu sampai perang
usai.”
“Perang apa
maksudmu?”
“Perang
antara dirimu dan DIA tentunya.”
*
Matahari
sudah bersinar dengan teriknya kala itu. Alisa terbangun akibat sinar yang
menerpa matanya. Dengan kesal ia beranjak bangun dari tidurnya dan menutup
tirai putih tipisnya dengan tirai kedua yang berwarna hitam. Alisa kembali
berbaring di atas ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut. Tidak berapa
lama pintu kamar Alisa terbuka dan Verdian masuk ke dalamnya.
“Ayo, bangun
putri tidur! Hari ini kita akan latihan di atas gunung! Matahari sudah bersinar
terik apa kau tidak ingin bangun juga?”
“Ah, aku
masih ngantuk kakak.” Ucap Alisa di balik selimut sementara matanya masih
terpejam.
“Aku bukan
Tuan Albert. Aku Verdian!”
Saking
kagetnya Alisa terlonjak dari tidurnya dan merapatkan selimut ke tubuhnya.
“Meng…. Mengapa kau masuk ke dalam kamarku tanpa izin?” Alisa terbata-bata
sambil melotot kesal pada Verdian. Dengan jahil Verdian naik ke atas tempat
tidur dan mendekat pada Alisa. “Kau…. Jangan mendekat lagi! Atau…”
“Atau apa,
Nona?”
“Atau aku
akan membunuhmu.”
“Atau
menciumku.”
“Verdian
berhenti!” teriak Alisa sambil menutup wajahnya dengan selimut.
“Hahaha.”
Verdian tertawa dan memandang jahil pada Alisa. “Baiklah. Sekarang kau harus
mandi dan sarapan. Lalu kita akan pergi untuk berlatih di gunung. Kau pasti
akan senang.”
“Bagaimana
bisa senang kalau setiap kita berlatih kau selalu memukul punggungku?”
“Yang benar
saja? Salah sendiri kau tak pernah berusaha menangkis pukulanku!”
“Aku sudah
berusaha! Kau itu yang tidak mau memberiku kesempatan.”
“Emh,
baiklah. Aku akan memberikan kesempatan untukmu hari ini.” Verdian bangun dari
ranjang dan berjalan ke pintu. Alisa memandangnya dengan penuh rasa sayang.
“Cepatlah sebelum perutmu berbunyi lagi.” Alisa melihat ke perutnya dan ia
tersadar bahwa sedari tadi perutnya sudah mulai keroncongan. Ia tersenyum malu
pada Verdian yang memandanginya. “Aku akan menunggu di bawah.”
*
“Berapa lama
lagi kita akan berjalan kaki? Aku sudah lelah setengah mati.” Alisa mengusap
keringat di dahinya dan menumpukan berat badannya ke tongkat yang di pegangnya.
“Kita sudah setengah jalan dan sebentar lagi kita pasti akan sampai. “Oh, yang
benar saja? Aku bisa mati kecapekan sebelum mencapai tempat itu.” Alisa
menjatuhkan dirinya di atas rumput di dekat jalan setapak.
“Kau yakin
akan beristirahat di sana sendirian? Kalau aku sih akan melanjutkan perjalannan
lagi.” Tanpa menunggu Alisa, Verdian melanjutkan perjalannan ke atas gunung.
“Tunggu aku!” Alisa mengejarnya dengan setengah susah payah. “Apa kau tidak mau
memberiku waktu untuk beristirahat? Bisa-bisa tenagaku sudah habis sebelum
dipakai untuk berlatih.”
“Ini adalah
latihan fisik untuk Nona. Apakah Nona tidak pernah berfikir? Kehidupan Nona
sudah berubah 180 derajat dari yang dulu. Sekarang sudah tidak ada rumah mewah,
mobil mewah, dan semua barang yang Anda butuhkan tidak tersedia seperti
sebelumnya.”
Aku sudah berfikir tentang itu sejak tadi malam kau memelukku. Pikir Alisa
dalam hati. “Yah, aku tahu. Aku akan berusaha lebih keras lagi.”
“Kurang dari
sebulan lagi musim dingin akan tiba dan salju akan turun.” Verdian memandang ke
atas langit di balik rimbunnya pepohonan hutan. Sepanjang jalan setapak banyak
sekali dedaunan yang berceceran. “Nona harus bisa menguasai semua materi yang
saya ajarkan.” Verdian memandang Alisa yang sedari tadi menunduk mencoba
mencari jejak jalan setapak yang samar-samar terlihat akibat tertutup daun.
“Em, oke.”
Alisa menganggukkan kepala dan berlari menghampiri Verdian. Dengan cepat Alisa
melingkarkan tangannya di punggung Verdian. Pria tinggi itu menyambut pelukan
Alisa. “Ajarkan aku semuanya. Agar aku bisa membalas kematian papaku. Berjanjilah
kau akan bersamaku hingga akhir.”
“Aku
berjanji.” Verdian mencium puncak kepala Alisa dan membaui aroma rambut Alisa
yang khas seperti bau bunga mawar di musim semi. “Baiklah, sekarang kita harus
melanjutkan perjalanan dan tiba sebelum tengah hari. Agar kita tidak pulang
kemalaman.” Verdian melepaskan pelukan mereka dan menggandeng tangan Alisa
untuk melanjutkan perjalanan.
*
“Kau
bersusah payah naik ke atas gunung ini hanya untuk kegirangan seperti itu? Wow,
susah sekali untuk dipercayai.” Verdian menyindir Alisa yang sedang tersenyum
memandang sekeliling puncak gunung. Alisa yang mendengar nada sinis dari ucapan
Verdian pun memanyunkan bibirnya dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Mengapa kau
selalu saja merusak kegembiraanku?” Alisa memandang Verdian tajam.
“Maaf ya,
Nona. Tapi, aku hanya ingin mengingatkanmu. Bahwa tujuan utama kita ke atas
sini adalah untuk berlatih. Mengerti?”
Alisa dengan
kesalnya berjalan untuk mendekati Verdian. “Baik. Mari kita lakukan!” Ia
mengeluarkan pedang dari sarungnya. Pedang itu berkilat terkena sinar matahari
siang. Pedang itu adalah pedang peninggalan kakek Alisa yang diserahkan turun
temurun kepada setiap generasi tertua di keluarganya. Di gagang pedang terdapat
ukiran burung phoenix yang mengepakkan sayap sementara di pangkal gagang
terdapat patung naga yang melingkari pangkal itu. Artinya adalah kekuatan,
kecerdasan, kewibawaan, dan kebenaran.
“Oh, tahan
dulu Nona. Tampaknya kau masih tidak mengerti.”
“Tidak
mengerti apa maksudmu?”
“Hari ini
kita tidak berlatih menggunakan pedang. Tapi, menggunakan ini.” Verdian
melemparkan tongkat Alisa yang sedari tadi dibawanya.
“Dengan
tongkat ini. Begitu maksudmu?”
“Benar
sekali. Ayo mulai!” dalam satu gerakan kilat Verdian sudah mengacungkan
tongkatnya di depan Alisa dan memasang kuda-kuda di kakinya.
“Apa kau
bercanda?” Alisa memandang Verdian dengan gelisah.
“Apa
menurutmu aku sedang bercanda?”
“Oh, ayolah!
Aku masih belum bisa menguasai materi pedangku, tapi mengapa kau menyuruhku
untuk memakai tongkat sekarang? Lama-lama aku bisa gila.”
“Sekarang!”
dengan cepat Verdian memukul bahu kiri Alisa dengan tongkatnya. Sedetik lalu
tampak ekspresi kaget di wajah Alisa namun sekarang wajahnya berubah jadi keras
dan mengancam. Ia memukulkan tongkatnya ke depan dengan sekali hentakan tongkat
itu berhasil memukul pundak kanan Verdian dan membuatnya terdorong ke belakang.
Verdian memegang pundaknya yang sedikit sakit. “Bagus. Teruskan!”
Mereka
bertarung dengan sengit. Tongkat terulur ke kiri dan kanan mencoba menangkis
pukulan satu sama lain. Mereka melangkah maju dan mundur bagai tarian di atas
awan. Alisa tertawa ketika pukulan keduanya dengan telak mengenai paha kiri
Verdian dan membuatnya terjatuh di atas tanah.
“Hahahaha.
Apa sekarang aku sudah hebat?”
“Jangan
tertawa dulu Nona! Aku masih kuat berdiri.” Verdian mengayunkan kedua kakinya
ke depan dan membuat tubuhnya bangkit berdiri. Alisa tersenyum dan mengayunkan
tongkatnya dengan cepat ke lengan kanan Verdian. Alisa memukulnya secara terus
menerus dan Verdian masih mencoba untuk menangkis pukulan Alisa.
Alisa
terjatuh di atas rumput hijau dan memegangi bahu kanannya. Verdian masih
tersenyum cemerlang di depannya. “Kau kira aku akan menyerah begitu saja? Tentu
tidak!” Alisa bangkit berdiri dan melemparkan tongkatnya ke atas dengan
punggung kakinya dan diapun dengan tangkas menangkap tongkat itu.
“Mari kita
lanjutkan!” tantang Verdian sambil mengayunkan tongkatnya ke kiri dan kanan
mencoba memukul tubuh Alisa lagi. Tidak berselang lama keduanya merasa
kelelahan. Mereka sudah bertarung hampir tiga jam lamanya.
“Hah. Hah.
Ahh. Aku sudah lelah. Apa kita bisa istirahat makan siang sebentar?” Alisa
merobohkan tubuhnya di atas rumput sambil bernapas kelelahan. “Aku capek!” Ia
merentangkan kedua tangannya. Di sampingnya Verdian juga ikut merebahkan tubuh.
Mereka berdua memandang awan putih di langit. Keduanya tersenyum dan saling
melirik satu sama lain.
“Indah bukan?”
Verdian mengacungkan jarinya ke arah awan. Sinar matahari yang mulai meninggi
memancarkan cahaya hangat yang menerpa tubuh mereka berdua di tengah suasana
dingin musim gugur. “Iya. Sangat indah.” Alisa mengangguk setuju.
Verdian
bangun dan mengambil sebuah bungkusan yang tadi ia letakkan di atas sebuah batu
besar. Ia membawa bungkusan itu dan mendekat pada Alisa. Verdian membuka
bungkusan kertas coklat itu dan mengeluarkan dua potong sandwich isi tuna.
“Ini makan
siang kita hari ini. Persediaan makanan sudah hampir habis. Rencananya besok
aku dan Leon akan pergi ke kota untuk membeli bahan makanan. Ini untukmu!”
Verdian menyerahkan sepotong sandwich pada Alisa. Alisa membukanya dan mulai
memasukkan sandwich itu ke dalam mulutnya.
“Leon adalah
koki yang berbakat aku suka masakannya, tapi aku bosan dengan masakannya yang
itu-itu saja. Apa aku boleh ikut ke kota.” Alisa memandang Verdian dan
tersenyum manis untuk membujuk kekasihnya itu.
“TIDAK! Itu
sangat berbahaya.” dengan satu tarikan napas Verdian menjawab tegas pertanyaan
wanitanya. “Oh, ayolah! Kali ini saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku
mohon!” Alisa mengusap-ngusapkan kedua telapak tangannya dan memasang wajah
memelasnya.
“Jangan
memandangku seperti itu!” Verdian mengalihkan pandangannya dari tatapan Alisa
ke sekitar lapangan itu.
“Ahhh,
padahal aku juga ingin mencari kakak.” Alisa dengan pasrah menurunkan pundaknya
dan memakan sandwichnya dengan tidak sabar.
“Oh,
baiklah. Tapi kali ini saja, ya?” Verdian dengan kesal menuruti kemauan Alisa.
“Wah, terima
kasih.” Alisa langsung melemparkan tubuhnya dalam pelukan Verdian. Verdian
tersenyum dan memeluk kekasihnya itu.
*
Hari sudah
mulai gelap kala itu, Verdian dan Alisa baru bersiap untuk pulang. Mereka
berjalan mengikuti jalan setapak yang mereka lalui tadi pagi. Lelah begitu
mereka rasakan akibat seharian ini berlatih di atas gunung. Suhu udara berubah
jadi dingin hingga Alisa menaikkan tudung jempernya dan mempererat syal yang ia
pakai di lehernya. Verdian mencoba menghalau udara dingin dengan jaket
tebalnya. Pedangnya terselip rapi di balik jaket itu.
Alisa
berjalan lambat di belakang Verdian mencoba menuruni jalan yang lumayan terjal
dengan banyaknya batu yang berhamburan. Bisa saja ia tergelincir jatuh jika ia
tidak berhati-hati dan menginjak salah satu batu. Verdian menunggu Alisa di
bawah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon.
“Ayolah! Apa
kau akan terus berdiri di sana dan menolehkan kepalamu ke kiri dan kanan untuk
mencari pijakan. Cepat sedikit! Ini sudah pukul 7 malam. Srigala hutan
berkeliaran jam segini.”
Mendengar
kata-kata Verdian barusan, Alisa merasakan bulu kuduknya berdiri. “Meng….
Mengapa kau berbicara begitu padaku? Aku ti…. Tidak takut!” Alisa menggigit
bibir bawahnya mencoba menghalau rasa khawatir yang menghimpit dadanya.
“Aku sudah
menjagamu hampir 4 tahun lamanya. Mana mungkin aku tidak tahu hal apa saja yang
membuatmu takut dan hal apa saja yang membuatmu senang!” Verdian tersenyum dan
memandang wajah Alisa yang terkena sinar bulan di balik bayang-bayang ranting
pohon. Cantik. Pikirnya dalam hati.
Ia menggeleng-gelengkan kepala setelah sadar akan pikirannya tadi.
“Kau.
Benar-benar, ya!” Alisa menunjukkan jari telunjuknya ke arah Verdian. Dengan
cepat ia melangkah ke depan dan tanpa sadar ia menginjak salah satu batu dan
tergelincir ke bawah. Alisa menjerit kaget dan Verdian yang melihatnya langsung
berlari menghampiri Alisa yang sudah jatuh tergeletak di atas tanah dengan
posisi tiarap.
“Alisa.
Alisa!” Verdian menyentuh tangan Alisa, dengan hati-hati ia membalikkan badan
Alisa untuk menghadapnya. Wajah itu tidak bisa benar-benar terlihat akibat
bulan bersembunyi di balik awan dan tidak menampakkan cahayanya yang keperakan.
“Bangunlah! Aku mohon!” Verdian mengguncang badan Alisa dengan pelan dan ia
meraih pergelangan tangan Alisa mencoba memeriksa dengut nadi Alisa yang
semakin melemah.
Verdian
merebahkan tubuh Alisa yang masih hangat di atas tanah. Ia menaruh tangannya di
leher Alisa mencoba memeriksa denyut jantungnya. Verdian tidak punya pilihan
lain selain memberikan napas buatan untuk Alisa. Dengan pasrah ia membuka mulut
Alisa dan mulai mendekatkan mulutnya. Tiba-tiba mata Alisa terbuka dan ia
tertawa sekeras-kerasnya.
“Hahaha. Kau
lucu.” Alisa bangun dan memandang Verdian yang masih kebingungan. “Kau….kau
menipuku! Apa kau pikir itu tadi lucu? Kau membuatku hampir mati karena
khawatir terhadapmu!” Verdian bangkit berdiri. Wajahnya yang semula khawatir
berubah jadi keras. Ia berjalan menjauhi Alisa yang seketika itu juga
menghentikan tawanya. Verdian mengambil tongkatnya yang ia tinggalkan tadi di
dekat pohon.
“Aku…. Aku
hanya bercanda. Oh, ayolah!” Alisa celingukan mencari tongkatnya dan segera ia
mengambil tongkat itu lalu bangkit berdiri mengejar Verdian yang terus berjalan
ke depan di tengah kegelapan. “Verdian, aku mohon maafkan aku. Aku tidak
bermaksud membuatmu cemas. Aku hanya ingin menggodamu.” Setelah langkah mereka
sejajar Alisa mencoba menjelaskan pada Verdian yang terlihat kesal.
Verdian
menghentikan langkahnya dan memandang Alisa dengan tajam. “Jika kau pikir tadi
itu lucu. Itu sama sekali tidak lucu buatku. Kau tahu? Aku…. Sangat…. Kesal….
Padamu!” Verdian berlari meninggalkan Alisa masuk ke dalam kegelapan di
depannya. Alisa bingung harus bagaimana? Ia tidak membawa alat penerangan sama sekali.
Ia juga tidak mempunyai ponsel. Dengan kesal ia berlari masuk ke dalam
kegelapan hutan berusaha menyusul langkah Verdian yang meninggalkannya.
“Verdian!
Verdian. Dimana kau? Aku tak bisa melihatmu! Aku mohon jangan marah!” ia mulai
cemas dengan keadaan ini. Alisa menelusuri hutan itu dengan matanya.
Samar-samar cahaya bulan masuk ke dalam hutan itu dan mengirimkan sedikit saja
cahaya untuk membantu pengelihatan Alisa. Wanita itu tahu, ini semua salahnya.
Seharusnya ia tidak mencoba menggoda Verdian dengan leluconnya itu.
Alisa
berlari ke depan memasuki semak-semak belukar mencoba mencari kemana arah
Verdian pergi, tapi tak juga ia temukan. Ia memandang ke kiri dan kanan. Ia
merasa kebingungan, kemana ia harus pergi?
Tiba-tiba
sebuah suara eraman keluar seperti dari sebuah mulut yang penuh dengan gigi
yang tajam dan air liur yang menetes keluar. Alisa menggenggam kedua tangannya,
ia bergidik ketakutan. “Si…. Siapa itu? Keluar! Jangan takut-takuti aku!” jerit
Alisa pada kegelapan di depannya.
Bunyi retak ranting
pohon yang diinjak oleh sebuah kaki membuat Alisa mengeluarkan pedang dari
balik jempernya. Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya dan mengacungkannya ke
depan. Dua kaki kekar yang berbulu hitam keluar dari kegelapan dan maju kedepan
untuk menampakkan dirinya pada Alisa di bawah sinar bulan. Mata emas menyala
dan taring tajam menghiasi moncong itu. Eraman keras keluar dari mulut srigala
yang lapar itu. Mereka saling berhadapan dan bertatapan. Srigala itu berdiri 5
meter di depan Alisa.
“Oh, tidak.”
Alisa menggelengkan kepalanya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri berharap Verdian
datang dan menolongnya. Tapi tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan serigala
itu. Mengapa pada saat seperti ini kau
malah tidak ada? Pikir Alisa dalam hati. Serigala itu menggonggong di depan
Alisa seperti anjing yang kelaparan. Setetes air liur jatuh ke tanah. Alisa
menahan napasnya dan mulai merasa mual. “Kau tahu? Itu sangat menjijikkan,
Bung!”
Srigala itu
menggonggong semakin keras dan berlari lalu melompat ke arah Alisa dengan
cepat. Alisa tidak memiliki waktu untuk menghunuskan pedangnya. Di depan
wajahnya, mulut srigala itu yang penuh dengan gigi setajam silet membuka dengan
lebar seperti hendak menelan Alisa bulat-bulat. Alisa hanya bisa terpaku diam.
Tiba-tiba dengan kecepatan cahaya sebuah pedang terulur menumbangkan srigala
itu dengan menebas kepalanya.
Alisa
tercengang memandang srigala yang tadi ingin memangsanya kini terkapar
kehabisan darah di bawah kakinya dengan leher yang separuh tergorok. Luka
menganga lebar dari leher itu. Srigala yang sekarat itu mengeluarkan bunyi
kikikan dari napasnya yang mulai melemah sebelum akhirnya mati dalam lima
detik.
Alisa
menutup mulutnya dan memandang ke kanan. Di sampingnya Verdian berdiri sambil
masih mengulurkan pedangnya yang belepotan darah. Dadanya naik turun dan
napasnya memburu akibat kejadian itu. Alisa menyentuh lengan kiri Verdian dan
mengguncangnya pelan.
“Maafkan
aku.” Ucap Alisa sambil meneteskan air mata. Verdian memandangnya dan
menjatuhkan pedangnya. Dengan cepat ia memeluk Alisa yang masih tercengang.
Verdian mengelus-ngelus rambut panjang Alisa yang lurus. “Jangan bersikap
seperti itu lagi. Kau membuatku ketakutan.” Alisa mengangguk dalam pelukan
Verdian. Mereka pun melepaskan pelukan itu.
Suara auman
keras berkumandang di dekat sebuah pohon besar di depan mereka. Lusinan moncong
keluar dari gelapnya hutan dan maju menampakkan diri mereka. “Gerombolan
srigala.” Verdian menyentuh dengan kuat tangan Alisa dan mengambil pedangnya
yang tadi ia jatuhkan. Mereka berdua memegang pedang masing-masing dan
mempererat genggaman tangan. Pimpinan srigala maju dan srigala lainnya
mengikuti di belakang. “Sekarang!” teriak Verdian dan mereka berdua lari
menembus gelapnya hutan. Lusinan srigala mengejar di belakang mereka.
Mereka berdua
lari dengan cepat menyusuri hutan yang gelap dengan gerombolan srigala yang
mengejar di belakang mereka. Alisa hampir tersandung sebuah batang pohon yang
patah dan berserakan di tanah sebelum Verdian memegang tangannya semakin erat
dan mereka pun melanjutkan larinya.
Akhirnya
mereka tiba di ujung hutan di sebuah jalan buntu yang di selimuti semak belukar
dengan duri-duri di tubuh semak itu. Alisa dan Verdian pun berhenti berlari.
Mereka melepaskan kedua tangan mereka dan berbalik menghadap gerobolan srigala
yang ikut berhenti sekitar 3 meter di belakang mereka.
“Tidak ada
pilihan lain, kita harus menghabisi mereka atau mereka yang akan memangsa
kita?” kata Verdian tanpa memandang Alisa dan terus memfokuskan diri pada
gerombolan srigala itu.
“Jangan khawatir
aku bisa. Aku kan pernah membunuh satu zombie waktu di rumah.” Verdian hampir
pingsan mendengar kata-kata lugu dari mulut Alisa. Membunuh satu zombie mana
bisa dikatakan ahli? Bisa saja itu hanya sebuah kebetulan. Alisa meringis pada
Verdian.
Salah satu
srigala maju hendak menerkam Alisa namun kali ini tangan Alisa lebih gesit dari
sebelumnya. Ia menusukkan pedangnya tepat ke jantung srigala itu. Srigala itu
jatuh dan mati seketika. Alisa mencabut keluar mata pedangnya dari tubuh
srigala yang mati itu. Lalu satu demi satu srigala mulai maju dan hendak
membunuh mereka berdua.
Ayunan mata
pedang mereka berkilat terkena sinar bulan menimbulkan kilatan keperakan di
atas udara. Satu srigala berbulu kecoklatan menerjang maju ke arah Verdian
dengan taringnya yag tajam dan senyum mengancam. Verdian melompat ke atas
sebuah batang pohon yang tumbang dengan diameter yang besar. Dia berdiri di
sana dengan mengayunkan pedangnya. Srigala itu mengeram dengan buas. Ia seakan
marah dengan apa yang barusan di lakukan oleh Verdian.
Seekor
srigala tengah bertarung sengit dengan Alisa di sisi yang lain. Alisa
menghunuskan pedangnya ke kiri dan kanan. Beberapa luka sayatan muncul dan
mengeluarkan darah di kaki depan kiri dan punggung srigala itu. Srigala itu
menggonggong dan marah, lalu dengan cepat ia melompat ke arah Alisa yang
bernapas dengan lelahnya karena sedari tadi ia bertarung dengan beberapa
srigala. Alisa benar-benar kelelahan hingga ia tidak sempat mengangkat
pedangnya.
Srigala itu
membuka moncongnya yang kehitaman dengan taring tajam di setiap sisi mulutnya.
Dalam jarak satu meter Alisa mengangkat lengannya untuk menutupi wajahnya dari
gigi srigala itu. Dengan cepat sebutir peluru meluncur dan mendarat tepat di
kepala srigala itu. Dengan telak kepala itu hancur menjadi beberapa bagian.
Suara ledakan kecil menggema dari balik rindangnya pohon di atas Alisa.
Alisa
mendongak ke atas pohon itu, ia melihat sebuah bayangan hitam berdiri di cabang
pohon. Alisa merasa dirinya mengenali postur tubuh orang itu. Ia adalah seorang
pria dengan rambut ikal hitam dan ia memakai jas. Sebuah kalung emas
menggantung di lehernya dan pistol besar keluaran Amerika ada di tangan
kanannya. Caranya membawa pistol itu sangat khas seperti yang pernah dilihat
Alisa sebelumnya.
“Jimmy….”
Ucap Alisa lirih dengan menahan napas.
“Alisa.
Awas!” Verdian berteriak jauh di sebelah kirinya dan tiga ekor srigala masih
menggelepar kesakitan di bawah kakinya. Alisa menoleh ke sisi lain dan seekor
srigala yang tampaknya adalah srigala terakhir menerjang maju ingin memangsa
Alisa, namun saat srigala itu mendekat sebutir peluru menancap di sisi kiri
tubuhnya dan menembus sampai ke jatungnya membuat srigala itu terjungkal jatuh
dan mati di tanah.
Alisa
kembali menoleh ke atas pohon. Pemuda itu merunduk dan menjatuhkan diri dari
ketinggian 5 meter ke atas tanah. Benar saja pria itu langsung tersenyum ceria
pada Alisa. Alisa mengikuti senyumannya dan melemparkan dirinya dalam pelukan
laki-laki itu.
“Kakak….”
“Alisa.”
“Kakak dari
mana saja? Mengapa kakak baru ke sini setelah beberapa hari berlalu?”
“Maafkan
aku. Aku punya urusan lain yang harus kuselesaikan terlebih dahulu.”
Mereka
melepaskan pelukan dan saling memandang bahagia satu sama lain. “Aku senang
kakak selamat. Kurasa kak Albert benar, kakak tidak mungkin semudah itu mati.”
“Jika aku
mati dalam perangkap yang kubuat sendiri, maka aku akan tertawa geli dalam
perjalananku menuju akhirat.” Jimmy tertawa di depan Alisa yang memandangnya
dengan rasa tidak percaya. Bagaimana dia
bisa tertawa dalam keadaan seperti ini? Pikir Alisa dalam hati. Alisa
memukulkan kepalan tangannya di dada Jimmy. “Auh! Kenapa kau memukulku?” Jimmy
mengelus dadanya yang sakit.
“Habisnya
kakak masih bisa tertawa dalam keadaan genting seperti ini.”
“Hey, santai
saja. Kalau banyak pikiran malah cepat tua.” Jimmy tersenyum dan mengelus
puncak kepala adiknya, hal yang selalu dilakukannya ketika bertemu dengan
adiknya itu.
“Tuan muda.”
Verdian menghampiri Alisa dan Jimmy yang sedang memuaskan rasa rindu mereka.
Verdian mengangguk pelan sebagai tanda hormatnya. “Verdian. Sahabatku!” Jimmy
dengan senyumnya yang mengembang merangkul Verdian dan menepukkan telapak
tangannya ke punggung Verdian sebagai tanda persahabatan.
“Bagaimana
kabarmu, Tuan?” mereka melepaskan pelukan itu dan mulai berjalan beriringan
untuk mencapai vila di kaki gunung. “Seperti yang kau lihat. Aku sangat sehat
hingga bisa meremukkan tulang rusuk singa buas.” Mereka bertiga tertawa bersama
dalam gelapnya malam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan.
*
“Tuan….”
Virgo memasuki sebuah ruangan besar yang tak lain adalah aula persembahan. Di
sana lah semua anggota persekutuan mengadakan pemujaan pada iblis yang dianggap
mereka adalah Tuhannya. Seorang pria tinggi memakai jubah hitam berdiri di
depan altar yang di hias oleh berbagai ornamen sekte itu.
Karpet merah
terulur dari pintu sampai altar dengan obor-obor yang bercahaya di sisi kanan
dan kiri karpet itu. Pria itu menengadahkan kedua tangannya ke atas seperti
sedang berdoa. Virgo menundukkan kepalanya –memberi hormat kepada pemimpinnya—di
tengah pintu. Setelah pria tadi menyadari keberadaan Virgo, ia berbalik
menghadapnya.
Wajah pria
itu tidak terlihat sepenuhnya hanya kilauan mata emasnya yang terkena sinar
obor yang terlihat dengan jelas. “Kau datang terlalu cepat, Virgo!” laki-laki
itu menurunkan kedua tangannya dan memandang Virgo dengan jengah.
“Maafkan
saya, Tuanku. Rudolf tadi datang pada saya dan menyuruh saya untuk cepat-cepat
menemui Tuan.” Virgo masih menundukkan kepalanya.
“Hah, sudah
diam!” pria itu mengangkat tangan kanannya dan jarinya membentuk cekikan. Virgo
yang ada di depannya tiba-tiba saja memegang lehernya dengan kedua tangan.
Rintihan kecil keluar dari mulutnya. “Kau sudah mengganggu ritualku! Tapi
sudahlah. Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu.” Pria itu menurunkan
tangannya dan Virgo melepaskan kedua tangan dari lehernya yang kesakitan.
“Sudah sejauh mana kau menghancurkan kehidupan keluarga Jonathan?” pria itu
berjalan di atas karpet merah dan menyuruh Virgo untuk mengikutinya ke ruangan
pribadinya.
“Duduklah!”
Virgo duduk di atas kursi kayu. Sebuah meja kecil berbentuk bundar memisahkan
jarak diantara mereka. Ruangan pribadi pemimpin sekte mereka tidak jauh berbeda
dari ruangan-ruangan lain di dalam kastil yang tersembunyi ini. Beberapa
peralatan antik terletak secara teratur di atas meja dan lemari, ditumpuk
sedemikian rupa sehingga menyisakan sedikit tempat untuk mereka berbicara.
“Aku sudah
membunuh Jonathan. Tapi aku belum sempat membunuh anaknya. Alisa maksudku.”
“Bodoh
sekali kau!” pria itu mengibaskan tangan kanannya dan serentak Virgo jatuh
terpental dari atas kursi.
“Maafkan
aku, Tuan.” Virgo menyentuh dadanya yang masih kesakitan akibat tubuhnya
terpental hingga menumbuk dinding di belakangnya.
“Kau itu
memang anak buah yang tidak berguna!”
“Tuan,
tolong beri aku kesempatan! Dia dijaga oleh seorang pria China yang sangat
mahir bertarung. Saya menjadi sulit menjangkaunya. Apalagi setelah saya
dikalahkan saya tidak mengetahui dimana keberadaannya sekarang.”
“Itu karena
kau memberikan kesempatan baginya untuk lari. Apa sulitnya mengalahkan
pengawalnya kalau kau punya kekuatan? Dan kau salah! Dia tidak hanya dijaga
oleh seorang pria China , tapi ada satu lagi pengawal pribadinya. Namanya
Felix. Dia adalah orang yang tidak sering berbicara, tapi ia adalah pria yang
sangat kuat. Namun kau tak perlu khawatir. Felix bukanlah orang yang sulit
dikalahkan. Kau harus berhati-hati dengan Verdian. Dialah kunci keselamatan
Alisa dan dia adalah orang yang cerdas untuk bertempur.”
“Lantas saya
harus bagaimana, Tuan?”
“Kau harus
menekan perasaan mereka menjadi semakin takut. Mereka ada disebuah pegunungan
di daerah perbatasan Kanada. Besok pagi mereka akan ke kota dan seranglah
mereka. Aku akan menyuruh Rudolf untuk menemanimu.”
“Baik,
Tuan.” Mereka berdua tersenyum senang.
4
Serangan
Malam sekali
mereka bertiga baru tiba di halaman vila.
Bulan bersinar dengan cerahnya di atas langit ditemani dengan beribu
bintang yang sangat menawan jika dilihat di halaman vila yang terbuka sehingga
kita bisa melihat langit dengan leluasa. Alisa berjalan bergandengan tangan
dengan Jimmy di sebelahnya. Tangan Jimmy dengan lembut melingkari punggung
Alisa, sementara Verdian berjalan mengikuti dari belakang mereka.
“Ceritakan
lagi lelucon itu, kak!” Alisa tersenyum memamerkan giginya yang putih cemerlang
pada Jimmy yang sedari tadi menceritakan perjalanannya sampai bisa menemukan
Alisa dan Verdian di hutan.
“Jadi, orang
yang aku tumpangi di jalan mengira bahwa diriku adalah vampir. Aku tidak
menyalahkan orang itu. Justru benar jika dia berpikir seperti itu. karena saat
itu jam menunjukkan pukul 12 malam sementara aku masih saja berdiri di seberang
jalan sambil mencoba mencari tumpangan. Bayangkan saja betapa ketakutannya
laki-laki tua itu melihat tampangku yang compang camping setelah berkelahi
melawan zombie.”
“Lalu,
bagaimana kakak bisa mendapatkan jas ini?”
“Laki-laki
itu yang memberikannya padaku. Dia seorang guru. Guru yang cerdas dan briliant.
Dia akan mengajarimu untuk memfokuskan dan mengasah kemampuanmu melihat dimensi
waktu orang.”
“Ngomong-ngomong
soal kemampuanku itu. Beberapa hari ini aku tidak pernah mendapatkan gambaran
apa pun dan mimpi-mimpi apa pun. Aku sempat mengira bahwa kemampuanku itu
hilang.”
Jimmy
berhenti berjalan begitupun Alisa dan Verdian yang sedari tadi berjalan di
belakang mereka. “Alisa, tidak mungkin kemampuan yang kau dapatkan sejak lahir
hilang begitu saja. Bahkan kata Leon mungkin saja kau memiliki kemampuan yang
lain lagi.”
“Apa maksud
kakak? Kakak sudah bertemu Leon?”
“Iya,
sebelum aku ke hutan terlebih dahulu aku ke vila ini.”
“Pantas saja
dari tadi kakak membawaku berjalan pulang tanpa bertanya dimana vila itu
berada.”
“Tidak
penting soal itu.” mereka melanjutkan perjalanan menuju ke vila. Halaman vila
itu memang luas. Butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai pintu vila. “Leon
bilang, saat dia memeriksamu karena kau terluka, dia menemukan satu titik dalam
dirimu. Yang mungkin saja kau mewarisi kekuatan mama juga.”
“Pengendali
tumbuhan maksud kakak?”
“Betul
sekali.”
“Tunggu.”
Alisa mencoba mengingat masa lalunya. “Aku pernah menyingkirkan daun-daun yang
gugur di jalan hanya dengan mengusapkan tangan di atasnya.”
“Nah, pasti
itu dia kekuatannya.”
“Benarkah?”
Jimmy tersenyum kepada adiknya.
*
Jimmy
membuka pintu dan seketika itu di depan mereka berdiri tiga orang laki-laki
yang sedang berbicara dengan serius. Ketiga laki-laki itu serentak menghentikan
percakapan mereka dan menoleh ke pintu bersamaan.
“Kalian baru
tiba rupanya.” Leon berbicara terlebih dahulu dan ia menautkan kedua alisnya mencoba
memfokuskan pandangannya pada suatu titik. “Nona, kau terluka?” Leon berjalan
mendekat pada Alisa.
“Oh, Apa?
Ak…. Aku tidak terluka.” Alisa memandang Leon dengan heran sementara Leon
menyentuh dan mengangkat lengan Alisa dengan lembut. Ia menyentuh luka bekas
cakaran di atas lengan kiri Alisa. “Auh! Sakit!”
“Tadi kau
bilang kau tidak terluka. Ini buktinya.” Leon menunjukkan luka itu dengan
telunjuknya.
“Iya, maaf.
Aku tidak melihatnya. Kurasa sebelum kau mengatakannya aku bahkan tidak
menyadari adanya luka itu.” Alisa mengangkat kedua pundaknya.
“Ini seperti
bekas cakaran kuku hewan yang sangat tajam.” Leon memperhatikan luka itu dan
segera menyuruh Alisa untuk duduk di kursi dan ia mencoba mengobati luka itu.
“Sebenarnya
tadi kami sempat diserang oleh gerombolan srigala hutan.” Verdian mulai ikut
andil dalam pembicaraan malam ini.
“Segerombolan
srigala?” seorang pria tinggi berjubah merah dengan hiasan warna emas di kerah
dan kancing bajunya membeokan kata-kata yang sama dengan yang diucapkan Verdian
barusan. Mata hitamnya berkilat cemerlang. Rambut putihnya mulai menghilangkan
sedikit kesan muda dalam dirinya namun bentuk tulang wajahnya masih segar dan
menimbulkan kesan gagah. Rambutnya acak-acakan dan dipotong dengan seadanya.
Laki-laki
itu tersadar bahwa Alisa sedari tadi tengah mengawasinya sementara Leon pergi
ke dapur untuk mengambil seember air. Air adalah salah satu unsur untuk
mempermudah kekuatan penyembuhnya. “Oh, iya. Aku belum mengenalkan namaku pada
Nona Alisa. Namaku Abraham. Abraham Flamel.”
*
“Dia adalah
laki-laki tua yang menolongku yang kuceritakan padamu tadi. Dan dia pula yang
akan menjadi gurumu dalam mengasah kekuatanmu.” Jimmy bersandar pada dinding di
dekat pintu sambil menaikkan kaki kirinya. Verdian berjalan mendekati Alisa dan
dengan sayangnya mengelap keringat Alisa. Leon berlari sambil membawa seember
penuh air bersih dan sebuah kompres.
“Dia tidak
kelihatan tua. Bahkan dia masih terlihat gagah.” Ucap Alisa mengakui sementara
Leon tengah merobek kaus di bagian lengan Alisa. “Hei, ini baju kesukaanku.”
Leon tersenyum.
“Masih
banyak baju bertarung seperti ini di dalam lemarimu.” Leon memeras kain dan
menyekakannya ke lengan Alisa sementara Alisa mengeryit kesakitan.
“Sudah
kuduga dia punya mata lebih jeli dibanding kau, Jimmy.” Jimmy hanya
menyunggingkan senyum sarkatisnya pada Abraham. “Gadis manis, kurasa kau masih
kurang memahami cara bertarung hingga membuat lenganmu sendiri terluka.”
“Pengalaman
mengajarkan segalanya.” Verdian menjawab kata-kata Abraham tadi. Ia meletakkan
pedangnya di atas meja dan berjalan ke dapur untuk mengambil minuman.
“Apa itu
sakit?” Albert mulai berbicara setelah sekian lama berdiam diri. Alisa menoleh
ke lukanya yang tengah dibasuh dengan air oleh Leon.
“Apakah ini
terlihat parah?” Alisa balik bertanya pada kakak keduanya. Albert tersenyum,
“Sangat parah sebenarnya.” Leon memulai pertunjukkannya. Ia meletakkan kedua
telapak tangannya di atas ember yang berisi air. Tiba-tiba air itu bergetar dan
dengan lambat sedikit demi sedikit air itu naik ke permukaan dan membentuk
sulur-sulur air di telapak tangan Leon. Gumpalan air bergerak tak beraturan di
telapak tangan Leon. Kemudian Leon mendekatkan air itu ke luka Alisa.
Rasanya
dingin dan bagai digelitik oleh serangga kecil. Setiap kali Leon menyembuhkan
luka-luka Alisa, wanita itu selalu merasa ingin tertawa bukannya malah
kesakitan. Alisa cekikikan menahan rasa geli pada lengannya.
“Apa itu
lucu? Kau bukannya kesakitan malah tertawa cekikikan.” Abraham menautkan kedua
alisnya sementara Jimmy memelototkan matanya melihat pertunjukkan itu, sedikit
rasa terpukau mengalir dalam tatapannya.
“Ah, dia
selalu begitu.” Albert menjawab dengan biasa. “Setiap kali ia terluka sehabis
berlatih bersama Verdian, Leon yang selalu mengobati lukanya dan luka itu hanya
meninggalkan guratan merah di atas kulitnya.” Albert menjelaskan dan bersandar
pada kursi.
Telapak
tangan Leon bergerak memutar di atas lengan Alisa dan gumpalan air itu
mengikuti gerakan Leon. Sedikit demi sedikit luka yang menganga tadi menutup
dengan perlahan menyisakan guratan merah di atas kulit lengan Alisa.
“Menakjubkan!”
Jimmy berbisik di sebelah Alisa sementara pandangannya masih terpaku pada
gumpalan air di telapak tangan Leon.
“Kakak….”
Albert memanggil Jimmy untuk pertama kalinya setelah mereka pulang dari hutan.
“Apa?” Jimmy
menoleh pada Albert dan duduk di sebelahnya.
“Sebenarnya
kekuatanmu itu apa sih?”
“Aku? Aku
bisa membidik lawan tepat pada bagian yang ingin kulukai.”
“Hah? Hanya
begitu?”
“Eh, jangan
meremehkan kekuatanku. Aku juga seorang ahli perang. Jika kekuatanku dilatih
dengan baik aku bisa jadi Jendral perang yang gagah berani. Kekuatanku adalah
fokus dan cermat.”
“Hah, apa
kau bercanda? Lucu sekali.” Albert mencibir dan naik ke lantai atas sementara
Jimmy memelototkan matanya ke arah Albert yang ngeloyor dengan seenaknya.
Verdian kembali ke ruang tamu tidak lama setelah kepergian Albert.
Leon
melepaskan telapak tangannya dari lengan Alisa yang sekarang sudah sembuh
total. “Kau memang ajaib, Leon. Pasti banyak orang sakit yang tertolong dengan
kekuatanmu itu.” Alisa mengawasi guratan merah pada lengan kirinya.
“Ya, dan
orang akan mengira bahwa aku punya ilmu hitam.” Leon tertawa dan segera
beranjak pergi. Setelah Leon pergi, Abraham yang sedari tadi berdiri kini duduk
di kursi tengah. Verdian mendekati Alisa dan memberikan minuman untuknya. Alisa
meneguknya sampai habis.
“Terima
kasih, Ver. Aku sangat kehausan.”
“Maafkan
aku. Seharusnya aku tidak membawamu ke sana. Aku akan lebih berhati-hati lagi.”
Verdian menundukkan kepalanya.
Alisa
menyentuh dagu Verdian dan mengangkatnya. “Aku tidak apa-apa. Sungguh.” Alisa
menyunggingkan senyum pada Verdian.
“Tuan
Jonathan telah berpesan padaku untuk menjagamu, tapi aku malah teledor begini.
Membawamu ke tempat yang berbahaya. Maafkan aku. Aku sungguh bodoh.” Verdian
menggelengkan kepalanya.
“Sudahlah.
Berkat kau juga Alisa benar-benar bisa bertarung. Terima kasih, Verdian.” Jimmy
menyunggingkan senyum yang sama pada Verdian. Rasa persahabatan ada di
dalamnya.
“Aku masih
tidak mengerti mengapa ini semua terjadi pada keluargaku?” Alisa menghembuskan
napas lelah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Verdian masih
kukuh duduk di sebelahnya sambil menyentuh tangan Alisa dengan lembut.
“Kebenaran
pasti menunjukkan jalannya sendiri, Alisa. Kau harus belajar untuk mengerti,
menerima dan menyelesaikan semua masalah yang ada. Pasti ada alasan mengapa
Virgo melakukan ini semua. Sebuah kejahatan memiliki bahasa sendiri untuk
pelakunya.”
“Kakak!”
Alisa mendadak berdiri dari kursinya. “Bahkan kau masih bisa membela orang…
maksudku iblis seperti Virgo? Aku tidak habis pikir. Apa ada orang yang mencuci
otakmu itu hingga kau bisa membela penjahat seperti dia! Kau berbicara bagaikan
kau mengerti saja apa alasan Virgo melakukan ini semua!” Alisa bergegas
melewati ruang tamu dan menaiki tangga.
“Alisa!”
Alisa berhenti di tengah tangga ketika Jimmy memanggil namanya. “Aku mengerti
Alisa. Dan suatu saat nanti kau juga akan mengerti.”
*
“Hai,
selamat pagi.” Alisa mengangguk kepada Leon yang berjalan ke dapur. Pagi ini
Alisa turun dari lantai dua mengenakan celana jins ketat kesukaannya dan tank
top warna putih yang dibalut dengan sweater warna biru muda. Alisa menurunkan
penutup kepala sweater itu, ia lantas duduk di atas anak tangga terakhir. Alisa
menyangga kepalanya dengan kedua tangan, ia melihat Albert yang tengah asyik
membaca sebuah buku tebal, sementara Jimmy duduk di seberang Albert dengan majalah
fashion lusuh yang sudah ketinggalan zaman. Ia tak melihat batang hidung
Verdian, Felix dan Abraham. Hei, kemana
perginya Felix? Ia teringat akan satu hal. Sedari kemarin malam ia tidak
melihat Felix sama sekali. Sementara Abraham, ia yakin betul bahwa Abraham
menginap di villa ini karena Abraham mulai kemarin malam sudah resmi menjadi
gurunya.
“Hello, kemana
Felix?” Leon –yang sedang mencari sesuatu dalam kulkas—dan kedua kakaknya –yang
sedang asyik membaca—mengangkat kepalanya dari aktivitas mereka masing-masing.
Saking kagetnya kepala Leon sampai terantuk pada kulkas. “Aku baru ingat bahwa
sejak kemarin aku tidak melihatnya sama sekali.
“Kurasa dia
sedang berbicara dengan Verdian dan Abraham di perpustakaan.” Leon mengangkat
kedua pundaknya dan melanjutkan aktivitasnya berikut juga kedua kakaknya.
“Tuan-tuan dan Nona. Kurasa kita punya masalah.” Leon mengangkat wajahnya dan
memandang Alisa, Jimmy dan Albert secara bergantian.
“Apa?” tanya
mereka bertiga serempak.
“Kita tidak
punya bahan makanan sama sekali. Yang tersisa hanya bawang bombay dan selada.”
Leon menunjukkan kedua jenis sayuran itu dari konter dapur. Ruangan itu memang
sangat sederhana. Ruang tamu dan dapur hanya dipisahkan oleh sebuah sekat yang
tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Sementara ruang perpustakaan
kecil ada di lorong dekat dapur. Semua kamar berada di lantai dua.
“Lalu bagaimana
kita akan makan?” Albert mulai mengeluarkan nada frustasi.
“Aku juga
tidak membawa uang sama sekali. Aku kabur dari rumah dengan keadaan seadanya.”
Jimmy memeriksa kantong celananya yang jelas-jelas kosong.
“Hei, ada
apa ini?” Verdian muncul dari lorong dekat dapur bersama dengan Abraham dan
Felix yang tinggi besar berada di belakang mereka.
“Kita akan
mati kelaparan!” Leon berucap dengan frustasi.
“Hei, hei,
hei. Sudahlah. Tenang semuanya. Apa gunanya Alisa ada di sini kalau kita tidak
bisa makan.” Dengan tersenyum jahil Alisa mengeluarkan kartu kredit dari balik
saku celananya. Albert, Jimmy dan Leon berbinar-binar senang.
“Yuhuuu,
kita belanja!” Albert dan Jimmy berucap serentak.
*
“Kau yakin
kau tidak ingin membeli ini?” Albert menunjukk setumpuk keju di sebuah rak.
“Aku ingin, tapi apa boleh?” Alisa menjawab sambil berharap. “Tentu saja
boleh.” Jimmy tersenyum dan mengambil dua bungkus besar keju untuk adiknya.
“Asyik!” Alisa melompat-lompat kegirangan saking senangnya.
Mereka semua
pergi berbelanja kecuali Leon yang ngotot ingin tetap menjaga villa. “Kita
harus membawakan bahan apa saja untuk Leon?” Alisa mendorong kereta belanja
yang kemudian Verdian datang untuk membantunya.
“Di
catatannya dia membutuhkan sayur mayur.” Albert membaca catatan kecil yang
dituliskan oleh Leon berisi semua bahan yang mereka perlukan untuk memasak.
“Ayo,
bacakan! Biar aku yang mengambilnya.”
“Bawang
putih, bawang merah, wortel, tomat, bayam, daun basil, paprika hijau dan merah.
Buahnya dia butuh apel, jeruk, markisa, pepaya, pisang. Dia juga butuh roti,
selai, mentega, sirup, susu coklat cair dan bubuk, serta merica. Dia juga butuh
daging sapi dan tuna.” Alisa dan Jimmy berlari ke sana kemari untuk mengambil
semua bahan yang disebutkan Albert tadi.
“Dia mau
masak atau buka restoran sih?” Jimmy menggerutu sambil membawa sisa bahan
terakhir. “Sudahlah, kak. Ini juga untuk kita, kan?” Alisa mengelus punggung
Jimmy yang lebih tinggi darinya.
Mereka
berempat berjalan menuju kasir yang sudah sepi pengunjung. “Kau yakin kartu
kreditmu masih aktif?” Albert berbisik pada Alisa. “Tenang saja. Tidak mungkin
uangku yang jumlahnya 10 juta dolar di dalamnya akan hilang begitu saja.”
Alisa
memberikan kartu ATMnya kepada penjaga kasir. Saat wanita itu mengecek isi uang
Alisa, ia tampak terkejut namun ekspresi itu cepat-cepat ia rubah agar pembeli
tidak merasa tersinggung. Mungkin ia heran, mengapa Alisa memiliki uang begitu
banyak dan mungkin ia mengira bahwa Alisa adalah pencuri. Tapi Alisa tidak
peduli terhadap wanita penjaga kasir itu.
Setelah
membayar belanjaan, Verdian dan Jimmy membawa empat bungkus besar belanjaan
tadi menuju bagasi mobil. Sementara Alisa dan Albert berjalan ke sebuah
pedangang kaki lima yang berjualan koran dan majalah di dekat supermarket tadi.
Alisa
tersentak kaget saat pandangannya tertuju pada salah satu koran terkemuka di
Kanada. Ia mengambil koran itu dan cepat-cepat membayarnya lalu menyeret Albert
masuk ke mobil.
Setelah
mereka masuk ke dalam mobil, Felix cepat-cepat menancap gas dan melajukan mobil
kembali ke villa. Verdian dan Jimmy duduk di kursi paling belakang dalam mobil.
Pandangan keduanya menuju ke arah jalanan. “Ada apa? Mengapa kau menarikku
seperti tadi?” Albert bertanya dengan kesal pada Alisa yang kemudian
menunjukkan koran itu padanya.
Headline News
Selasa, 30
April 2012
Setelah
kejadian tiga hari lalu yang cukup menggeparkan seluruh penduduk Amerika
khususnya kota New York, ketiga anak dari Steven Jonathan masih juga belum
diketahui keberadaannya. Penyebab hancurnya kediaman keluarga Jonathan juga
masih dalam penyelidikan. Diduga kuat kecelakaan yang menyebabkan hampir
seluruh bagian rumah itu hancur disebabkan oleh meledaknya pipa gas yang berada
di ruang bawah tanah di rumah itu.
Seluruh
anggota kediaman itu tewas di tempat dengan tubuh penuh luka yang masih tidak
dapat diketahui penyebabnya. Apakah karena ledakan yang begitu besar ataukah
luka sayatan terkena benda tajam? Sampai kini semua itu masih menjadi misteri.
Mayat Tuan
Jonathan ditemukan hangus terbakar di ruang kerjanya yang berantakan. Sementara
polisi yang melakukan pemeriksaan tidak menemukan satupun mayat putra ataupun
putri Tuan Jonathan. Diduga mereka bertiga berhasil selamat dalam kejadian ini.
Lalu kemanakah ketiga putra dan juga putrinya? Kemana mereka hingga kini?
Keberadaan mereka pun masih menjadi misteri. Bila ada yang mengetahui
keberadaan Nona Elizabeth Jonathan, Jimmy Jonathan, dan Albert Jonathan dapat
menghubungi kantor polisi terdekat. Karena kesaksian mereka bertiga sangat
dibutuhkan.
Alisa
menangis setelah membaca koran tadi, dengan perasaan tertekan ia mengenang
semua kenangan yang tersisa tentang papanya yang sudah meninggal. “Papa….”
Ucapnya lirih sambil terus menahan air mata yang ingin menitik keluar. Albert
menyentuhkan tangannya ke pundak Alisa. “Kakak, kita harus kembali. Yah, kita
harus kembali. Agar polisi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ayo, kita harus
kembali!” Alisa menjerit dan menarik-narik lengan Albert. Felix melirikkan
pandangan sedihnya dari balik spion mobil. Walaupun dia adalah orang yang
jarang berbicara, tapi ia adalah orang yang selalu mudah tersentuh hatinya.
“Adik!
Sudah. Sudah! Kita tidak mungkin pulang. Tidak untuk saat ini. Apa kau sudah
gila? Mana mungkin polisi akan percaya dengan semua hal yang terjadi pada
keluarga kita. Bahkan mungkin polisi akan memasukkan kita ke rumah sakit jiwa.”
Jimmy berkata dari jok belakang mobil, sementara Verdian kini tengah membaca
koran tadi. Albert terus menenangkan Alisa dengan memeluknya.
“Semuanya
akan baik-baik saja, adik. Kau harus tenang. Sudah, jangan bersedih lagi!”
Albert dengan sayang mengelus punggung Alisa yang berguncang akibat tangis yang
semakin keras.
“Kau harus
berhenti menangis atau kita semua akan mati!” Abraham mengeluarkan suara untuk
yang pertama kalinya di dalam mobil. “Apa maksudmu?” kini Verdian ikut ambil
bagian dalam pembicaraan ini.
“Kurasa ada
gengsters yang menghadang kita di depan sana!” Abraham mengangkat telunjuknya
dan mengarahkannya ke depan di balik kaca mobil. Alisa berhenti menangis dan
memandang sekumpulan orang dengan pakaian serba hitam menghalangi jalan mereka.
Kini mereka
ada di sebuah jalan raya yang jarang sekali dilewati oleh kendaraan karena
jalan ini adalah jalan menuju perkampungan di kaki gunung. Di sebelah kanan dan
kiri jalan terdapat hutan tropis yang lebat. Hari sudah sore kala itu dan bulan
akan muncul beberapa menit lagi.
“Apa yang
sedang mereka lakukan?” Albert memandang kelompok itu dengan tajam. “Apa lagi?
Tentu saja mereka sedang menghadang kita.” Jimmy sudah mengeluarkan pistol
besarnya dari balik jasnya. Verdian ikut memandang keluar dan meletakkan
majalah tadi.
Abraham dan
Felix membuka pintu mobil dan berjalan keluar maju sampai ke depan mobil.
Rambut Abraham yang mulai memutih terlihat keperakan di tengah cahaya yang
mulai redup. Tubuh Felix yang sangat besar menghalangi pandangan Alisa dari
dalam mobil. Seorang pemuda yang memakai aksesoris khas gangster maju selangkah
ke depan, ia tersenyum sinis kepada Abraham dan Felix. Laki-laki itu berkulit
putih, berambut hitam, memakai boot dan setelan hitam juga aksesoris rantai
pada sekitar sabuknya.
“Maaf anak
muda, kau menghalangi jalan kami. Bisa kau minggir sebentar?” Abraham meminta
pengertian orang-orang itu. “Maaf pak tua, aku dan teman-temanku tidak akan
pernah pergi dari sini.” Ucap pemuda itu tajam.
Alisa,
Verdian dan kedua kakaknya turun dari mobil. Jimmy sudah memegang pistol di
tangannya. Sementara Albert memegang busur panah di tangannya. Alisa dan
Verdian mengambil pedang mereka masing-masing.
“Apa yang
kalian inginkan dari kami?” teriak Jimmy.
“Tentu saja.
Kematian kalian semua.” Gerombolan itu maju berlari menghampiri Alisa dan teman-temannya.
Alisa dan Verdian saling berpandangan lalu mengangguk satu sama lain. Mereka
lantas mengeluarkan pedang dari sarung masing-masing.
Albert
dengan cepat menembakkan panahnya dan panah itu dengan tepat mengenai sasaran.
Seorang laki-laki berambut jabrik dengan setelan hitam menghantam Felix –yang
sudah siap menerima pukulan—di depannya. Felix –tanpa merasa berat—langsung
mengangkat orang tadi dan membantingnya jatuh di atas tanah, dalam sekejap saja
orang itu langsung mati di tempat.
Di sisi
lain, Jimmy menembakkan peluru secara bertubi-tubi, namun dengan tepat semua
peluru itu mengenai sasaran. Jumlah gangster itu bertambah banyak, dengan
tenang Jimmy merogoh saku jasnya dan mengeluarkan satu pistol lagi dari sana.
Dengan kedua tangan ia mengangkat pistol dan menarik pelatuknya. Dengan waktu
yang bersamaan pistol itu meluncurkan peluru yang mengenai kepala anggota
gangster, tanpa diduga kepala mereka terbakar dilahap oleh api. Mereka bergerak
ke kiri dan kanan. Memukul kepala mereka dengan tangan namun api itu tidak juga
padam lantas mereka mati begitu saja.
Verdian
menghabisi nyawa 5 orang anggota gangster dengan menusukkan pedangnya tepat di
jantung lawan. Seorang pria maju mengeram pada Verdian dan dengan beringas
Verdian terlibat perkelahian dengan pria itu. Verdian menusukkan sebuah pisau
kecil yang biasanya ia selipkan di sabuknya ke kaki kiri pria itu. Laki-laki
itu menjerit keras dan Verdian menusukkan pedangnya ke perut lawannya.
Sementara
itu Abraham berkelahi dengan beberapa orang dengan gerakan yang sangat gesit.
Walau ia tidak membawa satu pun senjata ia bias melumpuhkan beberapa lawan
dengan pukulannya. Ia memukulkan kepalan tangannya ke kiri dan kanan. Salah
satu pria berambut cepak terkena pukulan di bagian pelipisnya dan ia pun terjatuh
ke atas tanah kehilangan kesadaran.
Di sisi
jalan yang lain Alisa tengah menghadapi 10 orang anggota gengsters. Alisa
mengayunkan pedangnya ke kiri dan kanan mengiris kulit di bawah baju gangsters
itu. Dengan gesitnya, salah satu pria maju dan menendang punggung Alisa hingga
terjungkal ke depan, namun dengan menggunakan ujung pedangnya Alisa menahan
tubuhnya agar tidak sampai jatuh ke atas tanah. Ia berbalik dan dengan tepat ia
mengiris leher seorang pemuda dengan pedangnya.
Pemimpin
gengsters tadi berjalan menghampiri Jimmy yang tengah berkelahi dengan salah
satu laki-laki akibat peluru dalam pistolnya habis. Jimmy memutar tubuh pemuda
itu hingga membelakangi dirinya, lalu ia memegang kepala pemuda itu dengan
kedua tangan dan memutarnya hingga orang tadi mati. Jimmy mengangkat kepalanya
dan memandang pemimpin gangster yang tengah menghampiri dirinya. “Rudolf….”
bisik Jimmy dan ia menjatuhkan mayat pria yang barusan dibunuh olehnya.
Laki-laki
yang bernama Rudolf itu berjalan semakin cepat hingga gerakannya tak begitu
terlihat. Tiba-tiba saja ia sudah berada di depan Jimmy dan melayangkan
tinjunya ke muka Jimmy. Namun Jimmy lebih cepat bergerak untuk menghindari
pukulan yang meleset tadi.
“Tak
kusangka. Kau masih mengingatku dengan baik.” Rudolf tersenyum menyeringai. Ia
berjalan memutari Jimmy yang sudah memasang kuda-kudanya. “Mana mungkin aku
melupakan seorang penghianat dan penyesat seperti dirimu itu. Karena dirimulah
Virgo menjadi seperti sekarang dan karena dirimulah bencana ini datang.” Jimmy
memandang tajam tepat di mata Rudolf.
“Aku
terkesan dengan pujianmu. Namun, aku lebih berhasrat untuk membunuhmu. Terima
ini! Hiaaa….” Dengan cepat Rudolf melayangkan tinjunya yang tepat mengenai
telapak tangan Jimmy. Sedetik lalu Rudolf tampak terkejut namun sekarang ia
tertawa dan menendang lutut Jimmy.
Jimmy
melepaskan tangannya dan terdorong mundur akibat tendangan tadi. Ia melangkah
ke depan dan mengayunkan tangannya ke kiri dan kanan. Salah satu pukulannya
berhasil mengenai tulang pelipis Rudolf. Jimmy kembali memukul tulang rusuk
Rudolf. Pria itu mengeryit kesakitan bagai seekor singa yang penuh amarah.
Rudolf mencakar pipi kanan Jimmy. Dengan geram Jimmy menendangkan kakinya ke
atas hingga mengenai leher Rudolf. Ia pun jatuh ke tanah tanpa perlawanan. Jimmy
mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya dan menembak kepala Rudolf hingga
hancur. “Iblis!”
Albert yang
mulai kehabisan anak panah langsung membanting busurnya di atas tanah. Ia
memejamkan matanya sementara kumpulan gangster berdiri di depannya sambil membawa
benda-benda tajam. Seorang laki-laki berwajah pucat dengan tulang pipi yang
tinggi maju sambil mengacungkan sebuah kapak. Saat ia ingin memukulkan kapak
itu Albert membuka mata dan mengangkat tangan kirinya, lalu dengan tiba-tiba
sebuah kekuatan mementalkan laki-laki tadi hingga jauh ke depan dan jatuh
menumbuk sebuah batang pohon yang besar.
Verdian yang
bertarung di sebelah Albert memandang takjub pada Tuannya. Ia tak pernah
melihat kekuatan penghancur sedasyat itu. Apalagi selama ini Albert belum
pernah diajarkan secara eksklusif, bahkan ia juga belum mempunyai seorang guru.
Satu persatu sisa gangster yang ada di depan Albert ia lumpuhkan dengan
kekuatannya. Mereka terpental ke depan bagai kerikil yang terlompat dari
ketapel dan mati seketika itu juga.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar