Rabu, 11 Juli 2012

The Last Warrior



1 Avenue Street

                Musim gugur datang lebih cepat di awal bulan Oktober tahun ini. Daun-daun pohon ek berguguran dengan warna merah kecoklatan yang mirip dengan warna tanah. Jalanan sekitar Amalone Street dipenuhi dengan dedaunan yang setiap saat turun dan lepas dari pohonnya. Beberapa petugas kebersihan berkeliaran kesana kemari dengan membawa sapu dan tong sampah besar. Udara dingin berhembus di setiap tempat membawa nuansa dingin yang mencekam sehingga bisa membuat berdiri bulu kuduk di sekitar kulit leher yang terbuka.
Alisa berjalan-jalan disekitar taman dengan celana jins, kaos ketat, dan sweter hangat yang membalut tubuhnya. Kaca mata tak lupa ia pakai. Dua orang laki-laki berjalan dibelakangnya. Mereka bukan pencuri atau semacamnya. Mereka hanyalah Pelindung Alisa yang ditugaskan ayahnya untuk menjaga Alisa dengan mempertaruhkan hidup mereka.
            Salah satunya sebut saja bernama Felix bertubuh tinggi besar dan dipenuhi dengan otot-otot yang keras di sekitar tubuhnya. Pukulannya mampu membuat manusia biasa akibatnya paling kecil ya patah tulan atau dikirim langsung ke Neraka. Memakai baju hitam dan kalung emas berbentuk bintang dengan lingkaran disekitar bintang itu. Melambangkan kalung milik keluarga Alisa. Dia mempunyai rambut pirang yang lumayan gelap hampir seperti hitam.
            Yang kedua bernama Verdian, laki-laki tinggi dengan rambut yang lumayan panjang sampai pundak. Dia keturunan China dengan kulit putih yang hampir transparan. Dia selalu memakai jas panjang berwarna hitam dan menyembunyikan pedang di balik jas itu. Matanya fokus dan mematikan. Orang yang dipandangnya akan merasa kematian mendekatinya.
            “Nona, hari hampir malam. Apa kita harus pulang sekarang?” Alisa berbalik dan berkata pada Verdian. “Ver, kalau kau ingin pulang maka pulanglah. Aku masih ingin di sini. Kau tau hanya waktu tertentu saja aku bisa keluar dari rumah. Kalau papa pulang pasti aku tidak bisa kemana-mana.” Maklum Alisa memang putri tunggal pebisnis kaya berusia separuh baya dengan penghasilan kira-kira USD$ 5 juta. Alisa kehilangan ibunya saat usianya masih 5 tahun. Dan ia diasuh oleh pembantunya yang bernama Kira. Sekarang usianya sudah 17 tahun.
            “Baiklah, Nona. Kami akan terus menemani Anda.” Kata Verdian sambil menundukkan kepala. “Bagus.” Alisa melanjutkan perjalannannya disekitar taman. Ia menaikkan penutup kepala sweternya. Telapak tangannya ia masukkan ke dalam saku celana jinsnya. Verdian dan Felix masih patuh mengikutinya di belakang. Berjalan pelan-pelan untuk menjaga jarak dengan majikannya.
            Gerombolan anak kecil laki-laki berlarian ke arah Alisa. Mereka tertawa lepas dan saling berkejaran satu sama lain. Alisa tersenyum samar di balik jubahnya. Dua orang remaja duduk berdampingan di sebuah bangku dekat air mancur. Mereka saling tertawa lepas dengan girangnya. Si lelaki terus mencerocos dan mengeluarkan kata-kata manis untuk merayu wanita di sampingnya. Sekelebat bayangan masa lalu melintasi benak Alisa.

            “Hai, Gisel.” Sapa seorang laki-laki yang tak lain adalah pria yang sama dengan pria yang sedang duduk di taman. Ini adalah memori dalam ingatan sang laki-laki.
            “Hai, Mark.” Jawab wanita itu dengan senyum merekah. “Nanti sore kamu ada acara?” Mark memegang halus tangan Gisel. “Um, kurasa tidak ada. Kenapa kau ke sini?”
            “Jawaban yang sama untuk pertanyaanmu itu. Satu-satunya alasan aku bisa kesini adalah karena aku ingin mengajakmu berkencan malam ini. Apa kau setuju?”
            “Tentu saja, Mark. Aku akan datang.” Mark mencium punggung tangan Gisel. “Baiklah sayang. Malam ini jam 7 tepat di O’connel Cinema.”

            Alisa hampir saja jatuh ke tanah kalau Verdian tidak dengan cepat menangkapnya dan memegang pinggangnya. “Nona. Anda tidak apa-apa?” Tanya Verdian berbisik di dekat telinga Alisa yang masih lemah dalam pelukannya. “Bayangan itu datang lagi, Ver. Bukan mimpi buruk yang lalu, tapi bayangan tentang laki-laki di depan sana. Aku melihat memorinya saat tadi pagi dia bertemu dengan selingkuhannya.” Alisa hampir terjatuh lagi dan dengan cepat Verdian menguatkan pegangannya di pinggang Alisa.
            “Kenapa bayangan dan memori-memori yang datang pada Nona selalu membuat Nona lemas. Seakan semua bayangan dan pikiran itu menguras energi Nona.” Verdian menegakkan tubuh Alisa yang lelah. Alisa terus memegangi keningnya yang sakit. Saraf-saraf di kening itu berkedut kuat seolah kaget menerima gambaran yang melintas tadi.
            “Aku harus memperingatkan gadis itu. Sebelum ia menjadi korban laki-laki tidak tahu diri itu.” Alisa melepaskan tubuhnya dari jangkauan Verdian, tapi Verdian menangkap siku Alisa dan memutar tubuh Alisa menghadap padanya. “Kurasa itu bukan ide yang bagus Nona. Tolong, kita harus kembali pulang sebelum Tuan tiba.”
            “Verdian, apa kau pernah menganggap ideku bagus. Tak pernah sekali saja bukan?” ucap Alisa sarkatis dan tersenyum sinis pada Verdian.
            “Nona, tolong jangan begini.” Verdian menundukkan kepalanya dengan canggung. Alisa memandangnya tajam dan Verdianpun dengan pasrah melepaskan tangannya dari lengan Alisa.
            Alisa berbalik menuju kedua remaja itu dengan sedikit canggung ia menyapa wanita yang sedang tersenyum senang di  sebelah sang pria. Felix dan Verdian mengikuti langkah Alisa dan bersikap awas di belakangnya.
            “Sore…” sapa Alisa dengan tersenyum pada gadis itu.
            “Sore. Maaf. Siapa Anda?” si gadis tersenyum dan menatap Alisa sambil mengawasi wajah Alisa. “Apa namamu Gisel?” Tanya Alisa. Si laki-laki tampak tertegun dan merasa gugup. Sikapnya berubah aneh dan ia mulai menggigiti kuku tangannya.
            “Gisel?” si wanita membeo dan menambahkan nada menekan pada kalimatnya. Dia memicingkan matanya pada Alisa. “Siapa itu Gisel? Oh, kurasa Anda salah orang. Aku Bella. Bukan Gisel.” Wanita itu tersenyum.
            “Oh, kukira kau bernama Gisel dan kau akan pergi nonton dengan pria ini di O’connel Cinema pukul 7 tepat malam ini.”
            “O’connel Cinema? What? Gisel? Maaf kau siapa dan dari mana kau tahu bahwa kekasihku akan pergi dengan wanita yang bernama Gisel ke O’connel Cinema?”
            “Selamat sore, Bella. Dan aku berharap kau akan lebih berhati-hati lagi dengan laki-laki.” Alisa lantas berjalan meninggalkan dua remaja itu ketika si wanita mulai memaki-maki si laki-laki yang masih kukuh dengan pendiriannya bahwa dia tidak mengenal wanita bernama Gisel. Alisa tersenyum samar di balik tudungnya.
            “Nona…” Verdian berjalan hampir sejajar dengan Alisa namun masih berada di belakangnya. “Aku benci pada laki-laki pembohong, Verdian. Kau tahu itu.” Mereka berjalan memutari taman dengan daun-daun berguguran di jalanan. “Tentu, Nona.”
            “Tampaknya para petugas kebersihan akan kuwalahan mengatasi semua guguran daun ini.” Alisa merabakan tangannya ke udara di depannya. Seolah menyapu debu-debu di atas meja. Dengan sekejap mata daun-daun itu pun lenyap dan hilang entah kemana.
            “Nona, tolong jangan melakukan hal ini lagi di depan umum. Dia bisa merasakan dan melihat Anda.”
            “Aku bingung Verdian. Mengapa kalian semua terus mengucapkan kata DIA DIA DIA. Memang DIA itu siapa? Apa hubungannya dengan keselamatan dan keamananku? Jawab!”
            “Nona, lebih baik kita pulang. Hari mulai gelap dan angin berhembus kencang membawa udara dingin di sekitar kita. Anda bisa sakit.” Felix berbicara dalam diamnya yang begitu lama.
            “Ayo, pulang!” ucap Alisa dengan lelah dan terpaksa.
*
            Alisa memandang keluar jendela mobil, menara rumah Alisa hampir terlihat dari jarak 2 kilometer. Rumah itu dibangun dengan megah seperti kastil dan terletak di Avenue Street. Memiliki pagar utama yang memisahkan halaman rumah yang begitu luas dengan jalan raya. Pagar itu terbuat dari baja dengan ukiran burung phoenix di sekitarnya.
            Mobil Mercedes Benz berwarna hitam mulai memasuki gerbang utama, dua orang penjaga membuka gerbang dengan menekan tombol di masing-masing sisi. Setiap sisi gerbang memiliki tembok berukuran besar untuk melindungi rumah itu dan membatasi halaman rumah dengan dunia luar. Seorang penjaga bernama Samuel tersenyum dan menyapa Alisa. “Nona….” Alisa tersenyum dan mengangguk.
            Setelah melewati gerbang utama mobil melalui sebuah jalan yang terbuat dari tanah menuju gerbang kedua yang memisahkan rumah dengan halaman depan. Beberapa tukang kebun sibuk memangkas rumput yang mulai meninggi di kanan dan kiri jalan. Mereka semua mengangguk dan tersenyum pada Alisa.
            Mereka bertiga mulai memasuki gerbang utama dan membelokkan mobil untuk menghindari sebuah pancuran besar yang ada di tengah jalan yang dihiasi oleh bunga-bunga di setiap sisinya. Merekapun sampai di depan pintu rumah itu yang dihiasi oleh beberapa patung khas Yunani. Walau mereka tinggal di New York, Amerika. Tetapi kakek buyut mereka berasal dari Yunani di kota besar bernama Athena. Alisa pun sangat menyukai dan mengagumi mitologi Yunani Kuno. Dengan dewa-dewinya yang begitu beraneka ragam.
            “Papa…” Alisa berlari keluar dari mobil dan menghambur kepada Mr. Jonathan yang tengah berjalan memasuki rumah. Rupanya mereka tiba di rumah dengan waktu yang hampir bersamaan. Alisa memeluk papanya dengan sayang. Saking kagetnya Mr. Jonathan terhuyung ke belakang menerima pelukan hangat putri tunggalnya.
            “Uh…. Hahaha. Sayang, kau mengagetkan papa.” Mr. Jonathan memberikan usapan hangat di punggung Alisa. Alisa tersenyum di balik bahu papanya. “Aku kangen papa. Kenapa papa begitu lama pergi?” mereka pun melepaskan pelukan hangat itu
            Mr. Jonathan membelai pucuk kepala anaknya dan tersenyum senang. “Ada beberapa urusan yang harus papa selesaikan. Dan itu semua tidak mungkin papa tinggalkan begitu saja, hunny.”
            “Yah, yang jelas urusan yang lebih penting dari aku.” Alisa memasukkan tangan kanannya ke saku celana dan melekukkan bibirnya membentuk ekspresi kesal.
            “Kau berkata seperti itu seakan papa tak pernah memperhatikanmu.”
            “Memang itu kan yang sesungguhnya.” Alisa melangkah ke dalam rumah tanpa menghiraukan tatapan ayahnya.
            “Alisa…. Alisa….” Mr. Jonathan memanggil nama putrinya, tapi Alisa tetap bersikeras untuk menghambur pergi dari tatapan ayahnya.
            Alisa memasuki ruang tamu yang dihiasi banyak sekali barang antik. Mulai dari lampu, guci, jam tower yang berhiaskan emas dari Yunani, patung-patung dewa-dewi Yunani, meja dan kursi dari Itali, karpet dari Turki, dan sebuah TV 3D layar datar yang terletak di dekat ruang tamu. Ada juga sebuah lukisan besar bergambar kakeknya yang tak lain adalah pendiri perusahaan terletak dengan apik di atas perapian.
            “Alis, mau kemana?” seorang laki-laki tinggi berkulit putih dan berambut ikal berwarna merah memegang lengan Alisa. “Lepaskan aku, Jimmy.” Jimmy adalah kakak angkat Alisa. Sebelum Alisa lahir papa dan mamanya sudah mengangkat dua orang anak laki-laki menjadi anak mereka. Yang tertua bernama Jimmy dan yang kedua bernama Albert.
            “Papa baru datang?”
            “Lihat saja sendiri! Aku mau ke kamar.” Dengan kasar dan tidak sabar Alisa melepaskan tangannya dari kakaknya dan menghambur pergi menaiki anak tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua. “Alisa!” teriak Jimmy dari bawah. Alisa berbalik dan melotot pada kakaknya.
            “Tolong, jangan begini lagi!” Alisa hanya memutar bola matanya dan segera menghambur pergi. Jimmy hanya bisa menghembuskan napas lelah dan pergi menemui ayah mereka.
*
            Malam sekali Alisa terbangun dari tidurnya karena suara ledakan yang datang bertubi-tubi di sekitarnya. “Apa-apaan ini? Kenapa suara it uterus-terusan datang.” Alisa bangun dari tempat tidurnya. Ia menyingkirkan selimutnya dan berjalan ke arah jendela. “Oh, shit!” ia segera bergegas mengenakan pakaian pelindung, celana ketat, dan sepatu boot. Di luar rumah ternyata sedang terjadi serangan mendadak dari sebuah pasukan. Ini bukan kali pertama ia di serang. Ia segera menghambur dan membawa pedangnya. Beberapa pisau kecil dan runcing dia selipkan di balik sepatu bootnya. Tidak lupa ia menyelipkan tusuk rambut untuk menggulung rambutnya agar tidak terurai.
            Baru saja Alisa selesai mempersiapkan diri Albert memasuki kamarnya dengan wajah pucat. “Alis, ayo pergi sekarang juga.” Ia memasuki kamar dengan pakaian tempurnya. Beberapa anak panah yang mematikan tersampir di punggungnya. Sebuah pedang ia genggam dengan rapat. “Aku sudah siap.” Jawab Alisa dengan tegas.
            “Tidak ada pertempuranmu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya dan jalan keluar paling aman adalah keluar dari sini dengan selamat. Pergilah! Verdian dan Felix akan menjagamu dengan baik. Para penjaga di bawah tidak mungkin bertahan lama. Ini lah jalan satu-satunya untukmu. Pergi atau mati.”
            “Aku? Lalu bagaimana dengan kakak?”
            “Inilah tugasku sebagai seorang kakak. Pergilah dan berhati-hatilah!”
            “Tidak! Tanpa keluargaku.”
            “Alisa!”
            “Kakak!” Albert mengibaskan rambut pirangnya yang hampir seperti putih, kini rambut itu sedikit merah terkena cairan dan cairan itu sama dengan yang menempel di pedang kakaknya. Rupanya pasukan iblis itu telah berhasil memasuki rumah. Baru saja Alisa berpikir seperti itu dan seorang zombie berwajah rusak memasuki kamarnya. Alisa tercengang sementara zombie itu mendekat di belakang kakaknya. Dengan kekuatan dan kecepatan ganas Albert menusukkan ujung pedangnya tepat di jantung zombie itu tanpa menolehkan wajahnya dari wajah Alisa.
            “Pergi sekarang atau mati!” ucap Albert tegas. Alisa yang masih tercengang dengan kejadian itu tak kuasa untuk menggerakkan kakinya dari tempatnya berdiri. Segera Albert menarik tangan adiknya untuk pergi. “Jangan bawa apa pun. Dan pergilah dengan selamat.” Ucap Albert sambil menarik tangan Alisa dan berlari keluar kamar.
            Rumahnya yang semula sempurna kini berubah tak beraturan. Guci-guci pecah, meja dan kursi patah atau mungkin terpotong jadi dua. Dua iblis Hydra berjalan di depan mereka berdua dan menghadang jalan mereka untuk keluar. Belum sempat Albert menusukkan pedangnya salah satu iblis itu mati dan berubah jadi abu ketika suara ledakan terdengar. Jimmy berdiri 3 meter di belakang Albert dan Alisa sambil mengacungkan pistol peraknya yang masih mengeluarkan asap. Bak seorang koboi Jimmy meniup moncong pistolnya.
            “Reuni yang sangat sangat sangat seru bukan, adik-adikku?” Alisa dan Albert hanya menatap tak percaya pada Jimmy yang bisa-bisanya masih tersenyum kegirangan padahal puluhan iblis menyerang rumah mereka. “Berhenti bersikap sarkatis, kakak!” Albert berucap dengan kesal.
            Tanpa menunggu perdebatan kedua kakaknya berhenti, Alisa langsung menancapkan pedangnya ke jantung iblis Hydra ketika iblis itu bergerak mendekat. “Woow…. Ini seru. Aku tak pernah bertempur dengan iblis secara langsung.”
            “Diam, adik. Kalian berdua membuatku gila! Kalian bertempur seolah mendapatkan balon warna-warni. Masih bisa kalian tersenyum kegirangan dalam keadaan seperti ini?”
            Jimmy dan Alisa tersenyum kepada Albert. Mereka bertiga langsung bergegas menuruni anak tangga dan tiga zombie menyerbu ke arah mereka seperti hendak memakan santapan pagi. Dengan liar Alisa menyapukan pedangnya dan menebas leher salah satu zombie hingga putus. Dalam jarak yang lumayan jauh Albert meluncurkan anak panahnya tepat di jantung zombie sehingga zombie itu ambruk di atas lantai tanpa perlawanan. Begitu juga Jimmy dengan sekali tembak ia berhasil meledakkan isi kepala zombie terakhir. Potongan daging busuk dan isi otak berhamburan di sekitar mereka. “Itu menjijikkan. Yekh!” ucap Alisa geli sambil memeletkan lidahnya. “Tapi seru, bukan?” Jimmy tertawa lebar. “Gila!” hardik Albert dengan kesal.
            Mereka bertiga pun meluncur turun ke lantai satu, mayat-mayat berceceran dimana-mana. Ada darah di sana-sini. Seorang petugas penjaga tergeletak di dekat meja. Tangan penjaga itu terpotong dengan mengerikan, menyisakan robekan daging yang berlumuran darah. Napas penjaga itu masih ada saat Alisa menghampirinya.
            “Kau tidak apa-apa? Apa kau bisa mendengarku?” Alisa menghampiri lelaki itu dan duduk di sebelahnya memeriksa denyut nadi yang mulai melemah. “Nona. Nona harus pergi dari sini. Kami tidak mungkin bertahan lebih lama lagi. Semoga selamat Nona dimana pun Anda berada.” Napas penjaga itu mulai memburu dan tercekat hingga akhirnya ia limbung tanpa daya di dekat Alisa. “Pedro. Pedro! Kau harus bertahan!” jerit Alisa dengan suara tangis yang lirih. Ia terus menggoncangkan tubuh Pedro penjaga setia rumahnya , tetapi tak ada jawaban darinya.
            Tangan Jimmy menyentuh pundak adiknya dengan lembut sementara di belakang mereka Albert tengah melawan sesosok iblis dengan pedangnya. “Dia sudah pergi, Alis. Kita juga harus pergi ke tempat yang aman. Jauh dari tempat ini. Kami akan bertahan selama yang kami bisa sampai kamu bisa keluar dari rumah ini.”
            “Tidak ada kami! Kita semua harus keluar dari tempat ini, kakak. Aku tidak akan pergi dari sini tanpa kalian.” Alisa membantah dengan keras, ia berbalik menatap wajah kakaknya dengan air mata yang masih menetes di wajahnya.
            Jimmy menghembuskan napas dan tersenyum pada adiknya. Ia menggenggam tangan Alisa dan menguatkannya. Mengukuhkan jiwa adiknya yang ia rasa mulai gentar. “Kita akan bersama seperti yang kamu mau. Kita akan pergi dari sini dengan selamat.” Alisa tersenyum senang dan memeluk kakaknya.
            “Kita harus pergi, Tuan, Nona.” Felix menghampiri dengan napas terengah-engah. Jasnya robek dan memunculkan aliran merah darah di sekitar lengannya. Dia rupanya juga ikut bertempur di sana. Verdian mengikuti di belakangnya tanpa luka sedikit pun. Namun, bayangan kelabu pucat menghiasi bawah matanya. Rupanya ia tengah tidur saat penyerangan ini berlangsung dan ia sangat lelah, tapi tugasnya tak mungkin bisa ia tinggalkan.
            “Para penjaga hampir mati semuanya. Kita tidak bisa bertahan lagi. Kita harus pergi sekarang.” Verdian menatap Alisa lemah, sedikit rasa sayang ada di dalam tatapannya. Albert melangkah ke samping Alisa. Ia memegang siku adiknya dan menyeretnya pergi. Alisa merasa sedikit kaget, tapi ia mengikuti langkah kakaknya dengan patuh. Mereka berlima pun berlari menuju pintu belakang.
            “Papa.” Alisa melepaskan lengannya dari tangan Albert. “Alisa….” Albert menjerit memanggil nama adiknya, tapi Alisa terus berlari menuju kamar kerja papanya. Biasanya jam segini papanya masih bekerja di ruang khusus dekat perpustakaan keluarga.
            Alisa membuka pintu ruang kerja yang begitu besar dengan sekali hentakan. Ia masuk ke dalam sana dan mulai mencari keberadaan papanya. Berkas-berkas berceceran di lantai. Sebuah bola dunia yang berukuran besar terguling ke samping dengan posisi yang ganjil seolah ada badai yang baru saja menerjang ruangan ini.
            Alisa melangkah perlahan mendekati susunan buku-buku yang tertata rapi di rak buku. Ia hampir memasuki ruangan itu lebih dalam mendekati tempat meja kerja ayahnya terletak sebelum sebuah suara serak yang kejam mengagetinya. Alisa mundur dan bersembunyi di balik rak buku mencoba menguping pembicaraan mereka sebisanya.
            “Kau, tak kan bisa mengambil anakku dari ku. Kau tak kan bisa mendapatkannya. Ingat itu, Virgo!” suara papanya seperti tercekat ketika mengucapkan kata itu. Siapa itu Virgo? Apa hubungan orang itu dengan semua ini? Jangan-jangan dia adalah dalang dibalik semua kerusuhan yang terjadi di rumahku?
            Alisa menoleh melihat bayang-bayang di dinding. Sorotan lampu di ruang sebelah mengirimkan bayangan seorang pria yang jatuh berjongkok di depan pria tinggi dengan jubah yang tak lain adalah pria bernama Virgo. Tangan Virgo mencekik leher papa Alisa.
            “Kau berani menantangku, Jonathan?” Virgo semakin mempererat cekikannya di leher Mr. Jonathan. “Untuk apa aku tidak berani kepadamu? Toh sekarang juga aku akan mati di tanganmu. Di tangan anakku sendiri.” Alisa membisikkan umpatan dengan kesal ia mengepalkan tangannya. Ia mulai berjalan memasuki ruangan itu sebelum sebuah tangan menutup mulutnya dan menarik Alisa kembali ke tempatnya tadi. Alisa sempat menolak, tapi ia merasa bau badan orang ini sangat ia kenal.
            “Ini aku, Nona. Verdian. Jangan bertindak gegabah.” Bisik Verdian di sebelah telinga Alisa. Alisa tertegun sementara tangan Verdian masih melingkari pinggangnya dan satu tangannya masih menutup mulut Alisa. “Aku akan melepaskan tanganku asal Nona berjanji untuk tidak berbuat gegabah.” Alisa mengangguk pelan.
            Perlahan Verdian melepaskan tangannya dari mulut Alisa. Alisa memutar tubuhnya untuk menghadap Verdian. “Apa yang kau lakukan di sini?” Alisa memandangnya dengan tajam dan Verdian pun melepaskan lengannya di pinggang Alisa.
            “Melaksanakan tugasku.” Jawab Verdian sambil menautkan alisnya yang berbentuk bulan sabit itu. “Dan apa itu tugasmu?” Alisa menantang Verdian dengan pandangannya yang makin mengancam. Sebelum Verdian sempat menjawab sebuah suara serak menjawab dengan lantang pertanyaan Alisa itu. “Tugasnya adalah melindungimu dariku, Nona muda. Dan kini dia telah membawamu kepada kematianmu, yaitu aku. Hahahaha.” Verdian dan Alisa tercengang di tempatnya berdiri. Ternyata Virgo sudah menyadari kehadiran mereka dari tadi. “Oh, ayolah anak-anak. Kemarilah!” undang Virgo.
            “Nona, kita harus lari sebelum terlambat.” Tangan Verdian menarik tangan Alisa, tapi Alisa tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. “Tidak tanpa papa.” Alisa melepaskan tangannya dan Virgo menatapnya dengan kaget. Mereka pun berjalan memasuki ruangan.
            “Alisa apa yang kau lakukan?” Papanya memandang dengan kaget, matanya melotot membentuk sebuah ketakutan yang teramat hebat. “Oh, ini dia Elizabeth Cornelius Jonathan. Kemarilah, sayang! Kemari!” tangan Virgo membentuk undangan untuk Alisa. Alisa tersadar itu bukan sebuah tangan tetapi rangka tangan. Hanya orang yang menyembah iblis yang mempunyai tangan seperti itu. Alisa tak pernah bisa benar-benar memandang wajah itu. Virgo memakai sebuah topeng putih hampir mirip tokoh Pantem dalam film-film horror.
            Jonathan masih terduduk di depan Virgo. “Alisa, jangan mendekat!”
            “Oh, diam Jonathan. Kau merusak semuanya.” Virgo mempererat tangannya yang masih melingkari leher Jonathan. Verdian mengikuti langkah Alisa yang mulai mendekat pada Virgo. “Ah, Verdian. Kau di situ saja. Aku tidak mengundangmu kemari.” Verdian memandangnya dengan marah dan mengambil pedangnya keluar dari sarungnya. “Oh, sarungkan pedangmu. Jangan repot-repot untuk itu.” Tangan Virgo terangkat ke atas dan tanpa sentuhan sama sekali Verdian kesakitan dan memegang lehernya. Ia mengeluarkan suara tercekik dari tenggorokannya.
            “Hentikan!” jeritan Alisa membuat Virgo melepaskan kekuatannya. “Oh, ternyata putri kita sudah mau berbicara.” Verdian masih memegangi lehernya yang masih sakit, ia menyarungkan pedangnya di tempat semula.
            “Berhenti memanggilku putri. Namaku Alisa. Aku tahu kau pasti tidak bisa mengeja atau membaca. Namaku ada di setiap majalah bisnis dunia. Oh, ia kan sekolah penyembah iblis tak pernah mengajari membaca bahasa Inggris, ya?” Alisa merasa wajah dalam topeng itu berubah jadi keras namun tersenyum kembali.
            “Baiklah, Alisa. Sebelum aku membunuhmu ada baiknya kau bersenang-senang dahulu dengan menonton proses kematian papamu....” Sementara Virgo mencerocoskan kata-kata tak jelas Mr. Jonathan meraih sebuah pisau yang terletak di atas meja dengan sebelah tangannya.
            “Aku tidak tertarik dengan bisnismu dan papa. Aku hanya ingin kau pergi.” Ucap Alisa yang mencoba mengalihkan perhatian Virgo dari gerak-gerik papanya. Dengan keras dan kuat Jonathan menusukkan pisau itu tepat di jantung Virgo. Ia berteriak kesakitan, teriakannya bagaikan koakan burung gagak di tengah musim dingin.
            Tiba-tiba saja tubuhnya berubah menjadi gumpalan asap hitam yang mencekat pernapasan. Bau sangit dan busuk berhembus, tapi dengan matinya Virgo papa Alisa ambruk ke lantai. Gumpalan asap itu membentuk dua sosok iblis Hydra yang seram. Mereka berjalan menghampiri Verdian dan Alisa.
            Alisa dan Verdian bersiap mengeluarkan pedangnya. Perkelahian pun tak terhindarkan. Mereka bertarung dengan sengit di ruangan itu. Alisa mengacungkan pedangnya ke arah salah satu iblis. “Kau akan mati.” Ucap Alisa sengit. Dengan tebasan dan ayunan pedang yang tak terkendali Alisa marah sejadi-jadinya. Sebelum ia sempat melukai, iblis itu berhasil melukai lengannya. Alisa berteriak kesakitan dan jatuh ke lantai.
            Verdian dengan cepat menebas kepala iblis itu membuatnya terhuyung jatuh dan mati. Alisa berusaha berdiri dan mengingat pelajaran bertarungnya yang diajarkan oleh Verdian. Beberapa gerakan ia coba untuk ingat. Alisa bangkit dan mulai mengayunkan pedangnya kepada iblis itu. Ia berhasil menggorok salah satu kepala iblis itu. Belum sempat Alisa mengirimkan tebasan berikutnya, sebuah mata pedang muncul dari jantung iblis itu.
            Verdian mencabut pedangnya dari jantung iblis dan iblis itu pun menggelepar lemah di kakinya. “Hai, seharusnya itu milikku.” Alisa melotot kesal. Verdian hanya tersenyum samar. “Butuh latihan lagi, Nona.” Alisa memutar bola matanya kesal dan menghampiri papanya yang tergeletak di lantai.
            “Papa, bertahanlah! Aku akan membawamu ke dokter.” Alisa memegang dan menyangga kepala papanya di pangkuan. “Ini bukan kekuasaan dokter, sayang. Kau harus merelakan papa pergi. Selamatkan dirimu dan ikuti nasehat Verdian.” Jonathan memegang tangan Verdian.
            “Tuan.”
            “Jaga putriku dengan baik. Aku percayakan keselamatan putriku padamu.” Napas Jonathan mulai tercekat. Mulutnya mengeluarkan darah. “Papa!” Alisa menjerit dan menggoyangkan tubuh ayahnya. “Aku mencintaimu putriku.” Dan Jonathan pun pergi untuk selamanya. Alisa menangis sejadi-jadinya. Verdian memegang bahu Alisa dan Alisa pun memeluknya.
            “Kita harus pergi sekarang.”
            “Tapi bagaimana dengan papa.”
            “Kita tak bisa membawa mayatnya. Kita harus meninggalkannya.”
            “Tidak!” Alisa melepaskan pelukannya dan memandang Verdian dengan kecewa. Verdian hanya menghembuskan napas lelah dan ia menyeret Alisa keluar dari ruangan itu untuk bergabung dengan kakaknya dan Felix.
*
            “Aku akan mengambil mobil.” Felix melapor kepada Jimmy dan Jimmy pun mengangguk menyetujui. Tanpa menunggu aba-aba Felix berlari menuju garasi mobil.
            “Ikuti Felix. Jaga adik dengan baik. Aku akan mengambil beberapa senjata di tempat penyimpanan.” Jimmy memegang punggung Albert dan menatapnya. Kini ia menyerahkan tanggung jawab untuk menjaga Alisa kepada adiknya. Mereka berpelukan dengan sayang lalu Jimmy mencium kening Alisa. “Pergilah!” Belum sempat Alisa berucap selamat berpisah pada kakaknya, tapi tangannya sudah ditarik oleh Verdian. Jimmy tersenyum, jenis senyum yang selalu dikenali Alisa. Sedikit kesan nakal dan kurang ajar ada di senyum itu.
            “Cepat naik!” perintah Albert sambil mendorong tubuh adiknya masuk ke dalam mobil. Felix sudah siap di belakang kemudi dan Verdian sudah duduk di sebelah Felix. Dengan pasrah Alisa masuk ke dalam mobil. Kepalanya menengok ke kaca belakang seolah bisa melihat bayangan Jimmy mulai mendekat.
            Albert duduk di kursi belakang dengan Alisa. “Tidak tanpa kakak.” Alisa memegang lengan Albert. Mereka saling bertatapan sementara Felix menunggu aba-aba untuk menyalakan mesinnya. “Jimmy akan baik-baik saja. Kau tahu  seperti apa dia. Dia orang gila yang takkan pernah berhenti tersenyum kegirangan. Ia bisa menjaga dirinya sendiri.” Albert mengangguk dan memberikan dorongan semangat pada adiknya walau ia sendiri pun tak yakin dengan keselamatan kakaknya. Alisa menyerah dengan pasrah dan duduk menyandar di dekat kaca. Sesosok zombie tiba-tiba muncul di samping pintu Alisa.
            “Aaaaaa………….” Alisa menjerit sekuat tenaga.
            “Felix! Sekarang!” mesin mobil menderu kencang dan beberapa zombie yang berlari mendekat tertabrak dengan ganas oleh mobil itu. Alisa memeluk Albert dengan sedikit rasa terguncang. Albert mengelus pundak adiknya.
            Sekarang mereka tengah memutari halaman rumah Alisa yang sangat luas. Rumah ini begitu mirip dengan kastil di negeri-negeri dongeng. Rumah yang berbentuk indah dengan ukiran-ukiran Yunani dan patung-patung di dekat pintu utama. Menara-menara menghiasi pucuk rumah dengan indah seolah merobek langit dengan ujungnya yang runcing.
            Mayat sekelompok penjaga yang ditugaskan untuk menjaga rumah tergeletak tak beraturan di sekitar jalan dengan tubuh yang terkoyak mengeluarkan serat-serat daging yang menyeramkan. Alisa menolehkan kepala memandang rumahnya untuk terakhir kalinya. Langit gelap gulita tanpa kilauan cahaya bulan dan bintang.
            Felix menambah kecepatan mobil  dan mulai mendekat ke gerbang utama rumah yang berukuran sangat besar dengan ukiran burung phoenix yang tak lain adalah lambang keluarga Jonathan. Mereka semua memandang rumah itu untuk terakhir kalinya dan sebuah ledakan besar membuat rumah itu hancur di belakang mereka. Tanah dan mobil yang mereka tumpangi ikut berguncang karena ledakan yang hebat itu. Sebuah patung besar melayang ke arah mobil mereka.
            Alisa berteriak dan melindungi kepalanya dengan kedua tangan, ia mengira patung yang jatuh itu akan melukainya namun dalam beberapa detik tak terjadi apa-apa. Ia mengangkat kepalanya dan menurunkan tangannya. Patung itu hancur di belakangnya sebelum jatuh menimpa mobil mereka. Tangan Albert masih terangkat dan napasnya memburu tegang. Dadanya naik turun seakan ia telah menguras semua energinya. “Kakak.” Alisa memandangnya dan menurunkan tangan Albert yang masih terangkat seolah menghalau patung tadi.
            “Aku, aku.” Albert terbata-bata dan masih tercengang dengan apa yang telah terjadi. Verdian memandang mereka berdua sementara Felix masih mengemudi di belakang setir. Mereka kini telah memasuki hutan dan akan terus berjalan sampai perbatasan Kanada ke tempat yang telah di persiapkan oleh papa mereka sebelumnya.
            “Kakak yang melakukannya?” Alis menatap tak percaya. “Yah, mungkin aku adik. Mungkin aku.” Albert memandangi telapak tangannya. “Aku masih tidak mengerti. Apa aku punya kekuatan seperti itu?” Albert bertanya menoleh pada adiknya dan Verdian secara bergantian.
            “Yah, Tuan. Inilah kekuatan Anda. Dan itu juga adalah alasan mengapa Tuan Besar mengangkat Anda sebagai anak.” Verdian menjelaskan kepada Albert yang masih terpukau.
            “Alasan? Jadi papa sudah mengetahui jauh sebelum hal ini akan terjadi?” kini Alisa mencerocoskan pertanyaan kepada Verdian. Alisa tidak seberapa kaget bahwa Verdian mengetahui hal ini bahkan sebelum kakaknya tahu.
Verdian adalah anak pembantu papa yang bernama Chan. Saat Verdian berumur 10 tahun dan sudah lulus dari perguruan Kung Fu di negeri China, papa mulai membuat keputusan untuk menjadikannya sebagai pengawal, tapi Verdian diberi izin untuk meneruskan latihannya. Ia berkelana sampai ke Jepang dan melanjutkan menuntut ilmu di sana sehingga dia bisa menjadi ahli pedang yang begitu hebat.
“Iya, sekarang Nona tahu kenapa Nona bisa mendapatkan pengelihatan masa lalu di saat-saat tertentu karena itu juga yang dimiliki Tuan Besar.”
“Tapi, Verdian. Aku masih bingung kenapa tak ada orang yang tahu bahwa rumah kita diserang oleh pasukan iblis. Kenapa FBI tidak menyelidiki semuanya dan kenapa alarm tidak berbunyi seperti biasanya saat ada perampok yang masuk? Apakah ini semua sudah direncanakan?”
“Sebagian dari pendapat Anda memang benar, tapi Virgo juga sudah memantrai rumah agar tak ada satu pun manusia biasa yang bisa melihat.”
“Tunggu!” Albert yang sudah mulai sadar kini ikut andil dalam pembicaraan mereka. “Kalau aku punya kekuatan dan papa menggunakan kekuatanku sebagai alasan untuk mengangkatku sebagai anak, berarti Jimmy juga punya kekuatan?”
“Benar, Tuan. Tuan Jimmy memang punya kekuatan.”
“Apa dia mengetahui kekuatannya?”
“Dia sangat tahu tentang kekuatannya dan sudah mempelajari lebih banyak beberapa tahun terakhir.”
“Kenapa tidak ada yang bercerita?”
“Saat itu para guru masih ragu dengan apa kekuatan Anda sebenarnya, jadi mereka merahasiakannya dari Anda.” Para guru adalah guru yang mengajari untuk mengasah kekuatan putra putri keluarga Jonathan. “Salah satu guru yang bernama Gabriel, dia bisa mengetahui kekuatan setiap muridnya. Dan saat dia mulai mengetahui apa kekuatan Anda. Penyerangan ini mulai terjadi sehingga tak ada waktu untuk memikirkan pelatihan Anda berdua. Maafkan saya.”
“Kenapa harus minta maaf, Ver. Kau tidak salah.” Alisa tersenyum kepada Verdian.
“Terima kasih, Nona. Lebih baik sekarang Anda berdua istirahat kami akan berjaga-jaga. Perjalanan ini akan memakan waktu yang sangat lama sampai kita tiba di tempat yang aman.”

2 Latihan Eksklusif

“Kau hanya akan mati di tanganku.” Bisikkan itu kembali menghantui mimpi malam Alisa. Dalam mimpinya ia berada di sebuah ruang kerja. Dindingnya terbuat dari kayu mahoni yang di cat coklat mengkilat. Sebuah rak buku besar yang berisi buku-buku tebal terletak di pojok ruangan. Di dekatnya terdapat sebuah meja kerja dengan berkas-berkas di atasnya. Sebuah lampu menyala di atas meja. Di lantai terdapat sebuah karpet yang bergambar lingkaran hitam dengan segitiga runcing di setiap sisinya. Gambar yang sangat janggal yang pernah dilihat oleh Alisa.
Alisa tergeletak di atas karpet, ia mencoba bangun dengan kedua tangannya sebagai penopang. Sepasang kaki menghampiri Alisa yang masih berusaha untuk bangun dari tempatnya. Dia adalah Virgo, kini ia hanya memakai jubah hitam dan menurunkan tudung jubahnya sampai menutupi seluruh bagian wajahnya hingga tak terlihat sama sekali.
Alisa mengangkat kepalanya dan memandang Virgo yang berdiri sekitar dua meter dari tempat Alisa tergeletak. “Kau….” Alisa memegang kepalanya yang terasa pening hingga sangat menyakitkan, ia berusaha duduk di tempatnya dan tetap memandang Virgo di depannya.
“Nona muda. Selamat datang di kematianmu. Aku senang kau bisa hadir di sini dengan sukarela. Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kau ucapkan?” lingkaran di karpet tempat Alisa tergeletak menyala dengan terang membuat ia menyipitkan mata dan menghalau sinar putih itu menusuk matanya.
“Aku tidak akan mati di tanganmu! Kurasa kaulah yang akan kubunuh terlebih dahulu.” Alisa berdiri dan merasakan perih di tulang selangkanya, ia pun memegang bahunya dengan sebelah tangan.
“A… a… a. Jangan terburu-buru, Nona. Kita bermain-main saja dahulu.”
“Aku tidak tertarik dengan permainanmu. Kau telah membunuh papaku. Dan kau pantas mati di tanganku! Mata dibalas mata, tangan dibalas tangan, dan nyawa dibalas nyawa! Karena hanya dengan begitu dunia akan seimbang!” jerit Alisa dengan garang. Emosi memuncak di kepalanya. Virgo menatapnya dengan puas. Tanpa disangka-sangka dengan cepat tangan Virgo terangkat dan sebuah sinar merah mengalir menabrak tubuh Alisa. “Alakazam!”

“Tidak!!!” Alisa terbangun dari mimpinya. Darah menderu kencang dalam tubuhnya. Jantungnya berpacuan seperti seribu kuda yang berlari kencang. Dadanya naik turun mencoba menghirup udara segar untuk menenangkan pikirannya yang sedikit terguncang. Keringat membasahi punggung dan lehernya. Rambutnya kusut dan lengket akibat keringat.
Beberapa menit terakhir tubuhnya masih terguncang akibat mimpi buruk itu, kemudian ia menyadari sesuatu. “Aku. Aku dimana?” ia menatap ruangan di sekitarnya tidur. Ruangan yang berdinding dengan cat coklat muda. Terdapat sebuah meja dan kursi di depan tempat tidurnya. Sebuah lemari terletak di sebelah kanan tempat tidur dan pintu keluar ada di sebelah lemari. Di sebelah kanan tempat tidur terdapat jendela yang tertutup tirai putih tipis menampakkan cahaya bulan ke ubin lantai. Tinggi jendela itu sama seperti tinggi badan manusia. Tempat tidurnya terdiri dari sebuah seprai berwarna putih polos dengan sebuah bantal, sebuah guling, dan sebuah selimut. Terdapat lampu kecil di dekat tempat tidur dengan warna kuning yang menyala. Lantai ruangan ini terbuat dari ubin berwarna kelabu.
Pintu kamar terbuka dengan kencang saat Alisa masih memperhatikan dan menyusuri ruangan ini dengan matanya. Verdian masuk ke dalam dengan napas yang memburu. “Nona. Apa Nona baik-baik saja? Saya tadi mendengar jeritan Anda.” Verdian berjalan mendekati Alisa yang memandangnya dengan lemah. “Apa sudah terjadi sesuatu?” Verdian duduk di depan Alisa dan memandangnya dengan tatapan khawatir.
“Tidak terjadi apa-apa, Ver. Hanya mimpi buruk itu.” Alisa menghirup napas panjang. Verdian tersenyum dan membelai rambut Alisa. “Tidurlah lagi! Tidak ada yang perlu Nona khawatirkan. Saya akan di sini untuk berjaga-jaga.” Alisa memegang tangan Verdian dan menggenggamnya.
“Aku tidak apa-apa, Ver. Kembalilah tidur! Kau juga butuh istirahat.”
“Pejamkan matamu!” Alisa perlahan memejamkan kedua matanya. Verdian mulai mendekatinya dan mencium kening Alisa dengan sayang. “Jika terjadi apa-apa peganglah kalung ini dan panggil namaku atau pun Felix bahkan Albert. Kami pasti akan datang menolongmu.” Verdian meletakkan sebuah kalung emas dengan gambar burung phoenix dalam lingkaran emas. Kalung itu hangat di telapak tangan Alisa.
“Terima kasih. Kalung apa ini? Dan dari mana kau mendapatkannya?”
Verdian tersenyum dan bangkit dari kasur Alisa. “Itu adalah kalung yang diberikan Mr. Jonathan padaku. Ia menitipkannya padaku untuk diberikan pada Nona. Kalung itu menghubungkan ikatan batin antara diriku, Felix, Jimmy, Albert, dan Nona. Genggam kalung itu dan ucapkan nama kami, maka kami akan tahu dimana Anda berada. Sekarang Anda mengerti mengapa baik aku, Felix, Jimmy, dan Albert menggunakan kalung yang hampir mirip dengan kalung itu. Gunanya adalah untuk menghubungkan kita semua.”
Alisa menggunakan kalung itu di lehernya. Kalung itu berdenyut hangat di atas dadanya. “Aku selalu mencintaimu, Papa.” Bisik Alisa lirih sambil memandang kalung itu. “Aku akan kembali ke kamarku. Selamat malam Nona.” Verdian pun melangkah keluar dari kamar itu dan Alisa melanjutkan tidurnya yang tertunda.
*
Sinar matahari menerobos masuk ke kamar Alisa, kala itu jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Alisa mengedip-ngedipkan matanya mencoba beradaptasi dengan sinar yang menerpanya. Perlahan-lahan ia mulai bagun dari tidurnya. Ia membuka matanya dengan sedikit malas dan mulai memandangi kamar itu.
Alisa bangun dan melihat jam yang terletak di mejanya. Ia mengikat rambutnya yang tergerai bebas dengan sebuah pita berwarna kuning. Alisa mulai beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela. Ia sibak tirai putih tipis itu dan berjuta molekul sinar matahari masuk dengan paksa ke kamarnya membuat kamar itu menjadi terang. Ia membuka jendela itu dan menghirup udara segar dari pegunungan. Alisa baru sadar bahwa ia berada di sebuah vila di kaki gunung, tapi entah ini pegunungan apa Alisa masih tidak mengerti. Di depannya terhampar luas kilauan hijau rumput dan pohon angsana yang mulai menggugurkan daun dan bunga kuningnya.
Burung-burung bercicit ria dan membawa helai demi helai ranting pohon untuk membuat sangkar di batang pohon yang kuat. Hembusan wangi bunga tulip yang berada di dekat jendela mengirimkan sejuta ketenangan di hati Alisa.
Alisa tersenyum dalam tekanan-tekanan yang selalu ada di sekitarnya. Ia menggenggam kalung yang melingkari lehernya. Aku harus kuat demi papa. Demi kakak dan semua orang yang mencintaiku. Alisa menghembuskan napas dengan berat. Ia menyandarkan punggungnya di dinding. Pintu kamar terbuka kemudian Albert masuk ke dalam.
“Adik, apa kau baik-baik saja?” Albert berjalan menghampiri Alisa dan menyentuh kening Alisa mencoba merasakan suhu badan adiknya. Alisa tersenyum dan menurunkan tangan Albert dari keningnya lalu ia genggam tangan itu. “Aku tak apa, kak.” Albert tersenyum senang.
“Mandilah! Semua kebutuhanmu ada di lemari itu. Pakaian dan semuanya. Setelah mandi dan berpakaian turunlah ke lantai bawah, kita akan makan bersama 15 menit lagi!” Albert mengelus puncak kepala Alisa dan keluar dari kamar itu. Dengan cepat ia berbalik, “Ah, aku lupa. Kamar mandinya ada di sana.” Albert menunjukkan jarinya ke pintu sebelah tempat tidur. Alisa tidak ingat pintu itu ada di sana semalam, tapi mungkin itu karena ia tidak terlalu perhatian akibat mimpi buruk semalam. “Baiklah, aku keluar dulu.” Pintu kamar pun ditutup oleh Albert.
Alisa mengangkat kedua bahunya dan berjalan lambat-lambat menuju kamar mandi. Ia buka pintu itu dan ia sadar ini adalah kamar mandi yang sangat sederhana. Hanya ada bathub, swower dan sebuah gantungan handuk, serta sebuah kotak P3K yang berisi obat-obatan dan peralatan mandi.
*
“Tuan, bagaimana keadaan Tuan Jimmy? Semenjak kejadian semalam tak ada satu pun kabar yang saya terima dari dia. Saya takut dia menjadi korban dari ledakan kemarin malam.” Suara Verdian mengawali pembicaraan di ruang makan. Alisa berjalan mendekat dan bersembunyi di dekat dinding mencoba menguping pembicaraan mereka. Ia baru sadar bahwa kakaknya (Jimmy) belum kembali sejak semalam dan tanpa ia sadari tangannya bergetar karena takut terjadi apa-apa dengan kakaknya.
“Aku yakin Jimmy baik-baik saja. Firasatku mengatakan ia sedang dalam perjalanan menuju kemari. Bukan berjalanan yang menyenangkan sebenarnya karena ia harus menumpang dan berhenti di beberapa tempat untuk mencari tumpangan yang baru.” Seorang laki-laki menjawab rasa khawatir Verdian. Bukan suara yang Alisa kenal rupanya. Laki-laki itu menghadap konter dapur dan memasak dengan tangkas. Ia menggerak-gerakkan wajan penggorengan dengan baik dan terlatih seperti seorang koki.
“Aku juga merasakan hal yang sama dengan Leonardo.” Albert duduk di depan Verdian. Felix diam tanpa mengatakan apa pun seperti Felix yang biasanya. Ia memang bukan orang yang banyak bicara. Felix menjumput sebuah roti dari keranjang dan mulai memakannya. “Alisa berhentilah menguping dan kemari! Bergabunglah dengan kami!” ucap Albert terang-terangan membuat Alisa yang mengira dirinya tidak diketahui keberadaannya menjadi malu setengah mati.
Alisa keluar dari tempat persembunyiannya. Seperti biasa ia mengenakan sebuah celana jins ketat dan kaos Gucci dengan jemper sebagai penghangat. Tudung jemper itu yang semula ia kenakan sekarang ia turunkan. Alisa mendekat ke ruang makan. Ruang itu sama sederhananya dengan kamarnya di lantai dua. Hanya ada meja makan dan enam buah kursi. Sebuah keranjang berisi roti, mentega, keju, dan selai yang ada di atas meja. Verdian, Felix, dan Albert duduk bersebelahan. Dan seperti dugaannya seorang pria yang bernama Leonardo memasak makanan di konter dapur. Ruangan itu diterangi oleh cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Di depan dapur terdapat sebuah pohon besar. Cahaya matahari membuat rambut merah Alisa berubah menjadi emas.
Albert tersenyum dan menyuruh Alisa untuk duduk di dekatnya. Leonardo menoleh dan tersenyum pada Alisa. “Selamat pagi, Nona.” Alisa hanya sedikit menganggukkan kepala dan Leonardo pun melanjutkan pekerjaannya tadi.
“Siapa dia, kak?” Alisa berbisik dan mencondongkan tubuhnya kepada Albert. “Dia adalah orang kepercayaan papa yang ditugaskan untuk menjaga tempat rahasia ini. Namanya Leonardo berasal dari Perancis. Ibunya dulu adalah pengasuh papa sewaktu papa masih kecil. Semalam saat kita sampai di tempat ini kamu tidur dan tidak bisa dibangunkan jadi Verdian membopongmu ke kamar. Jadi kau tidak sempat bertemu dengan Leon.” Jelas Albert.
“Makanan siap!” Leonardo membawakan beberapa piring yang berisi makanan. “Maaf hanya ini yang tersedia. Seharusnya aku membeli persediaan makanan kemarin, tapi ada sebuah urusan yang harus kuselesaikan.” Satu demi satu piring yang berisi makanan yang lumayan menggiurkan mulai tersedia di atas meja.
“Kau harus ikut makan bersama kami, Leon.” Albert menggeser sebuah bangku di dekatnya untuk diduduki oleh Leonardo yang Alisa tahu panggilannya adalah Leon.
“Terima kasih banyak, Tuan.” Leon duduk di sebelah Albert. “Mari silahkan dimakan!” Alisa mulai memakan spaghetti di piringnya. Ia mengunyah dan mencoba untuk menikmati makanan yang ia akui lumayan enak hampir sama dengan masakan Kira di rumahnya dulu sebelum Kira mati.
“Masakanmu enak.” Alisa tersenyum dan memandang Leon di depannya. “Terima kasih, Nona.” Mereka pun melanjutkan makan dalam diam.
*
Setelah selesai makan Leon berjalan ke konter dapur untuk mencuci piring. Satu demi satu orang yang berkumpul mulai mencari aktivitas sendiri-sendiri. Albert pamit untuk berjogging di sekitar halaman vila sementara Felix pergi ke teras yang ada di belakang rumah untuk melemaskan otot-ototnya. Yang tersisa di meja makan hanya Verdian dan Alisa.
“Kurasa ini waktunya latihan, Nona muda.” Verdian mengawali pembicaraan dan memandang Alisa yang sedari tadi tertunduk lesu. “Latihan? Again?” Alisa balas memandang Verdian sambil melengkungkan bibirnya.
“Iya, kurasa ini waktu yang tepat untuk latihan. Cuaca di luar masih cerah. Salju belum mulai turun, jadi ada baiknya kita mulai berlatih dengan eksklusif. Karena saat salju turun semua lapisan tanah akan tertutup oleh salju dan itu sangat tidak memungkinkan kita untuk latihan.”
“Uh, kurasa aku juga tidak punya pilihan lain, kan?” Alisa mengangguk pasrah. Verdian tersenyum dan mengulurkan tangan, Alisa menyambut uluran itu dengan senang hati. Kau membuat semua ini terasa lebih indah, lagi. Bahkan pada saat-saat genting seperti ini. Pikir Alisa dalam hati.
Alisa mulai tersadar, entah kapan hubungannya dan Verdian menjadi serumit ini. Kini ia merasa ini bukan hubungan biasa antara majikan dan pengawal. Tiga tahun lalu saat usia Alisa masih 15 tahun papanya menyuruh dua orang kepercayaannya untuk melindungi Alisa. Ia mulai tahu mengapa papanya ngotot untuk menugaskan pengawal untuk mengawalnya dimana saja sejak pengelihatan pertama Alisa di awal usianya yang ke 17 tahun.
Waktu itu ia bermimpi buruk di tengah malam. Gambaran bayang-bayang hitam hadir dalam mimpinya. Di sebuah hutan dengan pohon-pohon yang tak berdaun ia berlari berusaha kabur dari bayangan itu. Langkah-langkah kuda berderap menyusul di belakangnya.
Alisa berusaha bersembunyi di balik batang pohon yang lumayan besar. Gaun putih tipisnya robek di sana-sini. Sebuah luka muncul di lengan kanan atas. Alisa memegang luka itu mencoba membuat darah itu berhenti menetes, tapi darah itu tetap mengalir menimbulkan bercak-bercak merah di lengan gaun Alisa.
Ia bersandar pada pohon mengatur napasnya yang masih memburu. Langkah-langkah kuda itu sudah tak terdengar olehnya. Ia berharap keadaan sudah mulai aman, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Di depannya sudah berdiri seseorang. Alisa yakin betul bahwa itu adalah seorang laki-laki. Dia memakai jubah hitam dan tangannya terbuat dari tulang tak ada selapis pun kulit atau daging yang menutup tulang itu. Alisa terkejut setengah mati, ia mencoba menangis dan menjerit berharap pertolongan datang menghampirinya, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah rengekan kecil.
Laki-laki itu mengangkat tangannya dan berkata keras-keras mengucap sebuah mantra “Alakazam!” dan bagai berjuta-juta molekul sinar yang menyilaukan mata seolah menelan Alisa bulat-bulat di dalamnya. Alisa terbangun dari mimpi itu dengan keringat yang mengalir di sekujur tubuhnya.
Dari situ ia mulai mendapatkan pengelihatan-pengelihatan yang tak terkendali. Kadang bisa menyebabkannya lelah atau bahkan pingsan. Ia bisa melihat gambaran dirinya dan orang lain di sekitarnya. Alisa tak pernah tahu bahwa kekuatan itu berasal dari papanya yang diturunkan padanya. Baru saat Verdian mulai bercerita ia mengetahui semuanya dan sekarang Verdian berjuang mengajari ilmu berperang padanya. Sementara Albert terus mencari guru untuk melatih Alisa mengendalikan kekuatannya.
“Kau yakin kita akan berlatih di sini?” Alisa menggaruk belakang kepalanya dengan gelisah. Ia memandang tanah yang jauh di bawahnya sekitar satu setengah meter. “Iya, Nona.” Verdian tersenyum dan melemparkan pedang Alisa di sisi yang lain. Kini mereka berdua berdiri di atas batang kayu yang ditata secara horizontal dengan disangga oleh batang kayu yang besar di masing-masing sisinya.
“Wooo….” Alisa melangkah ke belakang dan mulai oleng ke kiri dan ke kanan. Ia mencoba mengatur keseimbangan tubuhnya dengan merentangkan tangannya di masing-masing sisi. Verdian dan Alisa berdiri saling berhadapan. “Terus, apa yang akan kita lakukan?” Alisa masih mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya.
“Tentu saja berkelahi!” Verdian tersenyum lebar sementara Alisa membuka mulut dengan gelisah. “Berkelahi kau bilang? Berkelahi di atas tanah saja aku masih tidak becus. Apalagi di atas sini.” Alisa merasakan tubuhnya bergetar. Ia memandang Verdian yang bergerak-gerak dengan lincah sekitar dua meter di hadapannya.
“Guruku di China dapat berdiri di atas ranting pohon yang hampir patah dengan satu kaki saja.”
“Hei, aku bukan guru Kung Fu, tahu! Kau dapat membuatku mati jika begini cara latihannya.”
“Terserah Nona mau mengikuti pelajaranku atau tidak. Yang penting Tuan Besar sudah memberi mandat pada saya untuk mengawal Nona, menjaga Nona, dan mengajari Nona cara bertarung. Jadi, saat Nona jauh dari aku ataupun Felix Nona bisa menjaga diri Anda sendiri. Tapi bukan berarti hal itu pantas untuk dicoba.”
“Oh, diam Verdian. Kau membuatku pusing.”
“Kalau begitu mari kita bersenang-senang dulu.” Verdian melangkah maju dengan cepat untuk mendekati Alisa yang berdiri dengan goyah.
“Verdian! Jangan mendekat lagi! Aku belum siap.” Rengek Alisa dengan kesal. Ia masih merentangkan tangannya di setiap sisi dengan goyah. Sementara Verdian melangkah dengan anggun dan seimbang tak memperdulikan perkataan Alisa. “Verdian, ini perintah. Oke!” Alisa memelas berharap Verdian menyadari posisinya yang tertekan.
“Tidak ada murid yang memerintah guru. Sekarang aku gurumu, bukan pengawalmu.”
“Kau.” Alisa memandangnya dengan tajam. “Oh, ayolah! Aku benar-benar takut ketinggian. Aku mohon kita latihan di tanah saja. Jangan di ketinggian seperti ini. Ini menyeramkan asal kau tahu itu.” Alisa memanyunkan bibirnya dan memelaskan tatapannya. “Aku mohon.”
Verdian menghela napas panjang dan menegakkan tongkat yang sedari tadi ia acungkan ke arah Alisa. “Dulu saat pertama kali aku belajar seperti ini. Aku terjatuh dari ketinggian 3 meter. Latihan ini masih belum apa-apa.” Ah, dia mulai lagi. Pikir Alisa kesal. “Tulang selangkaku patah dan aku harus berhenti latihan selama satu bulan.”
“Cukup! Oke-oke. Mari kita lanjutkan!” Alisa mengacungkan pedangnya keluar dari sarungnya.  Ia tersenyum menantang Verdian untuk segera memukulkan tongkat itu padanya. “Oh, ayolah! Kenapa sekarang jadi kau yang diam. Kan, tadi kau bilang kita harus segera latihan sebelum salju turun. Lagian latihanku dulu saat masih di rumah juga tidak buruk-buruk amat, bahkan meningkat pesat. Betul kan, guru?” Verdian mengacungkan tongkat dan kakinya menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Sekarang!” ujung tongkat Verdian memukul bahu kiri Alisa dengan cepat. Alisa merintih kesakitan dan memegang bahunya, tubuh Alisa hampir terjatuh kalau saja tongkat Verdian tidak menghalanginya. Mereka saling menatap satu sama lain. Alisa bernapas kesakitan, sementara Verdian tersenyum dan mengangkat kedua alisnya.
“Haa!” Alisa mengacungkan pedangnya dengan ganas, kaki kanannya maju satu langkah ke depan. Sedikit demi sedikit ia mulai menguasai materi pelajaran ini. Dengan tangkas Verdian menghalau tebasan pedang Alisa dengan tongkatnya yang sekarang mulai terpotong pinggirinya terkena pedang Alisa.
Mereka berdua saling memukul satu sama lain. Alisa menggerakkan pedangnya ke arah kanan dan Verdian membalas dengan tongkatnya. “Kau tahu? Ini sama sekali tidak adil untukmu, Ver.” Mereka saling mengunci pukulan satu sama lain. “Oh, ini adil sekali Nona. Memang sebaiknya orang yang pandai bertarung keadaannya harus lebih rendah dari orang yang belum bisa bertarung.” Verdian tertawa. Rambut hitamnya yang lumayan panjang bergerak dengan alami karena tertiup angin pagi.
“Hiaaaa…!!!” Alisa menggunakan keadaan Verdian yang tengah lengah untuk memukulkan pedangnya kesamping tongkat Verdian.
Verdian yang sedari tadi tengah asyik tertawa kini mulai goyah. “Hemm, kurasa kini yang harus lebih berkonsentrasi adalah kau.” Alisa mengayunkan kakinya ke depan dan menendang kaki Verdian yang goyah ke kiri dan kanan. Tak butuh waktu lama Verdian jatuh ke bawah dengan anggun. Sama sekali tidak menimbulkan luka untuknya.
Verdian memandang ke atas dan Alisa tersenyum di sana sambil menaruh pedangnya di atas bahu. “Hahaha. Pintar Nona, pintar.” Mereka saling tersenyum satu sama lain. “Aku selalu pintar, bukan?”

3 Pertemuan Kembali

Tengah malam Alisa masih berusaha untuk tidur, entah mengapa malam ini ia susah sekali untuk memejamkan matanya. Matanya tak mau menuruti dia padahal badannya begitu lelah akibat latihan seharian. Verdian berkali-kali memukul tubuhnya dengan tongkat lunak. Beberapa memar merah menghiasi bagian bahu dan punggung Alisa. Walau pun sore tadi Leon sudah mengobati luka Alisa dengan tenaga dalamnya, tapi tubuh Alisa tetap terasa sangat lelah.
Ia baru tahu bahwa kekuatan Leon adalah penyembuhan. Ia bisa menyembuhkan luka dengan tenaga dalam dan mengenali jenis-jenis tumbuhan untuk obat maupun tumbuhan yang beracun. Pantas saja Verdian memukulnya dengan terang-terangan karena pasti ia sudah mengetahui kekuatan Leon. Sangat menyebalkan! Alisa menggoyang-nggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan. Membayangkan kejadian hari ini. Ia merasa sangat kesal pada Verdian, tapi entah mengapa ia masih tetap mencintai orang itu.
Ia menggerakkan tubuhnya berbalik dari satu sisi ke sisi yang lain tempat tidur dan terus begitu selama beberapa waktu. Ia mulai frustasi, mengapa matanya tak mau terpejam sama sekali? “Aaaa…. Gila! Ini sungguh gila! Mengapa mataku sama sekali tak bisa terpejam? Huhhh, menyebalkan!” ia bangun dengan kesal dan memandang sekeliling ruangan.
Alisa berjalan mendekati cermin dan memandang pantulan dirinya disana. Rambut pirang panjang hampir kecoklatan yang lurus dan halus, ia gerai bebas sedemikian rupa. Memancarkan aura cantik dari wajahnya. Kulitnya yang putih bersih berkilau seperti pualam diterpa sinar bulan yang masuk melalui celah-celah tirai putihnya. Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Ia sadar ia adalah cetakan yang sempurna dari gambaran ibunya yang selama ini tak pernah ia kenali dan ia rasakan kehadirannya.
Dulu saat ibunya akan melahirkannya, ibunya mengalami pendarahan hebat. Tapi tanpa gentar dan takut ibunya tetap memperjuangkan kehidupan Alisa. Tanpa menghiraukan darah yang keluar dengan hebat ia tetap berusaha keras untuk melahirkan Alisa. Dengan lahirnya Alisa, Tere –nama asli ibunya—meninggal dunia. Sebelum Tere meninggal, ia berpesan pada Jonathan untuk menamakan anak mereka Elizabeth Cornelius Jonathan. Cornelius adalah nama guru Tere yang mati karena menyelamatkan Tere yang hampir meninggal. Kekuatan ibunya adalah pohon dan segala macam tanaman dapat ia kendalikan.
Alisa tersadar dari kenangan masa lalu. Ia berjalan mengambil Snatze –nama pedangnya—keluar dari lemari. Ia segera mengganti pakaian tidurnya dan memakai jemper tebal untuk menghalau angin malam. Alisa memegang erat pedangnya di tangan. Ia bergegas keluar dari kamar dan menuruni anak tangga menuju ruang depan vila.
Di ruang itu terdapat beberapa kursi dan sebuah meja yang terbuat dari rotan. Sebuah vas bunga diletakkan cantik di atas taplak meja. Alisa mengambil kunci yang biasanya diletakkan Leon di dalam vas itu. Setelah menemukan kunci yang terselip di antara tangkai bunga, ia segera berjalan dengan perlahan tanpa suara dan membuka pintu depan. Pintu terbuka dan Alisa cepat-cepat keluar dari sana.
Alisa berjalan di sekitar halaman vila. Rumput yang semula hijau kini mulai merah tertutup oleh daun-daun pohon yang berguguran. Bulan purnama menampakkan sinarnya yang putih anggun. Alisa berjalan sendirian hanya ditemani oleh bayangan hitam dirinya di atas rumput.
Di tengah halaman yang ditutupi oleh guguran daun Alisa merintih, hatinya terasa pilu memikirkan semua ini. Ia tak mengerti mengapa hidupnya yang semula sempurna kini berubah jadi petaka.
Pertama mamanya pergi meninggalkannya sewaktu ia dilahirkan. Alisa tak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Pasukan iblis menyerang rumahnya yang seperti istana baginya, papanya pergi meninggalkannya karena dibunuh oleh Virgo seorang pemuja setan yang gila. Alisa masih tak mengerti mengapa Virgo melakukan ini pada keluarganya. Kakaknya sampai sekarang belum diketahui dimana keberadaannya. Dan kini ia terdampar di sebuah vila yang terletak di kaki gunung yang tidak jelas tempatnya berada dimana. Ia merasa ia mulai gila dengan semua tekanan ini.
Saat rintihannya berubah menjadi tangis, sebuah tangan menyentuh bahunya. Alisa menengok ke belakang, Verdian berdiri di depannya dan tangannya mencengkram bahu Alisa seolah ingin menguatkan hatinya, mengirim semangat untuk Alisa agar ia dapat bertahan hingga akhir.
“Kapan kau tiba di sini?” Alisa bertanya dengan canggung dan mengusap air matanya seolah ingin menyembunyikan kesedihan itu dari tatapan iba Verdian. “Aku mengikutimu sedari tadi. Aku tidak ingin kau terluka.” Dengan cepat Verdian menarik tubuh Alisa mendekatinya dan mereka berpelukan dalam sinar bulan yang cemerlang.
Alisa menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Verdian. Ia menyentuhkan tangannya di punggung Verdian. Verdian adalah laki-laki yang tinggi bahkan tinggi Alisa hanya sampai di dagu Verdian. Alisa menangis di dada Verdian berupaya untuk melepaskan semua beban yang menghimpit dadanya. “Menangislah! Jangan berhenti hingga semua luka itu terangkat keluar dari sana!” Verdian meletakkan dagunya di atas puncak kepala Alisa. Alisa menangis keras hingga menjeritkan tangis itu di kegelapan malam.
“Sekarang, apakah perasaanmu sudah lebih baik?” Verdian menjauhkan dirinya dari tubuh Alisa dan mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Alisa.
Alisa tersenyum, “Setidaknya Virgo sudah mati, bukan?”
Verdian menghela napas panjang dan memandang jauh ke mata Alisa mencoba mencari sisa-sisa luka yang masih ada di dalam diri Alisa.  Dengan sangat menyesal ia berucap, “Seorang pemuja iblis tidak bisa dibunuh hanya dengan satu tusukan kecil di tubuhnya. Memang dia bisa mati. Tapi kita harus memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian dan membakarnya agar tubuh itu tidak jadi satu. Kau bisa menusukkan pisau ke tubuhnya, tapi bukan berarti ia akan mati. Ia hanya merasa sakit dan ia akan pulang kepada pimpinannya. Kau pernah dengar tentang vampir?” Alisa mengangguk pelan. “Kira-kira cara membunuhnya sama dengan cara membunuh vampir.”
“Berarti ia tidak mati?”
“Tidak. Untuk itulah mengapa kita harus ada di sini. Untuk melindungimu sampai perang usai.”
“Perang apa maksudmu?”
“Perang antara dirimu dan DIA tentunya.”
*
Matahari sudah bersinar dengan teriknya kala itu. Alisa terbangun akibat sinar yang menerpa matanya. Dengan kesal ia beranjak bangun dari tidurnya dan menutup tirai putih tipisnya dengan tirai kedua yang berwarna hitam. Alisa kembali berbaring di atas ranjang dan menutup tubuhnya dengan selimut. Tidak berapa lama pintu kamar Alisa terbuka dan Verdian masuk ke dalamnya.
“Ayo, bangun putri tidur! Hari ini kita akan latihan di atas gunung! Matahari sudah bersinar terik apa kau tidak ingin bangun juga?”
“Ah, aku masih ngantuk kakak.” Ucap Alisa di balik selimut sementara matanya masih terpejam.
“Aku bukan Tuan Albert. Aku Verdian!”
Saking kagetnya Alisa terlonjak dari tidurnya dan merapatkan selimut ke tubuhnya. “Meng…. Mengapa kau masuk ke dalam kamarku tanpa izin?” Alisa terbata-bata sambil melotot kesal pada Verdian. Dengan jahil Verdian naik ke atas tempat tidur dan mendekat pada Alisa. “Kau…. Jangan mendekat lagi! Atau…”
“Atau apa, Nona?”
“Atau aku akan membunuhmu.”
“Atau menciumku.”
“Verdian berhenti!” teriak Alisa sambil menutup wajahnya dengan selimut.
“Hahaha.” Verdian tertawa dan memandang jahil pada Alisa. “Baiklah. Sekarang kau harus mandi dan sarapan. Lalu kita akan pergi untuk berlatih di gunung. Kau pasti akan senang.”
“Bagaimana bisa senang kalau setiap kita berlatih kau selalu memukul punggungku?”
“Yang benar saja? Salah sendiri kau tak pernah berusaha menangkis pukulanku!”
“Aku sudah berusaha! Kau itu yang tidak mau memberiku kesempatan.”
“Emh, baiklah. Aku akan memberikan kesempatan untukmu hari ini.” Verdian bangun dari ranjang dan berjalan ke pintu. Alisa memandangnya dengan penuh rasa sayang. “Cepatlah sebelum perutmu berbunyi lagi.” Alisa melihat ke perutnya dan ia tersadar bahwa sedari tadi perutnya sudah mulai keroncongan. Ia tersenyum malu pada Verdian yang memandanginya. “Aku akan menunggu di bawah.”
*
“Berapa lama lagi kita akan berjalan kaki? Aku sudah lelah setengah mati.” Alisa mengusap keringat di dahinya dan menumpukan berat badannya ke tongkat yang di pegangnya. “Kita sudah setengah jalan dan sebentar lagi kita pasti akan sampai. “Oh, yang benar saja? Aku bisa mati kecapekan sebelum mencapai tempat itu.” Alisa menjatuhkan dirinya di atas rumput di dekat jalan setapak.
“Kau yakin akan beristirahat di sana sendirian? Kalau aku sih akan melanjutkan perjalannan lagi.” Tanpa menunggu Alisa, Verdian melanjutkan perjalannan ke atas gunung. “Tunggu aku!” Alisa mengejarnya dengan setengah susah payah. “Apa kau tidak mau memberiku waktu untuk beristirahat? Bisa-bisa tenagaku sudah habis sebelum dipakai untuk berlatih.”
“Ini adalah latihan fisik untuk Nona. Apakah Nona tidak pernah berfikir? Kehidupan Nona sudah berubah 180 derajat dari yang dulu. Sekarang sudah tidak ada rumah mewah, mobil mewah, dan semua barang yang Anda butuhkan tidak tersedia seperti sebelumnya.”
Aku sudah berfikir tentang itu sejak tadi malam kau memelukku. Pikir Alisa dalam hati. “Yah, aku tahu. Aku akan berusaha lebih keras lagi.”
“Kurang dari sebulan lagi musim dingin akan tiba dan salju akan turun.” Verdian memandang ke atas langit di balik rimbunnya pepohonan hutan. Sepanjang jalan setapak banyak sekali dedaunan yang berceceran. “Nona harus bisa menguasai semua materi yang saya ajarkan.” Verdian memandang Alisa yang sedari tadi menunduk mencoba mencari jejak jalan setapak yang samar-samar terlihat akibat tertutup daun.
“Em, oke.” Alisa menganggukkan kepala dan berlari menghampiri Verdian. Dengan cepat Alisa melingkarkan tangannya di punggung Verdian. Pria tinggi itu menyambut pelukan Alisa. “Ajarkan aku semuanya. Agar aku bisa membalas kematian papaku. Berjanjilah kau akan bersamaku hingga akhir.”
“Aku berjanji.” Verdian mencium puncak kepala Alisa dan membaui aroma rambut Alisa yang khas seperti bau bunga mawar di musim semi. “Baiklah, sekarang kita harus melanjutkan perjalanan dan tiba sebelum tengah hari. Agar kita tidak pulang kemalaman.” Verdian melepaskan pelukan mereka dan menggandeng tangan Alisa untuk melanjutkan perjalanan.
*
“Kau bersusah payah naik ke atas gunung ini hanya untuk kegirangan seperti itu? Wow, susah sekali untuk dipercayai.” Verdian menyindir Alisa yang sedang tersenyum memandang sekeliling puncak gunung. Alisa yang mendengar nada sinis dari ucapan Verdian pun memanyunkan bibirnya dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
“Mengapa kau selalu saja merusak kegembiraanku?” Alisa memandang Verdian tajam.
“Maaf ya, Nona. Tapi, aku hanya ingin mengingatkanmu. Bahwa tujuan utama kita ke atas sini adalah untuk berlatih. Mengerti?”
Alisa dengan kesalnya berjalan untuk mendekati Verdian. “Baik. Mari kita lakukan!” Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya. Pedang itu berkilat terkena sinar matahari siang. Pedang itu adalah pedang peninggalan kakek Alisa yang diserahkan turun temurun kepada setiap generasi tertua di keluarganya. Di gagang pedang terdapat ukiran burung phoenix yang mengepakkan sayap sementara di pangkal gagang terdapat patung naga yang melingkari pangkal itu. Artinya adalah kekuatan, kecerdasan, kewibawaan, dan kebenaran.
“Oh, tahan dulu Nona. Tampaknya kau masih tidak mengerti.”
“Tidak mengerti apa maksudmu?”
“Hari ini kita tidak berlatih menggunakan pedang. Tapi, menggunakan ini.” Verdian melemparkan tongkat Alisa yang sedari tadi dibawanya.
“Dengan tongkat ini. Begitu maksudmu?”
“Benar sekali. Ayo mulai!” dalam satu gerakan kilat Verdian sudah mengacungkan tongkatnya di depan Alisa dan memasang kuda-kuda di kakinya.
“Apa kau bercanda?” Alisa memandang Verdian dengan gelisah.
“Apa menurutmu aku sedang bercanda?”
“Oh, ayolah! Aku masih belum bisa menguasai materi pedangku, tapi mengapa kau menyuruhku untuk memakai tongkat sekarang? Lama-lama aku bisa gila.”
“Sekarang!” dengan cepat Verdian memukul bahu kiri Alisa dengan tongkatnya. Sedetik lalu tampak ekspresi kaget di wajah Alisa namun sekarang wajahnya berubah jadi keras dan mengancam. Ia memukulkan tongkatnya ke depan dengan sekali hentakan tongkat itu berhasil memukul pundak kanan Verdian dan membuatnya terdorong ke belakang. Verdian memegang pundaknya yang sedikit sakit. “Bagus. Teruskan!”
Mereka bertarung dengan sengit. Tongkat terulur ke kiri dan kanan mencoba menangkis pukulan satu sama lain. Mereka melangkah maju dan mundur bagai tarian di atas awan. Alisa tertawa ketika pukulan keduanya dengan telak mengenai paha kiri Verdian dan membuatnya terjatuh di atas tanah.
“Hahahaha. Apa sekarang aku sudah hebat?”
“Jangan tertawa dulu Nona! Aku masih kuat berdiri.” Verdian mengayunkan kedua kakinya ke depan dan membuat tubuhnya bangkit berdiri. Alisa tersenyum dan mengayunkan tongkatnya dengan cepat ke lengan kanan Verdian. Alisa memukulnya secara terus menerus dan Verdian masih mencoba untuk menangkis pukulan Alisa.
Alisa terjatuh di atas rumput hijau dan memegangi bahu kanannya. Verdian masih tersenyum cemerlang di depannya. “Kau kira aku akan menyerah begitu saja? Tentu tidak!” Alisa bangkit berdiri dan melemparkan tongkatnya ke atas dengan punggung kakinya dan diapun dengan tangkas menangkap tongkat itu.
“Mari kita lanjutkan!” tantang Verdian sambil mengayunkan tongkatnya ke kiri dan kanan mencoba memukul tubuh Alisa lagi. Tidak berselang lama keduanya merasa kelelahan. Mereka sudah bertarung hampir tiga jam lamanya.
“Hah. Hah. Ahh. Aku sudah lelah. Apa kita bisa istirahat makan siang sebentar?” Alisa merobohkan tubuhnya di atas rumput sambil bernapas kelelahan. “Aku capek!” Ia merentangkan kedua tangannya. Di sampingnya Verdian juga ikut merebahkan tubuh. Mereka berdua memandang awan putih di langit. Keduanya tersenyum dan saling melirik satu sama lain.
“Indah bukan?” Verdian mengacungkan jarinya ke arah awan. Sinar matahari yang mulai meninggi memancarkan cahaya hangat yang menerpa tubuh mereka berdua di tengah suasana dingin musim gugur. “Iya. Sangat indah.” Alisa mengangguk setuju.
Verdian bangun dan mengambil sebuah bungkusan yang tadi ia letakkan di atas sebuah batu besar. Ia membawa bungkusan itu dan mendekat pada Alisa. Verdian membuka bungkusan kertas coklat itu dan mengeluarkan dua potong sandwich isi tuna.
“Ini makan siang kita hari ini. Persediaan makanan sudah hampir habis. Rencananya besok aku dan Leon akan pergi ke kota untuk membeli bahan makanan. Ini untukmu!” Verdian menyerahkan sepotong sandwich pada Alisa. Alisa membukanya dan mulai memasukkan sandwich itu ke dalam mulutnya.
“Leon adalah koki yang berbakat aku suka masakannya, tapi aku bosan dengan masakannya yang itu-itu saja. Apa aku boleh ikut ke kota.” Alisa memandang Verdian dan tersenyum manis untuk membujuk kekasihnya itu.
“TIDAK! Itu sangat berbahaya.” dengan satu tarikan napas Verdian menjawab tegas pertanyaan wanitanya. “Oh, ayolah! Kali ini saja. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku mohon!” Alisa mengusap-ngusapkan kedua telapak tangannya dan memasang wajah memelasnya.
“Jangan memandangku seperti itu!” Verdian mengalihkan pandangannya dari tatapan Alisa ke sekitar lapangan itu.
“Ahhh, padahal aku juga ingin mencari kakak.” Alisa dengan pasrah menurunkan pundaknya dan memakan sandwichnya dengan tidak sabar.
“Oh, baiklah. Tapi kali ini saja, ya?” Verdian dengan kesal menuruti kemauan Alisa.
“Wah, terima kasih.” Alisa langsung melemparkan tubuhnya dalam pelukan Verdian. Verdian tersenyum dan memeluk kekasihnya itu.
*
Hari sudah mulai gelap kala itu, Verdian dan Alisa baru bersiap untuk pulang. Mereka berjalan mengikuti jalan setapak yang mereka lalui tadi pagi. Lelah begitu mereka rasakan akibat seharian ini berlatih di atas gunung. Suhu udara berubah jadi dingin hingga Alisa menaikkan tudung jempernya dan mempererat syal yang ia pakai di lehernya. Verdian mencoba menghalau udara dingin dengan jaket tebalnya. Pedangnya terselip rapi di balik jaket itu.
Alisa berjalan lambat di belakang Verdian mencoba menuruni jalan yang lumayan terjal dengan banyaknya batu yang berhamburan. Bisa saja ia tergelincir jatuh jika ia tidak berhati-hati dan menginjak salah satu batu. Verdian menunggu Alisa di bawah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon.
“Ayolah! Apa kau akan terus berdiri di sana dan menolehkan kepalamu ke kiri dan kanan untuk mencari pijakan. Cepat sedikit! Ini sudah pukul 7 malam. Srigala hutan berkeliaran jam segini.”
Mendengar kata-kata Verdian barusan, Alisa merasakan bulu kuduknya berdiri. “Meng…. Mengapa kau berbicara begitu padaku? Aku ti…. Tidak takut!” Alisa menggigit bibir bawahnya mencoba menghalau rasa khawatir yang menghimpit dadanya.
“Aku sudah menjagamu hampir 4 tahun lamanya. Mana mungkin aku tidak tahu hal apa saja yang membuatmu takut dan hal apa saja yang membuatmu senang!” Verdian tersenyum dan memandang wajah Alisa yang terkena sinar bulan di balik bayang-bayang ranting pohon. Cantik. Pikirnya dalam hati. Ia menggeleng-gelengkan kepala setelah sadar akan pikirannya tadi.
“Kau. Benar-benar, ya!” Alisa menunjukkan jari telunjuknya ke arah Verdian. Dengan cepat ia melangkah ke depan dan tanpa sadar ia menginjak salah satu batu dan tergelincir ke bawah. Alisa menjerit kaget dan Verdian yang melihatnya langsung berlari menghampiri Alisa yang sudah jatuh tergeletak di atas tanah dengan posisi tiarap.
“Alisa. Alisa!” Verdian menyentuh tangan Alisa, dengan hati-hati ia membalikkan badan Alisa untuk menghadapnya. Wajah itu tidak bisa benar-benar terlihat akibat bulan bersembunyi di balik awan dan tidak menampakkan cahayanya yang keperakan. “Bangunlah! Aku mohon!” Verdian mengguncang badan Alisa dengan pelan dan ia meraih pergelangan tangan Alisa mencoba memeriksa dengut nadi Alisa yang semakin melemah.
Verdian merebahkan tubuh Alisa yang masih hangat di atas tanah. Ia menaruh tangannya di leher Alisa mencoba memeriksa denyut jantungnya. Verdian tidak punya pilihan lain selain memberikan napas buatan untuk Alisa. Dengan pasrah ia membuka mulut Alisa dan mulai mendekatkan mulutnya. Tiba-tiba mata Alisa terbuka dan ia tertawa sekeras-kerasnya.
“Hahaha. Kau lucu.” Alisa bangun dan memandang Verdian yang masih kebingungan. “Kau….kau menipuku! Apa kau pikir itu tadi lucu? Kau membuatku hampir mati karena khawatir terhadapmu!” Verdian bangkit berdiri. Wajahnya yang semula khawatir berubah jadi keras. Ia berjalan menjauhi Alisa yang seketika itu juga menghentikan tawanya. Verdian mengambil tongkatnya yang ia tinggalkan tadi di dekat pohon.
“Aku…. Aku hanya bercanda. Oh, ayolah!” Alisa celingukan mencari tongkatnya dan segera ia mengambil tongkat itu lalu bangkit berdiri mengejar Verdian yang terus berjalan ke depan di tengah kegelapan. “Verdian, aku mohon maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu cemas. Aku hanya ingin menggodamu.” Setelah langkah mereka sejajar Alisa mencoba menjelaskan pada Verdian yang terlihat kesal.
Verdian menghentikan langkahnya dan memandang Alisa dengan tajam. “Jika kau pikir tadi itu lucu. Itu sama sekali tidak lucu buatku. Kau tahu? Aku…. Sangat…. Kesal…. Padamu!” Verdian berlari meninggalkan Alisa masuk ke dalam kegelapan di depannya. Alisa bingung harus bagaimana? Ia tidak membawa alat penerangan sama sekali. Ia juga tidak mempunyai ponsel. Dengan kesal ia berlari masuk ke dalam kegelapan hutan berusaha menyusul langkah Verdian yang meninggalkannya.
“Verdian! Verdian. Dimana kau? Aku tak bisa melihatmu! Aku mohon jangan marah!” ia mulai cemas dengan keadaan ini. Alisa menelusuri hutan itu dengan matanya. Samar-samar cahaya bulan masuk ke dalam hutan itu dan mengirimkan sedikit saja cahaya untuk membantu pengelihatan Alisa. Wanita itu tahu, ini semua salahnya. Seharusnya ia tidak mencoba menggoda Verdian dengan leluconnya itu.
Alisa berlari ke depan memasuki semak-semak belukar mencoba mencari kemana arah Verdian pergi, tapi tak juga ia temukan. Ia memandang ke kiri dan kanan. Ia merasa kebingungan, kemana ia harus pergi?
Tiba-tiba sebuah suara eraman keluar seperti dari sebuah mulut yang penuh dengan gigi yang tajam dan air liur yang menetes keluar. Alisa menggenggam kedua tangannya, ia bergidik ketakutan. “Si…. Siapa itu? Keluar! Jangan takut-takuti aku!” jerit Alisa pada kegelapan di depannya.
Bunyi retak ranting pohon yang diinjak oleh sebuah kaki membuat Alisa mengeluarkan pedang dari balik jempernya. Ia mengeluarkan pedang dari sarungnya dan mengacungkannya ke depan. Dua kaki kekar yang berbulu hitam keluar dari kegelapan dan maju kedepan untuk menampakkan dirinya pada Alisa di bawah sinar bulan. Mata emas menyala dan taring tajam menghiasi moncong itu. Eraman keras keluar dari mulut srigala yang lapar itu. Mereka saling berhadapan dan bertatapan. Srigala itu berdiri 5 meter di depan Alisa.
“Oh, tidak.” Alisa menggelengkan kepalanya. Ia melirik ke kanan dan ke kiri berharap Verdian datang dan menolongnya. Tapi tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan serigala itu. Mengapa pada saat seperti ini kau malah tidak ada? Pikir Alisa dalam hati. Serigala itu menggonggong di depan Alisa seperti anjing yang kelaparan. Setetes air liur jatuh ke tanah. Alisa menahan napasnya dan mulai merasa mual. “Kau tahu? Itu sangat menjijikkan, Bung!”
Srigala itu menggonggong semakin keras dan berlari lalu melompat ke arah Alisa dengan cepat. Alisa tidak memiliki waktu untuk menghunuskan pedangnya. Di depan wajahnya, mulut srigala itu yang penuh dengan gigi setajam silet membuka dengan lebar seperti hendak menelan Alisa bulat-bulat. Alisa hanya bisa terpaku diam. Tiba-tiba dengan kecepatan cahaya sebuah pedang terulur menumbangkan srigala itu dengan menebas kepalanya.
Alisa tercengang memandang srigala yang tadi ingin memangsanya kini terkapar kehabisan darah di bawah kakinya dengan leher yang separuh tergorok. Luka menganga lebar dari leher itu. Srigala yang sekarat itu mengeluarkan bunyi kikikan dari napasnya yang mulai melemah sebelum akhirnya mati dalam lima detik.
Alisa menutup mulutnya dan memandang ke kanan. Di sampingnya Verdian berdiri sambil masih mengulurkan pedangnya yang belepotan darah. Dadanya naik turun dan napasnya memburu akibat kejadian itu. Alisa menyentuh lengan kiri Verdian dan mengguncangnya pelan.
“Maafkan aku.” Ucap Alisa sambil meneteskan air mata. Verdian memandangnya dan menjatuhkan pedangnya. Dengan cepat ia memeluk Alisa yang masih tercengang. Verdian mengelus-ngelus rambut panjang Alisa yang lurus. “Jangan bersikap seperti itu lagi. Kau membuatku ketakutan.” Alisa mengangguk dalam pelukan Verdian. Mereka pun melepaskan pelukan itu.
Suara auman keras berkumandang di dekat sebuah pohon besar di depan mereka. Lusinan moncong keluar dari gelapnya hutan dan maju menampakkan diri mereka. “Gerombolan srigala.” Verdian menyentuh dengan kuat tangan Alisa dan mengambil pedangnya yang tadi ia jatuhkan. Mereka berdua memegang pedang masing-masing dan mempererat genggaman tangan. Pimpinan srigala maju dan srigala lainnya mengikuti di belakang. “Sekarang!” teriak Verdian dan mereka berdua lari menembus gelapnya hutan. Lusinan srigala mengejar di belakang mereka.
Mereka berdua lari dengan cepat menyusuri hutan yang gelap dengan gerombolan srigala yang mengejar di belakang mereka. Alisa hampir tersandung sebuah batang pohon yang patah dan berserakan di tanah sebelum Verdian memegang tangannya semakin erat dan mereka pun melanjutkan larinya.
Akhirnya mereka tiba di ujung hutan di sebuah jalan buntu yang di selimuti semak belukar dengan duri-duri di tubuh semak itu. Alisa dan Verdian pun berhenti berlari. Mereka melepaskan kedua tangan mereka dan berbalik menghadap gerobolan srigala yang ikut berhenti sekitar 3 meter di belakang mereka.
“Tidak ada pilihan lain, kita harus menghabisi mereka atau mereka yang akan memangsa kita?” kata Verdian tanpa memandang Alisa dan terus memfokuskan diri pada gerombolan srigala itu.
“Jangan khawatir aku bisa. Aku kan pernah membunuh satu zombie waktu di rumah.” Verdian hampir pingsan mendengar kata-kata lugu dari mulut Alisa. Membunuh satu zombie mana bisa dikatakan ahli? Bisa saja itu hanya sebuah kebetulan. Alisa meringis pada Verdian.
Salah satu srigala maju hendak menerkam Alisa namun kali ini tangan Alisa lebih gesit dari sebelumnya. Ia menusukkan pedangnya tepat ke jantung srigala itu. Srigala itu jatuh dan mati seketika. Alisa mencabut keluar mata pedangnya dari tubuh srigala yang mati itu. Lalu satu demi satu srigala mulai maju dan hendak membunuh mereka berdua.
Ayunan mata pedang mereka berkilat terkena sinar bulan menimbulkan kilatan keperakan di atas udara. Satu srigala berbulu kecoklatan menerjang maju ke arah Verdian dengan taringnya yag tajam dan senyum mengancam. Verdian melompat ke atas sebuah batang pohon yang tumbang dengan diameter yang besar. Dia berdiri di sana dengan mengayunkan pedangnya. Srigala itu mengeram dengan buas. Ia seakan marah dengan apa yang barusan di lakukan oleh Verdian.
Seekor srigala tengah bertarung sengit dengan Alisa di sisi yang lain. Alisa menghunuskan pedangnya ke kiri dan kanan. Beberapa luka sayatan muncul dan mengeluarkan darah di kaki depan kiri dan punggung srigala itu. Srigala itu menggonggong dan marah, lalu dengan cepat ia melompat ke arah Alisa yang bernapas dengan lelahnya karena sedari tadi ia bertarung dengan beberapa srigala. Alisa benar-benar kelelahan hingga ia tidak sempat mengangkat pedangnya.
Srigala itu membuka moncongnya yang kehitaman dengan taring tajam di setiap sisi mulutnya. Dalam jarak satu meter Alisa mengangkat lengannya untuk menutupi wajahnya dari gigi srigala itu. Dengan cepat sebutir peluru meluncur dan mendarat tepat di kepala srigala itu. Dengan telak kepala itu hancur menjadi beberapa bagian. Suara ledakan kecil menggema dari balik rindangnya pohon di atas Alisa.
Alisa mendongak ke atas pohon itu, ia melihat sebuah bayangan hitam berdiri di cabang pohon. Alisa merasa dirinya mengenali postur tubuh orang itu. Ia adalah seorang pria dengan rambut ikal hitam dan ia memakai jas. Sebuah kalung emas menggantung di lehernya dan pistol besar keluaran Amerika ada di tangan kanannya. Caranya membawa pistol itu sangat khas seperti yang pernah dilihat Alisa sebelumnya.
“Jimmy….” Ucap Alisa lirih dengan menahan napas.
“Alisa. Awas!” Verdian berteriak jauh di sebelah kirinya dan tiga ekor srigala masih menggelepar kesakitan di bawah kakinya. Alisa menoleh ke sisi lain dan seekor srigala yang tampaknya adalah srigala terakhir menerjang maju ingin memangsa Alisa, namun saat srigala itu mendekat sebutir peluru menancap di sisi kiri tubuhnya dan menembus sampai ke jatungnya membuat srigala itu terjungkal jatuh dan mati di tanah.
Alisa kembali menoleh ke atas pohon. Pemuda itu merunduk dan menjatuhkan diri dari ketinggian 5 meter ke atas tanah. Benar saja pria itu langsung tersenyum ceria pada Alisa. Alisa mengikuti senyumannya dan melemparkan dirinya dalam pelukan laki-laki itu.
“Kakak….”
“Alisa.”
“Kakak dari mana saja? Mengapa kakak baru ke sini setelah beberapa hari berlalu?”
“Maafkan aku. Aku punya urusan lain yang harus kuselesaikan terlebih dahulu.”
Mereka melepaskan pelukan dan saling memandang bahagia satu sama lain. “Aku senang kakak selamat. Kurasa kak Albert benar, kakak tidak mungkin semudah itu mati.”
“Jika aku mati dalam perangkap yang kubuat sendiri, maka aku akan tertawa geli dalam perjalananku menuju akhirat.” Jimmy tertawa di depan Alisa yang memandangnya dengan rasa tidak percaya. Bagaimana dia bisa tertawa dalam keadaan seperti ini? Pikir Alisa dalam hati. Alisa memukulkan kepalan tangannya di dada Jimmy. “Auh! Kenapa kau memukulku?” Jimmy mengelus dadanya yang sakit.
“Habisnya kakak masih bisa tertawa dalam keadaan genting seperti ini.”
“Hey, santai saja. Kalau banyak pikiran malah cepat tua.” Jimmy tersenyum dan mengelus puncak kepala adiknya, hal yang selalu dilakukannya ketika bertemu dengan adiknya itu.
“Tuan muda.” Verdian menghampiri Alisa dan Jimmy yang sedang memuaskan rasa rindu mereka. Verdian mengangguk pelan sebagai tanda hormatnya. “Verdian. Sahabatku!” Jimmy dengan senyumnya yang mengembang merangkul Verdian dan menepukkan telapak tangannya ke punggung Verdian sebagai tanda persahabatan.
“Bagaimana kabarmu, Tuan?” mereka melepaskan pelukan itu dan mulai berjalan beriringan untuk mencapai vila di kaki gunung. “Seperti yang kau lihat. Aku sangat sehat hingga bisa meremukkan tulang rusuk singa buas.” Mereka bertiga tertawa bersama dalam gelapnya malam yang hanya diterangi oleh cahaya bulan.
*
“Tuan….” Virgo memasuki sebuah ruangan besar yang tak lain adalah aula persembahan. Di sana lah semua anggota persekutuan mengadakan pemujaan pada iblis yang dianggap mereka adalah Tuhannya. Seorang pria tinggi memakai jubah hitam berdiri di depan altar yang di hias oleh berbagai ornamen sekte itu.
Karpet merah terulur dari pintu sampai altar dengan obor-obor yang bercahaya di sisi kanan dan kiri karpet itu. Pria itu menengadahkan kedua tangannya ke atas seperti sedang berdoa. Virgo menundukkan kepalanya –memberi hormat kepada pemimpinnya—di tengah pintu. Setelah pria tadi menyadari keberadaan Virgo, ia berbalik menghadapnya.
Wajah pria itu tidak terlihat sepenuhnya hanya kilauan mata emasnya yang terkena sinar obor yang terlihat dengan jelas. “Kau datang terlalu cepat, Virgo!” laki-laki itu menurunkan kedua tangannya dan memandang Virgo dengan jengah.
“Maafkan saya, Tuanku. Rudolf tadi datang pada saya dan menyuruh saya untuk cepat-cepat menemui Tuan.” Virgo masih menundukkan kepalanya.
“Hah, sudah diam!” pria itu mengangkat tangan kanannya dan jarinya membentuk cekikan. Virgo yang ada di depannya tiba-tiba saja memegang lehernya dengan kedua tangan. Rintihan kecil keluar dari mulutnya. “Kau sudah mengganggu ritualku! Tapi sudahlah. Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu.” Pria itu menurunkan tangannya dan Virgo melepaskan kedua tangan dari lehernya yang kesakitan. “Sudah sejauh mana kau menghancurkan kehidupan keluarga Jonathan?” pria itu berjalan di atas karpet merah dan menyuruh Virgo untuk mengikutinya ke ruangan pribadinya.
“Duduklah!” Virgo duduk di atas kursi kayu. Sebuah meja kecil berbentuk bundar memisahkan jarak diantara mereka. Ruangan pribadi pemimpin sekte mereka tidak jauh berbeda dari ruangan-ruangan lain di dalam kastil yang tersembunyi ini. Beberapa peralatan antik terletak secara teratur di atas meja dan lemari, ditumpuk sedemikian rupa sehingga menyisakan sedikit tempat untuk mereka berbicara.
“Aku sudah membunuh Jonathan. Tapi aku belum sempat membunuh anaknya. Alisa maksudku.”
“Bodoh sekali kau!” pria itu mengibaskan tangan kanannya dan serentak Virgo jatuh terpental dari atas kursi.
“Maafkan aku, Tuan.” Virgo menyentuh dadanya yang masih kesakitan akibat tubuhnya terpental hingga menumbuk dinding di belakangnya.
“Kau itu memang anak buah yang tidak berguna!”
“Tuan, tolong beri aku kesempatan! Dia dijaga oleh seorang pria China yang sangat mahir bertarung. Saya menjadi sulit menjangkaunya. Apalagi setelah saya dikalahkan saya tidak mengetahui dimana keberadaannya sekarang.”
“Itu karena kau memberikan kesempatan baginya untuk lari. Apa sulitnya mengalahkan pengawalnya kalau kau punya kekuatan? Dan kau salah! Dia tidak hanya dijaga oleh seorang pria China , tapi ada satu lagi pengawal pribadinya. Namanya Felix. Dia adalah orang yang tidak sering berbicara, tapi ia adalah pria yang sangat kuat. Namun kau tak perlu khawatir. Felix bukanlah orang yang sulit dikalahkan. Kau harus berhati-hati dengan Verdian. Dialah kunci keselamatan Alisa dan dia adalah orang yang cerdas untuk bertempur.”
“Lantas saya harus bagaimana, Tuan?”
“Kau harus menekan perasaan mereka menjadi semakin takut. Mereka ada disebuah pegunungan di daerah perbatasan Kanada. Besok pagi mereka akan ke kota dan seranglah mereka. Aku akan menyuruh Rudolf untuk menemanimu.”
“Baik, Tuan.” Mereka berdua tersenyum senang.

4 Serangan

Malam sekali mereka bertiga baru tiba di halaman vila.  Bulan bersinar dengan cerahnya di atas langit ditemani dengan beribu bintang yang sangat menawan jika dilihat di halaman vila yang terbuka sehingga kita bisa melihat langit dengan leluasa. Alisa berjalan bergandengan tangan dengan Jimmy di sebelahnya. Tangan Jimmy dengan lembut melingkari punggung Alisa, sementara Verdian berjalan mengikuti dari belakang mereka.
“Ceritakan lagi lelucon itu, kak!” Alisa tersenyum memamerkan giginya yang putih cemerlang pada Jimmy yang sedari tadi menceritakan perjalanannya sampai bisa menemukan Alisa dan Verdian di hutan.
“Jadi, orang yang aku tumpangi di jalan mengira bahwa diriku adalah vampir. Aku tidak menyalahkan orang itu. Justru benar jika dia berpikir seperti itu. karena saat itu jam menunjukkan pukul 12 malam sementara aku masih saja berdiri di seberang jalan sambil mencoba mencari tumpangan. Bayangkan saja betapa ketakutannya laki-laki tua itu melihat tampangku yang compang camping setelah berkelahi melawan zombie.”
“Lalu, bagaimana kakak bisa mendapatkan jas ini?”
“Laki-laki itu yang memberikannya padaku. Dia seorang guru. Guru yang cerdas dan briliant. Dia akan mengajarimu untuk memfokuskan dan mengasah kemampuanmu melihat dimensi waktu orang.”
“Ngomong-ngomong soal kemampuanku itu. Beberapa hari ini aku tidak pernah mendapatkan gambaran apa pun dan mimpi-mimpi apa pun. Aku sempat mengira bahwa kemampuanku itu hilang.”
Jimmy berhenti berjalan begitupun Alisa dan Verdian yang sedari tadi berjalan di belakang mereka. “Alisa, tidak mungkin kemampuan yang kau dapatkan sejak lahir hilang begitu saja. Bahkan kata Leon mungkin saja kau memiliki kemampuan yang lain lagi.”
“Apa maksud kakak? Kakak sudah bertemu Leon?”
“Iya, sebelum aku ke hutan terlebih dahulu aku ke vila ini.”
“Pantas saja dari tadi kakak membawaku berjalan pulang tanpa bertanya dimana vila itu berada.”
“Tidak penting soal itu.” mereka melanjutkan perjalanan menuju ke vila. Halaman vila itu memang luas. Butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai pintu vila. “Leon bilang, saat dia memeriksamu karena kau terluka, dia menemukan satu titik dalam dirimu. Yang mungkin saja kau mewarisi kekuatan mama juga.”
“Pengendali tumbuhan maksud kakak?”
“Betul sekali.”
“Tunggu.” Alisa mencoba mengingat masa lalunya. “Aku pernah menyingkirkan daun-daun yang gugur di jalan hanya dengan mengusapkan tangan di atasnya.”
“Nah, pasti itu dia kekuatannya.”
“Benarkah?” Jimmy tersenyum kepada adiknya.
*
Jimmy membuka pintu dan seketika itu di depan mereka berdiri tiga orang laki-laki yang sedang berbicara dengan serius. Ketiga laki-laki itu serentak menghentikan percakapan mereka dan menoleh ke pintu bersamaan.
“Kalian baru tiba rupanya.” Leon berbicara terlebih dahulu dan ia menautkan kedua alisnya mencoba memfokuskan pandangannya pada suatu titik. “Nona, kau terluka?” Leon berjalan mendekat pada Alisa.
“Oh, Apa? Ak…. Aku tidak terluka.” Alisa memandang Leon dengan heran sementara Leon menyentuh dan mengangkat lengan Alisa dengan lembut. Ia menyentuh luka bekas cakaran di atas lengan kiri Alisa. “Auh! Sakit!”
“Tadi kau bilang kau tidak terluka. Ini buktinya.” Leon menunjukkan luka itu dengan telunjuknya.
“Iya, maaf. Aku tidak melihatnya. Kurasa sebelum kau mengatakannya aku bahkan tidak menyadari adanya luka itu.” Alisa mengangkat kedua pundaknya.
“Ini seperti bekas cakaran kuku hewan yang sangat tajam.” Leon memperhatikan luka itu dan segera menyuruh Alisa untuk duduk di kursi dan ia mencoba mengobati luka itu.
“Sebenarnya tadi kami sempat diserang oleh gerombolan srigala hutan.” Verdian mulai ikut andil dalam pembicaraan malam ini.
“Segerombolan srigala?” seorang pria tinggi berjubah merah dengan hiasan warna emas di kerah dan kancing bajunya membeokan kata-kata yang sama dengan yang diucapkan Verdian barusan. Mata hitamnya berkilat cemerlang. Rambut putihnya mulai menghilangkan sedikit kesan muda dalam dirinya namun bentuk tulang wajahnya masih segar dan menimbulkan kesan gagah. Rambutnya acak-acakan dan dipotong dengan seadanya.
Laki-laki itu tersadar bahwa Alisa sedari tadi tengah mengawasinya sementara Leon pergi ke dapur untuk mengambil seember air. Air adalah salah satu unsur untuk mempermudah kekuatan penyembuhnya. “Oh, iya. Aku belum mengenalkan namaku pada Nona Alisa. Namaku Abraham. Abraham Flamel.”
*
“Dia adalah laki-laki tua yang menolongku yang kuceritakan padamu tadi. Dan dia pula yang akan menjadi gurumu dalam mengasah kekuatanmu.” Jimmy bersandar pada dinding di dekat pintu sambil menaikkan kaki kirinya. Verdian berjalan mendekati Alisa dan dengan sayangnya mengelap keringat Alisa. Leon berlari sambil membawa seember penuh air bersih dan sebuah kompres.
“Dia tidak kelihatan tua. Bahkan dia masih terlihat gagah.” Ucap Alisa mengakui sementara Leon tengah merobek kaus di bagian lengan Alisa. “Hei, ini baju kesukaanku.” Leon tersenyum.
“Masih banyak baju bertarung seperti ini di dalam lemarimu.” Leon memeras kain dan menyekakannya ke lengan Alisa sementara Alisa mengeryit kesakitan.
“Sudah kuduga dia punya mata lebih jeli dibanding kau, Jimmy.” Jimmy hanya menyunggingkan senyum sarkatisnya pada Abraham. “Gadis manis, kurasa kau masih kurang memahami cara bertarung hingga membuat lenganmu sendiri terluka.”
“Pengalaman mengajarkan segalanya.” Verdian menjawab kata-kata Abraham tadi. Ia meletakkan pedangnya di atas meja dan berjalan ke dapur untuk mengambil minuman.
“Apa itu sakit?” Albert mulai berbicara setelah sekian lama berdiam diri. Alisa menoleh ke lukanya yang tengah dibasuh dengan air oleh Leon.
“Apakah ini terlihat parah?” Alisa balik bertanya pada kakak keduanya. Albert tersenyum, “Sangat parah sebenarnya.” Leon memulai pertunjukkannya. Ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas ember yang berisi air. Tiba-tiba air itu bergetar dan dengan lambat sedikit demi sedikit air itu naik ke permukaan dan membentuk sulur-sulur air di telapak tangan Leon. Gumpalan air bergerak tak beraturan di telapak tangan Leon. Kemudian Leon mendekatkan air itu ke luka Alisa.
Rasanya dingin dan bagai digelitik oleh serangga kecil. Setiap kali Leon menyembuhkan luka-luka Alisa, wanita itu selalu merasa ingin tertawa bukannya malah kesakitan. Alisa cekikikan menahan rasa geli pada lengannya.
“Apa itu lucu? Kau bukannya kesakitan malah tertawa cekikikan.” Abraham menautkan kedua alisnya sementara Jimmy memelototkan matanya melihat pertunjukkan itu, sedikit rasa terpukau mengalir dalam tatapannya.
“Ah, dia selalu begitu.” Albert menjawab dengan biasa. “Setiap kali ia terluka sehabis berlatih bersama Verdian, Leon yang selalu mengobati lukanya dan luka itu hanya meninggalkan guratan merah di atas kulitnya.” Albert menjelaskan dan bersandar pada kursi.
Telapak tangan Leon bergerak memutar di atas lengan Alisa dan gumpalan air itu mengikuti gerakan Leon. Sedikit demi sedikit luka yang menganga tadi menutup dengan perlahan menyisakan guratan merah di atas kulit lengan Alisa.
“Menakjubkan!” Jimmy berbisik di sebelah Alisa sementara pandangannya masih terpaku pada gumpalan air di telapak tangan Leon.
“Kakak….” Albert memanggil Jimmy untuk pertama kalinya setelah mereka pulang dari hutan.
“Apa?” Jimmy menoleh pada Albert dan duduk di sebelahnya.
“Sebenarnya kekuatanmu itu apa sih?”
“Aku? Aku bisa membidik lawan tepat pada bagian yang ingin kulukai.”
“Hah? Hanya begitu?”
“Eh, jangan meremehkan kekuatanku. Aku juga seorang ahli perang. Jika kekuatanku dilatih dengan baik aku bisa jadi Jendral perang yang gagah berani. Kekuatanku adalah fokus dan cermat.”
“Hah, apa kau bercanda? Lucu sekali.” Albert mencibir dan naik ke lantai atas sementara Jimmy memelototkan matanya ke arah Albert yang ngeloyor dengan seenaknya. Verdian kembali ke ruang tamu tidak lama setelah kepergian Albert.
Leon melepaskan telapak tangannya dari lengan Alisa yang sekarang sudah sembuh total. “Kau memang ajaib, Leon. Pasti banyak orang sakit yang tertolong dengan kekuatanmu itu.” Alisa mengawasi guratan merah pada lengan kirinya.
“Ya, dan orang akan mengira bahwa aku punya ilmu hitam.” Leon tertawa dan segera beranjak pergi. Setelah Leon pergi, Abraham yang sedari tadi berdiri kini duduk di kursi tengah. Verdian mendekati Alisa dan memberikan minuman untuknya. Alisa meneguknya sampai habis.
“Terima kasih, Ver. Aku sangat kehausan.”
“Maafkan aku. Seharusnya aku tidak membawamu ke sana. Aku akan lebih berhati-hati lagi.” Verdian menundukkan kepalanya.
Alisa menyentuh dagu Verdian dan mengangkatnya. “Aku tidak apa-apa. Sungguh.” Alisa menyunggingkan senyum pada Verdian.
“Tuan Jonathan telah berpesan padaku untuk menjagamu, tapi aku malah teledor begini. Membawamu ke tempat yang berbahaya. Maafkan aku. Aku sungguh bodoh.” Verdian menggelengkan kepalanya.
“Sudahlah. Berkat kau juga Alisa benar-benar bisa bertarung. Terima kasih, Verdian.” Jimmy menyunggingkan senyum yang sama pada Verdian. Rasa persahabatan ada di dalamnya.
“Aku masih tidak mengerti mengapa ini semua terjadi pada keluargaku?” Alisa menghembuskan napas lelah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Verdian masih kukuh duduk di sebelahnya sambil menyentuh tangan Alisa dengan lembut.
“Kebenaran pasti menunjukkan jalannya sendiri, Alisa. Kau harus belajar untuk mengerti, menerima dan menyelesaikan semua masalah yang ada. Pasti ada alasan mengapa Virgo melakukan ini semua. Sebuah kejahatan memiliki bahasa sendiri untuk pelakunya.”
“Kakak!” Alisa mendadak berdiri dari kursinya. “Bahkan kau masih bisa membela orang… maksudku iblis seperti Virgo? Aku tidak habis pikir. Apa ada orang yang mencuci otakmu itu hingga kau bisa membela penjahat seperti dia! Kau berbicara bagaikan kau mengerti saja apa alasan Virgo melakukan ini semua!” Alisa bergegas melewati ruang tamu dan menaiki tangga.
“Alisa!” Alisa berhenti di tengah tangga ketika Jimmy memanggil namanya. “Aku mengerti Alisa. Dan suatu saat nanti kau juga akan mengerti.”
*
“Hai, selamat pagi.” Alisa mengangguk kepada Leon yang berjalan ke dapur. Pagi ini Alisa turun dari lantai dua mengenakan celana jins ketat kesukaannya dan tank top warna putih yang dibalut dengan sweater warna biru muda. Alisa menurunkan penutup kepala sweater itu, ia lantas duduk di atas anak tangga terakhir. Alisa menyangga kepalanya dengan kedua tangan, ia melihat Albert yang tengah asyik membaca sebuah buku tebal, sementara Jimmy duduk di seberang Albert dengan majalah fashion lusuh yang sudah ketinggalan zaman. Ia tak melihat batang hidung Verdian, Felix dan Abraham. Hei, kemana perginya Felix? Ia teringat akan satu hal. Sedari kemarin malam ia tidak melihat Felix sama sekali. Sementara Abraham, ia yakin betul bahwa Abraham menginap di villa ini karena Abraham mulai kemarin malam sudah resmi menjadi gurunya.
“Hello, kemana Felix?” Leon –yang sedang mencari sesuatu dalam kulkas—dan kedua kakaknya –yang sedang asyik membaca—mengangkat kepalanya dari aktivitas mereka masing-masing. Saking kagetnya kepala Leon sampai terantuk pada kulkas. “Aku baru ingat bahwa sejak kemarin aku tidak melihatnya sama sekali.
“Kurasa dia sedang berbicara dengan Verdian dan Abraham di perpustakaan.” Leon mengangkat kedua pundaknya dan melanjutkan aktivitasnya berikut juga kedua kakaknya. “Tuan-tuan dan Nona. Kurasa kita punya masalah.” Leon mengangkat wajahnya dan memandang Alisa, Jimmy dan Albert secara bergantian.
“Apa?” tanya mereka bertiga serempak.
“Kita tidak punya bahan makanan sama sekali. Yang tersisa hanya bawang bombay dan selada.” Leon menunjukkan kedua jenis sayuran itu dari konter dapur. Ruangan itu memang sangat sederhana. Ruang tamu dan dapur hanya dipisahkan oleh sebuah sekat yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Sementara ruang perpustakaan kecil ada di lorong dekat dapur. Semua kamar berada di lantai dua.
“Lalu bagaimana kita akan makan?” Albert mulai mengeluarkan nada frustasi.
“Aku juga tidak membawa uang sama sekali. Aku kabur dari rumah dengan keadaan seadanya.” Jimmy memeriksa kantong celananya yang jelas-jelas kosong.
“Hei, ada apa ini?” Verdian muncul dari lorong dekat dapur bersama dengan Abraham dan Felix yang tinggi besar berada di belakang mereka.
“Kita akan mati kelaparan!” Leon berucap dengan frustasi.
“Hei, hei, hei. Sudahlah. Tenang semuanya. Apa gunanya Alisa ada di sini kalau kita tidak bisa makan.” Dengan tersenyum jahil Alisa mengeluarkan kartu kredit dari balik saku celananya. Albert, Jimmy dan Leon berbinar-binar senang.
“Yuhuuu, kita belanja!” Albert dan Jimmy berucap serentak.
*
“Kau yakin kau tidak ingin membeli ini?” Albert menunjukk setumpuk keju di sebuah rak. “Aku ingin, tapi apa boleh?” Alisa menjawab sambil berharap. “Tentu saja boleh.” Jimmy tersenyum dan mengambil dua bungkus besar keju untuk adiknya. “Asyik!” Alisa melompat-lompat kegirangan saking senangnya.
Mereka semua pergi berbelanja kecuali Leon yang ngotot ingin tetap menjaga villa. “Kita harus membawakan bahan apa saja untuk Leon?” Alisa mendorong kereta belanja yang kemudian Verdian datang untuk membantunya.
“Di catatannya dia membutuhkan sayur mayur.” Albert membaca catatan kecil yang dituliskan oleh Leon berisi semua bahan yang mereka perlukan untuk memasak.
“Ayo, bacakan! Biar aku yang mengambilnya.”
“Bawang putih, bawang merah, wortel, tomat, bayam, daun basil, paprika hijau dan merah. Buahnya dia butuh apel, jeruk, markisa, pepaya, pisang. Dia juga butuh roti, selai, mentega, sirup, susu coklat cair dan bubuk, serta merica. Dia juga butuh daging sapi dan tuna.” Alisa dan Jimmy berlari ke sana kemari untuk mengambil semua bahan yang disebutkan Albert tadi.
“Dia mau masak atau buka restoran sih?” Jimmy menggerutu sambil membawa sisa bahan terakhir. “Sudahlah, kak. Ini juga untuk kita, kan?” Alisa mengelus punggung Jimmy yang lebih tinggi darinya.
Mereka berempat berjalan menuju kasir yang sudah sepi pengunjung. “Kau yakin kartu kreditmu masih aktif?” Albert berbisik pada Alisa. “Tenang saja. Tidak mungkin uangku yang jumlahnya 10 juta dolar di dalamnya akan hilang begitu saja.”
Alisa memberikan kartu ATMnya kepada penjaga kasir. Saat wanita itu mengecek isi uang Alisa, ia tampak terkejut namun ekspresi itu cepat-cepat ia rubah agar pembeli tidak merasa tersinggung. Mungkin ia heran, mengapa Alisa memiliki uang begitu banyak dan mungkin ia mengira bahwa Alisa adalah pencuri. Tapi Alisa tidak peduli terhadap wanita penjaga kasir itu.
Setelah membayar belanjaan, Verdian dan Jimmy membawa empat bungkus besar belanjaan tadi menuju bagasi mobil. Sementara Alisa dan Albert berjalan ke sebuah pedangang kaki lima yang berjualan koran dan majalah di dekat supermarket tadi.
Alisa tersentak kaget saat pandangannya tertuju pada salah satu koran terkemuka di Kanada. Ia mengambil koran itu dan cepat-cepat membayarnya lalu menyeret Albert masuk ke mobil.
Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Felix cepat-cepat menancap gas dan melajukan mobil kembali ke villa. Verdian dan Jimmy duduk di kursi paling belakang dalam mobil. Pandangan keduanya menuju ke arah jalanan. “Ada apa? Mengapa kau menarikku seperti tadi?” Albert bertanya dengan kesal pada Alisa yang kemudian menunjukkan koran itu padanya.
Headline News
Selasa, 30 April 2012


Setelah kejadian tiga hari lalu yang cukup menggeparkan seluruh penduduk Amerika khususnya kota New York, ketiga anak dari Steven Jonathan masih juga belum diketahui keberadaannya. Penyebab hancurnya kediaman keluarga Jonathan juga masih dalam penyelidikan. Diduga kuat kecelakaan yang menyebabkan hampir seluruh bagian rumah itu hancur disebabkan oleh meledaknya pipa gas yang berada di ruang bawah tanah di rumah itu.
Seluruh anggota kediaman itu tewas di tempat dengan tubuh penuh luka yang masih tidak dapat diketahui penyebabnya. Apakah karena ledakan yang begitu besar ataukah luka sayatan terkena benda tajam? Sampai kini semua itu masih menjadi misteri.
Mayat Tuan Jonathan ditemukan hangus terbakar di ruang kerjanya yang berantakan. Sementara polisi yang melakukan pemeriksaan tidak menemukan satupun mayat putra ataupun putri Tuan Jonathan. Diduga mereka bertiga berhasil selamat dalam kejadian ini. Lalu kemanakah ketiga putra dan juga putrinya? Kemana mereka hingga kini? Keberadaan mereka pun masih menjadi misteri. Bila ada yang mengetahui keberadaan Nona Elizabeth Jonathan, Jimmy Jonathan, dan Albert Jonathan dapat menghubungi kantor polisi terdekat. Karena kesaksian mereka bertiga sangat dibutuhkan.





Alisa menangis setelah membaca koran tadi, dengan perasaan tertekan ia mengenang semua kenangan yang tersisa tentang papanya yang sudah meninggal. “Papa….” Ucapnya lirih sambil terus menahan air mata yang ingin menitik keluar. Albert menyentuhkan tangannya ke pundak Alisa. “Kakak, kita harus kembali. Yah, kita harus kembali. Agar polisi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ayo, kita harus kembali!” Alisa menjerit dan menarik-narik lengan Albert. Felix melirikkan pandangan sedihnya dari balik spion mobil. Walaupun dia adalah orang yang jarang berbicara, tapi ia adalah orang yang selalu mudah tersentuh hatinya.
“Adik! Sudah. Sudah! Kita tidak mungkin pulang. Tidak untuk saat ini. Apa kau sudah gila? Mana mungkin polisi akan percaya dengan semua hal yang terjadi pada keluarga kita. Bahkan mungkin polisi akan memasukkan kita ke rumah sakit jiwa.” Jimmy berkata dari jok belakang mobil, sementara Verdian kini tengah membaca koran tadi. Albert terus menenangkan Alisa dengan memeluknya.
“Semuanya akan baik-baik saja, adik. Kau harus tenang. Sudah, jangan bersedih lagi!” Albert dengan sayang mengelus punggung Alisa yang berguncang akibat tangis yang semakin keras.
“Kau harus berhenti menangis atau kita semua akan mati!” Abraham mengeluarkan suara untuk yang pertama kalinya di dalam mobil. “Apa maksudmu?” kini Verdian ikut ambil bagian dalam pembicaraan ini.
“Kurasa ada gengsters yang menghadang kita di depan sana!” Abraham mengangkat telunjuknya dan mengarahkannya ke depan di balik kaca mobil. Alisa berhenti menangis dan memandang sekumpulan orang dengan pakaian serba hitam menghalangi jalan mereka.
Kini mereka ada di sebuah jalan raya yang jarang sekali dilewati oleh kendaraan karena jalan ini adalah jalan menuju perkampungan di kaki gunung. Di sebelah kanan dan kiri jalan terdapat hutan tropis yang lebat. Hari sudah sore kala itu dan bulan akan muncul beberapa menit lagi. 
“Apa yang sedang mereka lakukan?” Albert memandang kelompok itu dengan tajam. “Apa lagi? Tentu saja mereka sedang menghadang kita.” Jimmy sudah mengeluarkan pistol besarnya dari balik jasnya. Verdian ikut memandang keluar dan meletakkan majalah tadi.
Abraham dan Felix membuka pintu mobil dan berjalan keluar maju sampai ke depan mobil. Rambut Abraham yang mulai memutih terlihat keperakan di tengah cahaya yang mulai redup. Tubuh Felix yang sangat besar menghalangi pandangan Alisa dari dalam mobil. Seorang pemuda yang memakai aksesoris khas gangster maju selangkah ke depan, ia tersenyum sinis kepada Abraham dan Felix. Laki-laki itu berkulit putih, berambut hitam, memakai boot dan setelan hitam juga aksesoris rantai pada sekitar sabuknya.
“Maaf anak muda, kau menghalangi jalan kami. Bisa kau minggir sebentar?” Abraham meminta pengertian orang-orang itu. “Maaf pak tua, aku dan teman-temanku tidak akan pernah pergi dari sini.” Ucap pemuda itu tajam.
Alisa, Verdian dan kedua kakaknya turun dari mobil. Jimmy sudah memegang pistol di tangannya. Sementara Albert memegang busur panah di tangannya. Alisa dan Verdian mengambil pedang mereka masing-masing.
“Apa yang kalian inginkan dari kami?” teriak Jimmy.
“Tentu saja. Kematian kalian semua.” Gerombolan itu maju berlari menghampiri Alisa dan teman-temannya. Alisa dan Verdian saling berpandangan lalu mengangguk satu sama lain. Mereka lantas mengeluarkan pedang dari sarung masing-masing.
Albert dengan cepat menembakkan panahnya dan panah itu dengan tepat mengenai sasaran. Seorang laki-laki berambut jabrik dengan setelan hitam menghantam Felix –yang sudah siap menerima pukulan—di depannya. Felix –tanpa merasa berat—langsung mengangkat orang tadi dan membantingnya jatuh di atas tanah, dalam sekejap saja orang itu langsung mati di tempat.
Di sisi lain, Jimmy menembakkan peluru secara bertubi-tubi, namun dengan tepat semua peluru itu mengenai sasaran. Jumlah gangster itu bertambah banyak, dengan tenang Jimmy merogoh saku jasnya dan mengeluarkan satu pistol lagi dari sana. Dengan kedua tangan ia mengangkat pistol dan menarik pelatuknya. Dengan waktu yang bersamaan pistol itu meluncurkan peluru yang mengenai kepala anggota gangster, tanpa diduga kepala mereka terbakar dilahap oleh api. Mereka bergerak ke kiri dan kanan. Memukul kepala mereka dengan tangan namun api itu tidak juga padam lantas mereka mati begitu saja.
Verdian menghabisi nyawa 5 orang anggota gangster dengan menusukkan pedangnya tepat di jantung lawan. Seorang pria maju mengeram pada Verdian dan dengan beringas Verdian terlibat perkelahian dengan pria itu. Verdian menusukkan sebuah pisau kecil yang biasanya ia selipkan di sabuknya ke kaki kiri pria itu. Laki-laki itu menjerit keras dan Verdian menusukkan pedangnya ke perut lawannya.
Sementara itu Abraham berkelahi dengan beberapa orang dengan gerakan yang sangat gesit. Walau ia tidak membawa satu pun senjata ia bias melumpuhkan beberapa lawan dengan pukulannya. Ia memukulkan kepalan tangannya ke kiri dan kanan. Salah satu pria berambut cepak terkena pukulan di bagian pelipisnya dan ia pun terjatuh ke atas tanah kehilangan kesadaran.
Di sisi jalan yang lain Alisa tengah menghadapi 10 orang anggota gengsters. Alisa mengayunkan pedangnya ke kiri dan kanan mengiris kulit di bawah baju gangsters itu. Dengan gesitnya, salah satu pria maju dan menendang punggung Alisa hingga terjungkal ke depan, namun dengan menggunakan ujung pedangnya Alisa menahan tubuhnya agar tidak sampai jatuh ke atas tanah. Ia berbalik dan dengan tepat ia mengiris leher seorang pemuda dengan pedangnya.
Pemimpin gengsters tadi berjalan menghampiri Jimmy yang tengah berkelahi dengan salah satu laki-laki akibat peluru dalam pistolnya habis. Jimmy memutar tubuh pemuda itu hingga membelakangi dirinya, lalu ia memegang kepala pemuda itu dengan kedua tangan dan memutarnya hingga orang tadi mati. Jimmy mengangkat kepalanya dan memandang pemimpin gangster yang tengah menghampiri dirinya. “Rudolf….” bisik Jimmy dan ia menjatuhkan mayat pria yang barusan dibunuh olehnya.
Laki-laki yang bernama Rudolf itu berjalan semakin cepat hingga gerakannya tak begitu terlihat. Tiba-tiba saja ia sudah berada di depan Jimmy dan melayangkan tinjunya ke muka Jimmy. Namun Jimmy lebih cepat bergerak untuk menghindari pukulan yang meleset tadi.
“Tak kusangka. Kau masih mengingatku dengan baik.” Rudolf tersenyum menyeringai. Ia berjalan memutari Jimmy yang sudah memasang kuda-kudanya. “Mana mungkin aku melupakan seorang penghianat dan penyesat seperti dirimu itu. Karena dirimulah Virgo menjadi seperti sekarang dan karena dirimulah bencana ini datang.” Jimmy memandang tajam tepat di mata Rudolf.
“Aku terkesan dengan pujianmu. Namun, aku lebih berhasrat untuk membunuhmu. Terima ini! Hiaaa….” Dengan cepat Rudolf melayangkan tinjunya yang tepat mengenai telapak tangan Jimmy. Sedetik lalu Rudolf tampak terkejut namun sekarang ia tertawa dan menendang lutut Jimmy.
Jimmy melepaskan tangannya dan terdorong mundur akibat tendangan tadi. Ia melangkah ke depan dan mengayunkan tangannya ke kiri dan kanan. Salah satu pukulannya berhasil mengenai tulang pelipis Rudolf. Jimmy kembali memukul tulang rusuk Rudolf. Pria itu mengeryit kesakitan bagai seekor singa yang penuh amarah. Rudolf mencakar pipi kanan Jimmy. Dengan geram Jimmy menendangkan kakinya ke atas hingga mengenai leher Rudolf. Ia pun jatuh ke tanah tanpa perlawanan. Jimmy mengeluarkan pisau kecil dari saku celananya dan menembak kepala Rudolf hingga hancur. “Iblis!”
Albert yang mulai kehabisan anak panah langsung membanting busurnya di atas tanah. Ia memejamkan matanya sementara kumpulan gangster berdiri di depannya sambil membawa benda-benda tajam. Seorang laki-laki berwajah pucat dengan tulang pipi yang tinggi maju sambil mengacungkan sebuah kapak. Saat ia ingin memukulkan kapak itu Albert membuka mata dan mengangkat tangan kirinya, lalu dengan tiba-tiba sebuah kekuatan mementalkan laki-laki tadi hingga jauh ke depan dan jatuh menumbuk sebuah batang pohon yang besar.
Verdian yang bertarung di sebelah Albert memandang takjub pada Tuannya. Ia tak pernah melihat kekuatan penghancur sedasyat itu. Apalagi selama ini Albert belum pernah diajarkan secara eksklusif, bahkan ia juga belum mempunyai seorang guru. Satu persatu sisa gangster yang ada di depan Albert ia lumpuhkan dengan kekuatannya. Mereka terpental ke depan bagai kerikil yang terlompat dari ketapel dan mati seketika itu juga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews

Poll

Followers

About Me

Foto saya
Hai, aku Aulia Eka Putri Purnama. bisa dipanggil Al. duduk di kelas XI-MM di SMKN 1 Tuban. :))