Rabu, 20 Juni 2012

Arti Cinta Sesungguhnya part 2


ARTI CINTA SESUNGGUHNYA
PART 2


                Tak terasa setahun sudah Arya pergi dari hidup Nadia dan sudah setahun pula Nadia kuliah di Jurusan Pertanian di UGM. Minggu depan ia sudah libur akhir semester dan ia berencana untuk berlibur ke Jakarta tepatnya pulang ke kampung halamannya.
                Sore ini ia sangat terburu-buru bangun dari tidur siangnya karena ia harus mengurus beberapa proposal sekolah. Dengan secepat kilat ia bergegas ke kamar mandi untuk mandi lalu ia segera turun dari kamarnya menuju lantai satu untuk berpamitan pada tantenya yaitu tante Risma. Maklum, di Yogyakarta ia memang tinggal di rumah tantenya.
                “Sore, tante.” Sapanya pada tante Risma sambil menuruni anak tangga.
                “Sore, sayang. Udah bangun kamu? Nggak makan dulu? Tadi kan kamu belum sempat makan siang?” tanya tantenya dari balik sofa dekat ruang keluarga.
                “Nggak usah tante. Nadia makan di kampus aja. Entar Nadia telat lagi.” Nadia lalu masuk ke dapur dan mengambil dua helai roti lalu cepat-cepat ia masukkan ke dalam mulutnya.
                “Lho, bukannya kamu udah selesai ulangan semester? Emang ada apa lagi di kampus?”
                “Ada urusan organisasi yang harus Nadia kerjakan tante.” Jawabnya samar-samar karena mulutnya penuh dengan roti karena itu Nadiapun tersedak. “Uhuk…. Uhuk.” Ia menepuk-nepuk dadanya dengan telapak tangannya. Cepat-cepat ia minum air yang ada di sampingnya.
                “Kamu tuh ya, kalau makan jangan ngomong dulu. Gitu kan akibatnya.”
                “Hehehe. Ya udah. Aku pergi ke kampus dulu ya, tan. Nanti Oliv, biar aku aja yang jemput. Aku pulang jam 5 sore kok. Jadi bisalah mampir dulu ke tempat les Oliv.” Oliv adalah anak dari tante Risma yang tak lain juga sepupu Nadia.
                “Ya, sudah. Makasih ya, Nad.”
                “Sama-sama, tante.” Nadia pun berpamitan dan mencium tangan tantenya. “Assalammualaikum.”
                “Wa’alaikum salam. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut!” Peringat tantenya.
                “Ya, tante.” Teriak Nadia dari luar rumah.
                Nadia mengambil mobilnya yang berwarna biru di garasi rumah. Kemudian ia langsung tancap gas menuju kampusnya. Kurang dari setengah jam lagi rapat akan dimulai, kalau dia tidak cepat-cepat berangkat maka bisa-bisa Nadia telat datang. Dalam perjalannannya yang lumayan jauh tiba-tiba bayangan Arya datang menghampiri. Dalam hati ia bertanya, “Kenapa ya Allah bayangan itu selalu datang disaat yang tidak tepat seperti ini? Aku harus konsen mengemudi. Tapi walau bagaimanapun aku memang merindukannya. Apa dia disana juga merindukanku?” dengan sebal Nadia menekan tombol on pada mp3 player di mobilnya. Lagu Rindu dari Kerispatih pun mengalun dengan merdu….

                Bintang malam katakan padanya
                Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
                Embun pagi katakan padanya
                Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya
                Bintang malam sampaikan padanya
                Aku ingin melukis sinarmu dihatinya
                Embun pagi katakan padanya
                Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya
                Taukah engkau wahai langit
                Aku ingin bertemu membelai wajahnya
                Kan kupasang hiasan angkasa yang terindah hanya untuk dirinya
                Lagu rindu ini kuciptakan hanya untuk bidadari hatiku tercinta
                Walau hanya nada sederhana
                Izinkanku ungkap segenap rasa dan kerinduan…

                Tanpa Nadia sadari matanya mulai berkaca-kaca dan menitikkan butir-butir kristal air mata. “Andai kamu tahu, Ar. Aku sangat merindukanmu disini. Bahkan bayangan wajahmu masih begitu jelasnya teringat dalam benak dan hatiku. Tak ada sedetik pun waktuku terbuang tanpa memikirkanmu. Dulu aku tak pernah begitu menghiraukan perasaanku. Tapi kini semuanya terasa sangat menyakitkan. Hidup jauh darimu. Hidup jauh dari Dinda sahabatku. Semuanya menyakitkan!” ingin sekali Nadia berteriak dalam sisa-sisa tangisannya. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah rengekan dan sendu sedan menahan derasnya air mata yang mengalir dari matanya. 
&&&
                Pagi ini Arya bangun dari tidurnya dengan rasa sakit yang menyergap di tangannya. Ia teringat hari kemarin. Sore hari waktu ia berjalan pulang menuju appartementnya yang tidak begitu jauh dari kampusnya ia bertemu dengan segerombolan penjahat yang tengah menodong seorang anak kecil. Dan perkelahianpun tak bisa dihindari. Arya sangat berjiwa sosial. Ia selalu membela yang lemah dan membantu yang kesusahan.
                Ia melirik jam alarm yang ada di meja samping tempat tidurnya. Jam menunjukkan pukul 07.00 a.m. Ia pun bergegas untuk mandi. Perih ia rasakan, tapi tidak pernah ia hiraukan. Siang ini ia berncana ke dokter untuk mengobati luka di tangannya.
                Selesai mandi ia langsung ganti baju dan sarapan di kamarnya. Seorang pelayang appartemennya menyapanya dengan senyum ceria.
                (dalam bahasa Perancis)
                “Selamat pagi, Tuan. Apa tidur Anda nyenyak semalam?”
                “Pagi. Yah, seperti yang kau lihat, August tanganku sakit sekali hingga terasa perih setiap ku gerakkan.” August seorang pelayan appartement membawakan makanan Arya ke meja makan.
                “Ah, semoga lekas sembuh, Tuan.”
                “Terima kasih untuk perhatianmu.” August adalah pelayan pribadi khusus untuk Arya. Karena Arya tak mengizinkan pelayan perempuan masuk ke kamarnya. Walau ia tinggal di Negara Barat, ia masih tetap mengedepankan adat Ketimurannya.
                “Menu makanan anda pagi ini, Tuan. Nasi putih, Lobster goreng saus tiram, dan minumnya ada es jeruk.” August mulai menata makanan di atas meja, sementara Arya mengambil tas di kamarnya. “Terima kasih, August.” Arya keluar dari kamarnya dan memberikan uang tip untuk August.
                “Tidak, Tuan. Terima kasih. Uang tip kemarin masih ada. Anda begitu baik pada saya.” Dengan tulus August menolak tawaran Arya. “Hahaha. Kau ini. Ya, sudah. Terima kasih banyak, ya.”
                “Sama-sama, Tuan. Semoga hari anda menyenangkan.” August keluar dari appartement Arya dan Arya pun mulai menikmati sarapannya. Kini ia kuliah di salah satu Universitas di Sorbone, Perancis dan ia mengambil Jurusan Administrasi Bisnis.
                Disela-sela Arya menikmati sarapannya, ia kembali teringat akan kenangan di masa akhir SMA-nya. Begitu ia rindukan senyuman, tatapan, dan kebaikan gadis itu. Setahun telah berlalu, tapi rasa itu tak pernah padam. Bahkan semakin bertambah banyak. “Sedang apa ya kamu sekarang, Nad? Dan bagaimana kabarmu disana? Aku merindukanmu dan sahabat kita, Dinda.” Pikirnya dalam hati. Ia tersenyum sendiri mengenang masa-masa SMAnya. Ia lihat jam di tangannya. Pukul 8 tepat, dengan segera Arya turun dari appartementnya dan mengambil mobil di parkiran gedung itu. Cepat-cepat ia tancap gas menuju sekolahnya. “Ayo, kita selesaikan ulangan terakhir ini.” Katanya dari balik kemudi.
&&&
                 Nadia keluar dari mobilnya dengan mata sembab karena habis menangis. Ia mengambil tishu di dalam tasnya dan menghapus sisa-sisa air mata di pelupuk matanya. Buru-buru ia masuk ke dalam gedung pertemuan tempat para anggota organisasi berkumpul. Baru saja ia melangkah masuk ke dalam gedung, ia sudah disapa oleh Miraldi, salah satu anggota organisasi. “Ah, baru saja aku akan mencarimu. Sedari tadi anak-anak sudah berkumpul. Rapat akan berlangsung, tapi kami masih menunggu kehadiranmu.”
                “Em,,, maaf, Miral. Aku tadi bangun tidur kesorean. Maaf banget, ya?” ucap Nadia parau. Nadia lalu melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Tapi tangannya di sentuh oleh Miral. “Kau kenapa? Matamu sembab. Habis menangis, ya?”
                “Eh, aku nggak apa-apa kok, Miral. Cuma kelilipan aja. Di luar banyak sekali debu beterbangan. Hehehe.” Nadia berusaha menyembunyikan perasaannya. “Em, ayo, Miral. Nggak usah kamu pikirin. Ayo rapat. Tadi katanya rapatnya mau dimulai. Ayo cepat!” ucap Nadia yang berusaha menghalau rasa malu karena dari tadi Miral memandanginya. Miraldi pun tersadar. “Oh, oke. Ayo ayo!” keduanya pun masuk ke dalam ruangan yang sudah dipenuhi banyak orang.
&&&
                Jam menunjukkan pukul 20.00, tapi Nadia masih berkonsentrasi menyelesaikan bab Penutup untuk proposalnya. Lelah begitu ia rasakan. Ia menggerakkan tulang kepalanya ke kiri dan kanan. Terdengar suara berderak. “Huhh, capek banget hari ini. Udah rapat sesorean hari. Masih aja proposalnya nggak selesai-selesai juga. Lama-lama bisa mati berdiri aku kalau kerjaannya segini banyaknya.”
                Karena begitu kecapekan, Nadia menyudahi pekerjaannya. Ia mematikan laptopnya dan berjalan menuju tempat tidur. Ia mengambil mp3 player di dekat meja belajarnya. Ia putar sebuah lagu dari Marcell yang berjudul Firasat. Kembali ia terlelap dalam bayang-bayang Arya yang hinggap di mimpinya.

                Kemarin kulihat awan membentuk wajahmu
                Desau angin meniupkan namamu
                Tubuhku terpaku semalam
                Bulan sabit melengkungkan senyummu
                Tabur bintang serupa kilau auramu
                Aku pun sadari ku sudah berlari
                Cepat pulang
                Cepat kembali jangan pergi lagi
                Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
                Cepat kembali jangan pergi lagi
                Akhirnya bagai sungai yang mendamba samudra
                Ku tahu pasti kemanakan ku bermuara
                Semoga ada waktu sayangku
                Ku percaya alam pun berbahasa
                Ada makna dibalik semua pertanda
                Firasat ini
                Rasa rindukah ataukah tanda bahaya
                Aku tak peduli ku terus berlari
                Cepat pulang
                Cepat kembali jangan pergi lagi
                Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
                Cepat kembali jangan pergi lagi
                Dan lihatlah sayang
                Hujan turun membasahi seolah ku berair mata
                Cepat pulang
                Cepat kembali jangan pergi lagi
                Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
                Cepat kembali jangan pergi lagi
                Firasatku ingin kau tuk cepat pulang
                Aku pun sadari engkaulah firasat hati

&&&
                “Hai, Nadia. Aku disini.” Teriak Dinda sambil melambaikan tangannya ke arah Nadia yang baru keluar dari pintu kedatangan Dalam Negeri di Bandara Soekarno Hatta. “Dinda.” Nadia melambaikan tangannya dan berlari menarik kopernya menghampiri Dinda. Mereka berduapun berpelukan.
                “Aku kangen.” Ucap Dinda tersedu-sedu karena tangis rasa bahagia yang tak bisa ia tahan. “He’um. Aku juga rindu padamu.” Mereka pun melepaskan pelukan tanda rindu itu. “Bagaimana kabarmu?” tanya Dinda yang sibuk menghapus sisa-sisa air matanya. “Ah, jangan menangis Dinda. Aku juga sangat merindukanmu, tau? Aku baik-baik saja.” Nadia tersenyum dan menggosok-nggosokkan telapak tangannya di punggung Dinda tanda bahwa Nadia begitu senang bisa berjumpa lagi dengan sahabatnya itu. “Ah, kamu ini.” Merekapun tertawa bersama-sama.
&&&
                “Hai.” Sapa Nadia pada Dinda. “Oh, hai.” Sore ini mereka berdua sedang menikmati udara sore di sebuah padang rumput ilalang. Rencananya mereka berdua akan piknik di sana. “Mana bekalnya? Katanya mau kamu bawain?” tanya Dinda bersemangat.
                Nadia tersenyum menggoda, “Tara!!! Ini dia bekal kita.” Nadia memberikan sebuah kotak piknik kepada Dinda yang bertepuk tangan senang seperti anak kecil yang kegirangan diberi permen lollipop oleh orang tuanya.
                “Wah, enak nih kelihatannya. Kamu masak sendiri ya, Nad?” Dinda langsung mencomot sebuah apel dari dalam kotak tersebut dan mulai menggigitnya.
                “Ya, iyalah. Cobain dong, Din. Aku pingin tau menurutmu masakanku gimana?” Dinda mulai mengambil nasi dan lauk yang disediakan oleh Nadia. “Emm,,,” ucap Dinda berdeham sambil terus mengunyah makanannya. “Gimana? Enak nggak? Nggak enak, ya?” tanya Nadia yang pesimis karena melihat raut wajah Dinda yang menjadi serius. Dinda hanya menanggapi ucapan Nadia dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
                “Yah, padahal kata mama. Masakanku enak.”
                “Hahaha. Bukan hanya enak. Tapi dua jempol untukmu. Kalau perlu empat sama jempol kaki sekalian. Hehehe.” Dinda tertawa melihat Nadia yang kecewa. Nadia langsung memukul-mukul Dinda. “Bercandanya jelek. Huhhh!!”
                “Biarin wekkk. Hemm, ngomong-ngomong kamu belajar masak dari siapa? Aku aja sampai sebesar ini belum bisa masak juga tuh. Paling notok masak nasi. Itu pun pakai rice cooker.”
                “Hah, payah kamu, Din. Gimana mau ada cowok yang naksir kamu kalau gitu caranya?”
                “Ah, masa bodoh sama cowok. Enak jomblo. Kalau nanti ada dokter ahli organ dalam yang naksir sama aku baru aku terima dia. Hahaha.” Ucap Dinda kePD’an.
                Mereka pun larut dalam suasana sore itu. Angin berhembus ria. Menyebarkan bau kering tanah. “Heh, kamu tau nggak kabar terakhir tentang Arya?” kata Dinda tiba-tiba hingga membuat Nadia tersedak.
                “Uhuk…. Uhuk.”
                “Ah, hati-hati dong kalau makan. Nih minum dulu!” Nadia pun meminum air putih yang diberikan Dinda.
                “Aku nggak tau, Din. Sejak Arya pindah kami sudah lost contact.”
                “Kok bisa sih? Padahal seminggu yang lalu dia telepon aku dan bilang kalau kabarnya baik-baik saja di sana. Cuaca di sana dingin terus hanya itu yang membuat dia nggak betah di sana. Dia sering meneleponku paling tidak dua minggu sekali.”
                “Yah, mungkin dia menganggapmu sebagai sahabat dekatnya maka dari itu dia hanya memberitahukan kabarnya kepadamu. Tapi aku senang dia baik-baik saja di sana.”
                “Oh, Nadia. Aku tau kamu begitu merindukannya. Tapi jangan khawatir ada berita bahagia untukmu.”
                “Apa itu, Din?”
                “Dalam seminggu lagi Arya bakal pulang ke Jakarta.” Dan berita itupun membuat Nadia tercengang.
&&&
                “Mengapa kau selalu berpikir bahwa kau bisa melakukan apa saja dengan seenaknya?” Nadia melotot kepada Dinda yang sedang mengemudikan mobilnya dengan tenang. Dinda lantas menoleh dan tersenyum lebar pada Nadia. “Karena aku ini Dinda. Dan Dinda bisa melakukan apa saja sesukanya.” Nadia berekspresi seperti berucap kata Whaat??
                “Kamu tenang aja. Kita pasti sampai tepat waktu.” Merekapun berbelok dari perempatan untuk menuju ke Bandara Soekarno Hatta. “Kau tahu? Kejadian ini sudah berulang dua kali, Dinda. Kau menculikku dan membawaku kabur ke Bandara. Dan alasannya sama yaitu karena Arya.”
                “Diam, Nad. Kita hampir sampai. Lagian ini juga kan yang kamu inginkan. Jangan membohongi perasaanmu sendiri. Kau mencintai Arya. Dan kau sangat merindukannya.” Dinda langsung memarkir mobilnya di depan Bandara. Dinda memutar matanya ke arah Nadia seolah berucap Apa lagi yang kau tunggu?? Dengan tergesa-gesa Nadia keluar dari mobil dan melangkah ke pintu mobil Dinda. “Kau tidak ikut?” Dinda tersenyum dan berkata, “Ini pertemuan dua sejoli yang eksklusif mana mungkin aku mengikutimu. Ayolah, jemput dia!” Nadia menghembuskan napas kesal dan membalikkan badannya untuk berlari ke dalam Bandara. Mana mungkin Dinda mau ikut? Dia kan selalu begitu. Menjadi seorang cupid yang benar-benar menyebalkan!

                Senyumanmu masih jelas terkenang
Hadir slalu seakan tak mau hilang dariku
Dariku
Takkan mudah kubisa melupakan segalanya
Yang telah terjadi diantara kau dan aku
Diantara kita berdua
Kini tak ada dorongan karena dari dirimu
Kini kau telah menghilang jauh dari diriku
Semua tinggal cerita antara kau dan aku
Namun satu yang belum engkau tahu
Api cintaku padamu tak pernah padam
Tak pernah padam
Takkan mudah ku bisa melupakan segalanya
Yang telah terjadi diantara kau dan aku
Diantara kita berdua
Kini tak ada dorongan karena dari dirimu
Kini kau telah menghilang jauh dari diriku
Semua tinggal cerita antara kau dan aku
Namun satu yang belum engkau tahu
Api cintaku padamu tak pernah padam
                By: Sandy Sandoro-Tak Pernah Padam

                Nadia berlari di sekitar area kedatangan luar negeri. Tapi ia tak melihat sosok Arya sama sekali. Ia terus berlari menyisiri area itu. Sampai ia tiba di belakang gerombolan orang-orang yang tengah menunggu kerabat atau seseorang lain di belakang batas besi. Nadia celingukan sendiri di sana. Mana Arya? Aduh dimana sih kamu itu?
                 Seorang ibu-ibu berlari menghampiri seorang pria muda yang berkaca mata. Mereka langsung berpelukan. Tangis bahagia menghiasi wajah ibu itu. Pemandangan yang biasa terjadi di Bandara ketika orang yang kita cintai selamat sampai tujuan tanpa kekurangan sesuatu apapun.
                Nadia berlari berkeliling melewati orang-orang yang berlalu lalang dengan membawa koper dan saling berbicara satu sama lain. Tak sengaja ia menabrak seorang laki-laki paruh baya yang memakai jas dan sedang berbicara dengan rekannya. “Maaf. Maafkan saya. Saya sedang terburu-buru. Permisi.” Dia lantas pergi tanpa melihat orang itu lagi.
                Gerombolan pramugari berjalan di depannya, Nadia pun menerobos mereka tanpa sabar. Seorang pramugari menjerit karena kakinya diinjak oleh Nadia. “Maaf mbak, maaf.” Nadia terus berlari sampai dia melihat seorang laki-laki yang cukup tinggi, berkulit putih, memakai kaca mata hitam, jas hitam dan kemeja putih yang sedang menyeret koper di belakangnya. Nadia berhenti berlari dan tertegun memandang laki-laki itu.
                Laki-laki itu tak tampak asing baginya. Laki-laki itu juga berhenti berjalan saat melihat Nadia. Dia tersenyum di depan Nadia. Jenis senyum yang sangat dikenali Nadia yang selalu hadir disetiap mimpi malamnya. Sedikit kesan sarkatis dan sinis ada di senyum itu. Laki-laki itu melepaskan kaca mata. Air mata mengalir dari pelupuk mata Nadia. Ingin sekali ia berlari dan memeluk pria itu, tapi kakinya tiba-tiba mati rasa dan tak dapat digerakkan. “Arya….” Bisiknya lirih.
                Mereka berdua berjalan mendekat bersamaan. Nadia terus menangis bahagia sedangkan Arya terlalu senang untuk tidak tersenyum pada Nadia. Setelah mereka mendekat Nadia mengangkat tangan kanannya dan menyentuh wajah Arya. Wajah itu yang dia lihat saat pertama kali jatuh karena tertabrak oleh seorang laki-laki. Arya tersenyum dan menggenggam tangan Nadia.
                “Kau menyentuh dan melihatku seperti aku ini arwah untukmu.” Ucap Arya pertama kalinya sejak setahun mereka berpisah. “Arya,” ucap Nadia lirih. Tiba-tiba ekspresinya berubah marah. Lalu tangannya terlepas dari tangan Arya dan dengan kilat menampar pipi Arya.
                “Auh, kau menamparku? Biasanya di film-film seorang wanita yang bertemu dengan orang yang dicintainya akan memeluk orang itu. Tapi kau malah menamparku.” Arya mengelus pipinya yang bersemu merah.
                “Kau meninggalkanku selama setahun. Tak pernah mengirimiku kabar setelah kau tiba di sana. Dan tak pernah mencoba mengirimiku surat sejak kau di sana. Kau pergi begitu saja meninggalkan hatiku yang sepi sendiri dan tak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku selama ini.” Nadia marah-marah di depan Arya dan terus menangis sampai Arya memeluknya.
                “Maafkan aku. Aku bodoh. Aku ingin kau bahagia. Dan aku tidak ingin membuatmu menangis karena merindukanku.” Nadia menangis di pundak Arya dan meletakkan kedua tangannya di punggung Arya.
                “Kau tidak bodoh, tapi idiot. Bagaimana bisa kamu bilang aku tidak boleh merindukanmu? Sementara setiap menit dalam hidupku, aku selalu merindukanmu dan memikirkan kabarmu.”
                Arya melepaskan pelukan mereka dan menyeka tangis di pelupuk mata Nadia. “Kau bahagia sekarang?” Tanya Arya. “Iya.” Nadia mengangguk senang dan tersenyum. Mereka pun tertawa dan berpelukan. “Aku juga bahagia.” Ucap Arya berbisik.

                                THE END…

Total Pageviews

Poll

Followers

About Me

Foto saya
Hai, aku Aulia Eka Putri Purnama. bisa dipanggil Al. duduk di kelas XI-MM di SMKN 1 Tuban. :))