M E N T A R I
Matahari berkilau keemasaan di antara gugusan langit biru.
Gumpalan awan putih berkumpul jadi satu membentuk sebuah salam penyapa. Seolah
berucap ‘selamat pagi dunia!’, namun Mentari tahu itu hal yang mustahil. Ia
tersenyum sambil terus berjalan menuju kelasnya. Beberapa anak yang baik hati
dan segan padanya berhenti untuk sekedar menyapa. Mentari mengangguk dan
tersenyum senang. Ia membawa beberapa buku di tangan kirinya yang selalu ia
percaya.
Tuhan itu adil, saat kita lemah pasti ada kekuatan tersembunyi
yang ada pada diri kita, maka dari itu percayai dirimu sendiri agar kau tak
pernah merasa kekurangan. Selalu ada hal yang lebih dalam dirimu. Karena setiap
orang itu berbeda-beda. Ia percaya di balik sebuah musibah selalu ada hal
terindah pada akhirnya.
Mentari menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai lantai dua di
sekolahnya. Walau dengan keadaan fisiknya yang tidak sempurna, ia berhasil
masuk ke sekolah normal dengan prestasi yang membanggakan. Hingga saat ini ia
sudah duduk di kelas 10 SMA Nusantara di daerah Jakarta Barat.
Di undakan tangga yang terakhir, tak sengaja ia bertabrakan dengan
seseorang hingga buku yang dipegangnya jatuh berserakan di atas lantai. “Maaf.
Maafkan aku. Aku tidak sengaja.” Mentari mengambil beberapa buku yang jatuh di
atas lantai dan dibantu oleh orang yang menabraknya. “Tidak apa-apa kok.”
Mentari mencoba melihat wajah orang misterius itu, namun ia terhalang oleh
ujung jilbabnya yang menghalangi pandangannya. Sejauh ini ia belum berhasil
menebak siapa pemilik suara sopran ini.
“Nah, ini bukumu yang terakhir.” Si pria di depan Mentari bangkit
berdiri setelah menyerahkan buku terakhir ke tangan Mentari. Mentari ikut
berdiri dan sekarang ia berhasil bertatapan langsung dengan pria misterius itu.
“Hai. Aku Johan.” Si pria tersenyum dengan sopan sambil mengulurkan tangannya.
Mentari hanya bisa menghela napas dan menyesal karena tak bisa menyambut tangan
itu. Tangan kirinya sudah penuh dengan tumpukan buku. Si pria berambut cepak
itu mulai mengerti dan menurunkan tangannya. “Rupanya kau adik kelasku, ya?”
“Kurasa begitu, kak.” Mentari mengangguk dengan sopan dan Johan
membalasnya dengan senyuman. “Baiklah. Aku rasa kita sama-sama terburu-buru.
Jadi maafkan aku atas kejadian tadi.” Mentari hanya tersenyum menjawab
pernyataan Johan.
“Maaf, kak, aku harus pergi sekarang.” Johan tersenyum. “Baiklah,
sampai jumpa lagi.” Mentari mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan Johan di
tempatnya berdiri.
Ketika Johan akan melangkahkan kaki untuk pergi, tak sengaja ia
menginjak selembar kertas di atas lantai. “Lho, ini kan kertas cewek itu.”
Johan menggaruk kepalanya dan hendak memanggil Mentari, namun gadis itu sudah
berbelok ke kelasnya. “Ya, sudah lah. Nanti saja kuberikan padanya.”
**
“Heh, Nadin. Masih aja lo mau deket-deket cewek cacat gitu? Nggak
malu apa yak?” Fero mendengus kesal melihat Nadin teman lamanya yang kini lebih
dekat dengan Mentari. Mentari yang duduk di sebelah Nadin hanya bisa tertunduk
dengan sedih.
Nadin yang merasa terusik langsung bangkit dari tempat duduk dan
menggebrak meja kelas dengan kasar. “Fero, jaga kata-katamu! Kamu nggak punya
perasaan banget sih? Kenapa kamu selalu saja membuli Mentari. Dia punya salah
apa sama kamu?”
Fero melengos dan tertawa dengan dibuat-buat. “Salah apa? Hidupnya
aja udah salah. Pakai acara masuk-masuk ke sekolah elit kayak sekolah kita
gini. Dia itu Cuma buat malu sekolahan tahu, nggak?” Fero tertawa
terbahak-bahak bersama kedua teman wanita di belakangnya.
“Kamu benar-benar keterlaluan ya, Fer.” Nadin menjambak rambut
Fero dengan kasar. “Auh! Lepaskan! Lepaskan! Kau tidak tahu siapa aku, ya?”
“Kamu itu cuma seorang pembuat onar di sekolah ini.” kedua wanita
di belakang Fero langsung membantu Fero untuk melepaskan rambutnya dari tangan
Nadin.
“Nadin, udahlah. Jangan menambah masalah! Biarkan mereka pergi.”
“Tapi, Men.” Mentari memegang tangan Nadin dan mencoba memberinya
pengertian. Dengan kasar Nadin melepaskan rambut Fero. Ia mengedikkan bahunya
dan mengibaskan tangannya dengan jijik. “Hihh, rambut mak lampir.” Nadin
mengelap tangannya dengan menggunakan roknya. “Awas lo, ya! Tunggu aja! Bakal
gue bales ini semua.” Fero mengacungkan jarinya dan beranjak pergi diikuti
kedua dayang setianya. “Lakukan saja, Fer! Gue nggak pernah takut sama ancaman lo!”
Teriak Nadin dari dalam kelas.
“Sudah. Sudah. Jangan kamu ladeni dia terus. Bisa-bisa kamu bakal
benar-benar dikerjain sama dia.”
“Gue nggak peduli, Men. Gue tahu seperti apa dia. Cuma anak manja
yang nggak bisa bersimpati sama orang lain.” Dengan kesal Nadin kembali duduk
di atas kursi sambil memanyunkan bibirnya. “Kenapa sih kamu nggak baikan lagi
sama dia?”
“Nggak. Dia itu nggak pernah bisa berubah.”
“Tapi kalian berdua kan sahabat. Sebagai sahabat seharusnya kamu
bisa kasih support supaya dia mau berubah.” Nadin memandang Mentari. “Dia nggak
mau berubah, Mentari. Aku bersahabat sama dia udah bertahun-tahun lamanya. Tapi
dia nggak mau berubah dan nggak bisa berubah.”
“Kata siapa nggak bisa? Bisa kok. Setiap manusia pasti bisa jadi
lebih baik dari sebelumnya. Kamu harus bisa kasih dia semangat untuk berubah.
Dia pasti bisa kok, Nad. Asal dia percaya pada diri sendiri saja.” Nadin
tersenyum dan memegang pundak Mentari. “Aku tak tahu hatimu terbuat dari apa,
tapi kamu adalah teman yang baik, Mentari. Hal itulah yang masih belum bisa ia
lihat dari dirimu. Terima kasih, teman.” Mentari tersenyum dan melanjutkan
kegiatannya untuk membuat sebuah sketsa.
**
“Hei, Johan.” Riko berlari menghampiri Johan yang sedang berjalan
keluar gerbang sekolah untuk pulang. “Hei, what’s up bro?” Mereka saling
bersalaman dan merangkul punggung satu sama lain. “Mau kemana lo?” Tanya Riko.
“Ya mau pulang lah. Emangnya mau kemana lagi?”
“Ohh, lo tahu nggak. Ada lomba lukis yang bakal di selenggarain
bulan ini.”
“Serius lo? Kapan?”
“Gue nggak tahu kapan tepatnya, tapi yang jelas bulan ini. Nah,
berhubung gue punya temen berbakat seperti lo. Makanya gue belain capai-capai
buat kejar lo and ngasih tahu soal ini ke lo.” Johan tampak berpikir untuk
beberapa saat hingga Riko mengagetkannya. “Gimana? Lo mau ikut kan?”
“Nggak tahu deh. Gue pikir-pikir dulu, ya?” Johan melihat jam
tangannya dan segera berpamitan pada Riko. “Gue pergi dulu ya. Udah telat nih.”
Johan menepuk punggung Riko dan segera pergi meninggalkannya.
“Aneh banget anak itu. Tumben-tumbenan dia nggak langsung nerima
tawaran gue. Biasanya langsung semangat kalau ada lomba macam gini.” Riko
menggaruk kepalanya. “Tauk ah.”
Setelah tiba di rumah Johan segera masuk ke dalam kamarnya dan
membuka tas punggungnya. Ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas dan
mulai mengamati lukisan dalam kertas itu. Lukisan yang begitu artistik dan
anggun. Pikirnya dalam hati. “Gimana kalau cewek tadi aja yang ikut lomba itu, ya?”
Johan tersenyum dan menjentikkan jarinya.
**
“MENTARI!” Nadin berteriak dari lantai satu hingga terdengar ke
seluruh penjuru sekolah. Mentari menghantikan langkah kakinya ketika akan
menginjak anak tangga berikutnya. Ia mengernyit sedikit mendengar teriakan
Nadin yang cempreng.
“Ada apa, Nadin?” Nadin tersenyum lebar dan langsung berlari
menaiki tangga untuk menyusul Mentari. Setelah kedua sahabat itu bertatap muka,
Nadin langsung memeluk Mentari di depannya. Dengan kaget Mentari hanya bisa
terdiam dan membalas pelukan Nadin.
“Kamu menang, Mentari.” Mentari mengernyitkan dahinya dan
menggaruk kepalanya yang di tuupi oleh kerudung putih. “Menang apa sih?”
Seketika itu juga wajah Nadin yang sebelumnya berseri-seri kini jadi lemas.
“Maksudmu?” Nadin balik bertanya.
“Yah, apa yang maksudmu?”
“Ah, mbulet nih. Kamu nggak tahu kalau kamu menang lomba lukis
antar sekolah di seluruh Jakarta.”
“Heh? Lomba apa sih? Aku nggak ngerti deh maksudmu itu apa.”
“Aduh, Mentari. Jadi kamu nggak tahu kalau kamu menang lomba
lukis.”
“Gimana mau tahu sedangkan aku nggak pernah ikut lomba.”
“Come on, Mentari. Ini baca nih surat. Dari wali kelas kita tuh.”
Nadin menyerahkan sebuah amplop surat kepada Mentari. Mentari menerimanya dan
segera membaca apa isi surat itu.
Ingin rasanya ia pingsan di tempat setelah membaca surat itu. “Aku
nggak pernah ikut lomba. Apalagi mengirimkan lukisanku untuk mengikuti sebuah
perlombaan.”
“Lalu?”
“Mungkin panitia penyelenggara lomba salah mengirim surat.”
“Tapi itu namamu Mentari. Lihat dan baca! Mentari Letisya Zahira.
Mana mungkin panitia lomba salah nama dan salah alamat waktu mengirim tuh
surat.”
“Tapi si…”
“Hai, Mentari.” Johan berdiri di dekat mereka berdua dengan tangan
yang dimasukkan ke dalam saku celana. “Aku yang mengirim lukisanmu untuk
mengikuti lomba itu.”
“Bagaimana bisa?” Johan duduk di sebelah Mentari sambil menautkan
kedua tangannya di atas lutut. “Waktu kita bertabrakan kau menjatuhkannya. Aku
menemukannya dan kukira kau pantas mengikuti lomba ini. Hasilnya, lihat saja!
Kau berhasil jadi juara satu dan mengharumkan nama sekolah.”
“Johan.” Mentari tak kuasa menahan haru hingga ia menangis
bahagia. Ia mampu menunjukkan bahwa perkataan orang lain selama ini salah besar
terhadapnya. Ia tidak lemah. Ia berguna. Dan ia mampu mengharumkan nama
sekolahnya dan membuat bangga semua orang terutama kedua orang tuanya. Memang
ia tidak punya tangan kanan, tapi masih ada tangan kiri yang selalu jadi
pelengkap hidupnya, menjadi tumpuannya dalam berkarya. Ia mampu membuktikan
bahwa keadaan fisik yang tidak sempurna bukan penghalang baginya untuk
berkarya. Nadin memeluk Mentari dengan bahagia. “Terima kasih, Johan.” Johan
tersenyum dan mengangguk. Ia ikut bahagia untuk Mentari.
Tak berapa lama setelah mereka bertiga berbincang-bincang bersama,
mereka mendengar sebuah teriakan dari seorang gadis di lantai bawah.
Cepat-cepat mereka turun dari undakan tangga dan melihat Fero yang menjerit
sambil ditarik dua orang polisi.
“Saya tidak bersalah, pak. Saya bukan pengedar narkoba. Ini semua
fitnah, pak.” Si polisi tetap menarik paksa walaupun Fero berteriak-teriak tak
karuan. “Semua bukti sudah otentik dan anda tidak bisa mengelak lagi. Sekarang
ikut kami ke kantor polisi.” Fero hanya bisa menggerak-gerakkan tubuhnya dengan
putus asa karena perlawanan seperti apapun tak dapat membuat kedua polisi itu
merubah pikirannya.
Fero melotot marah saat melewati Mentari, Johan, dan Nadin. Mentari hanya bisa membalas tatapannya dengan
sedih. Tak bisa ia pungkiri bahwa ia ikut sedih dan nelangsa saat melihat teman
sekelasnya harus berurusan dengan polisi. Walau bagaimanapun sikap Fero
kepadanya selama ini, hal itu tak bisa membuat Mentari untuk membencinya.
Kedua orang tua Fero mengikuti di belakang. Mamanya menangis
sesenggukan sambil dirangkul suaminya. “Dia pantas mendapatkannya.” Nadin
berucap. “Nadin, kau tidak boleh seperti itu.”
“Apa gunanya mengasihani orang seperti dia? Dia hanya peduli pada
dirinya sendiri. Yang penting sekarang kamu bisa menunjukkan siapa yang
mengharumkan nama sekolah dan siapa yang membuat kebusukan di dalam sekolah.”
“Dia tetap teman kita. Walau bagaimanapun sifatnya kepada kita.
Walau bagaimanapun perlakuannya ia tetap teman kita.” Joha memegang pundak
Mentari. “Kau mau memaafkannya?” Mentari tersenyum dan menjawab, “Apapun itu.
Aku sudah memaafkannya.”
By: Aulia Eka Putri Purnama
XI-MM
