ARTI
CINTA SESUNGGUHNYA
PART
2
Tak terasa setahun sudah Arya
pergi dari hidup Nadia dan sudah setahun pula Nadia kuliah di Jurusan Pertanian
di UGM. Minggu depan ia sudah libur akhir semester dan ia berencana untuk
berlibur ke Jakarta tepatnya pulang ke kampung halamannya.
Sore ini ia sangat terburu-buru
bangun dari tidur siangnya karena ia harus mengurus beberapa proposal sekolah.
Dengan secepat kilat ia bergegas ke kamar mandi untuk mandi lalu ia segera
turun dari kamarnya menuju lantai satu untuk berpamitan pada tantenya yaitu
tante Risma. Maklum, di Yogyakarta ia memang tinggal di rumah tantenya.
“Sore, tante.” Sapanya pada
tante Risma sambil menuruni anak tangga.
“Sore, sayang. Udah bangun kamu?
Nggak makan dulu? Tadi kan kamu belum sempat makan siang?” tanya tantenya dari
balik sofa dekat ruang keluarga.
“Nggak usah tante. Nadia makan
di kampus aja. Entar Nadia telat lagi.” Nadia lalu masuk ke dapur dan mengambil
dua helai roti lalu cepat-cepat ia masukkan ke dalam mulutnya.
“Lho, bukannya kamu udah selesai
ulangan semester? Emang ada apa lagi di kampus?”
“Ada urusan organisasi yang
harus Nadia kerjakan tante.” Jawabnya samar-samar karena mulutnya penuh dengan
roti karena itu Nadiapun tersedak. “Uhuk…. Uhuk.” Ia menepuk-nepuk dadanya
dengan telapak tangannya. Cepat-cepat ia minum air yang ada di sampingnya.
“Kamu tuh ya, kalau makan jangan
ngomong dulu. Gitu kan akibatnya.”
“Hehehe. Ya udah. Aku pergi ke
kampus dulu ya, tan. Nanti Oliv, biar aku aja yang jemput. Aku pulang jam 5
sore kok. Jadi bisalah mampir dulu ke tempat les Oliv.” Oliv adalah anak dari
tante Risma yang tak lain juga sepupu Nadia.
“Ya, sudah. Makasih ya, Nad.”
“Sama-sama, tante.” Nadia pun
berpamitan dan mencium tangan tantenya. “Assalammualaikum.”
“Wa’alaikum salam. Hati-hati di
jalan. Jangan ngebut!” Peringat tantenya.
“Ya, tante.” Teriak Nadia dari
luar rumah.
Nadia mengambil mobilnya yang
berwarna biru di garasi rumah. Kemudian ia langsung tancap gas menuju
kampusnya. Kurang dari setengah jam lagi rapat akan dimulai, kalau dia tidak
cepat-cepat berangkat maka bisa-bisa Nadia telat datang. Dalam perjalannannya
yang lumayan jauh tiba-tiba bayangan Arya datang menghampiri. Dalam hati ia
bertanya, “Kenapa ya Allah bayangan itu
selalu datang disaat yang tidak tepat seperti ini? Aku harus konsen mengemudi.
Tapi walau bagaimanapun aku memang merindukannya. Apa dia disana juga
merindukanku?” dengan sebal Nadia menekan tombol on pada mp3 player di
mobilnya. Lagu Rindu dari Kerispatih pun
mengalun dengan merdu….
Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu
dihatinya
Embun pagi katakan padanya
Biar kudekap erat waktu dingin
membelenggunya
Bintang malam sampaikan padanya
Aku ingin melukis sinarmu
dihatinya
Embun pagi katakan padanya
Biar kudekap erat waktu dingin
membelenggunya
Taukah engkau wahai langit
Aku ingin bertemu membelai
wajahnya
Kan kupasang hiasan angkasa yang
terindah hanya untuk dirinya
Lagu rindu ini kuciptakan hanya
untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Izinkanku ungkap segenap rasa
dan kerinduan…
Tanpa Nadia sadari matanya mulai
berkaca-kaca dan menitikkan butir-butir kristal air mata. “Andai kamu tahu, Ar. Aku sangat merindukanmu disini. Bahkan bayangan
wajahmu masih begitu jelasnya teringat dalam benak dan hatiku. Tak ada sedetik
pun waktuku terbuang tanpa memikirkanmu. Dulu aku tak pernah begitu
menghiraukan perasaanku. Tapi kini semuanya terasa sangat menyakitkan. Hidup jauh
darimu. Hidup jauh dari Dinda sahabatku. Semuanya menyakitkan!” ingin
sekali Nadia berteriak dalam sisa-sisa tangisannya. Tapi yang keluar dari
mulutnya hanyalah rengekan dan sendu sedan menahan derasnya air mata yang
mengalir dari matanya.
&&&
Pagi ini Arya bangun dari
tidurnya dengan rasa sakit yang menyergap di tangannya. Ia teringat hari
kemarin. Sore hari waktu ia berjalan pulang menuju appartementnya yang tidak
begitu jauh dari kampusnya ia bertemu dengan segerombolan penjahat yang tengah
menodong seorang anak kecil. Dan perkelahianpun tak bisa dihindari. Arya sangat
berjiwa sosial. Ia selalu membela yang lemah dan membantu yang kesusahan.
Ia melirik jam alarm yang ada di
meja samping tempat tidurnya. Jam menunjukkan pukul 07.00 a.m. Ia pun bergegas
untuk mandi. Perih ia rasakan, tapi tidak pernah ia hiraukan. Siang ini ia
berncana ke dokter untuk mengobati luka di tangannya.
Selesai mandi ia langsung ganti
baju dan sarapan di kamarnya. Seorang pelayang appartemennya menyapanya dengan
senyum ceria.
(dalam bahasa Perancis)
“Selamat pagi, Tuan. Apa tidur
Anda nyenyak semalam?”
“Pagi. Yah, seperti yang kau
lihat, August tanganku sakit sekali hingga terasa perih setiap ku gerakkan.”
August seorang pelayan appartement membawakan makanan Arya ke meja makan.
“Ah, semoga lekas sembuh, Tuan.”
“Terima kasih untuk
perhatianmu.” August adalah pelayan pribadi khusus untuk Arya. Karena Arya tak
mengizinkan pelayan perempuan masuk ke kamarnya. Walau ia tinggal di Negara
Barat, ia masih tetap mengedepankan adat Ketimurannya.
“Menu makanan anda pagi ini,
Tuan. Nasi putih, Lobster goreng saus tiram, dan minumnya ada es jeruk.” August
mulai menata makanan di atas meja, sementara Arya mengambil tas di kamarnya.
“Terima kasih, August.” Arya keluar dari kamarnya dan memberikan uang tip untuk
August.
“Tidak, Tuan. Terima kasih. Uang
tip kemarin masih ada. Anda begitu baik pada saya.” Dengan tulus August menolak
tawaran Arya. “Hahaha. Kau ini. Ya, sudah. Terima kasih banyak, ya.”
“Sama-sama, Tuan. Semoga hari
anda menyenangkan.” August keluar dari appartement Arya dan Arya pun mulai
menikmati sarapannya. Kini ia kuliah di salah satu Universitas di Sorbone,
Perancis dan ia mengambil Jurusan Administrasi Bisnis.
Disela-sela Arya menikmati
sarapannya, ia kembali teringat akan kenangan di masa akhir SMA-nya. Begitu ia
rindukan senyuman, tatapan, dan kebaikan gadis itu. Setahun telah berlalu, tapi
rasa itu tak pernah padam. Bahkan semakin bertambah banyak. “Sedang apa ya kamu sekarang, Nad? Dan
bagaimana kabarmu disana? Aku merindukanmu dan sahabat kita, Dinda.”
Pikirnya dalam hati. Ia tersenyum sendiri mengenang masa-masa SMAnya. Ia lihat
jam di tangannya. Pukul 8 tepat, dengan segera Arya turun dari appartementnya
dan mengambil mobil di parkiran gedung itu. Cepat-cepat ia tancap gas menuju
sekolahnya. “Ayo, kita selesaikan ulangan terakhir ini.” Katanya dari balik
kemudi.
&&&
Nadia keluar dari mobilnya dengan mata sembab
karena habis menangis. Ia mengambil tishu di dalam tasnya dan menghapus
sisa-sisa air mata di pelupuk matanya. Buru-buru ia masuk ke dalam gedung
pertemuan tempat para anggota organisasi berkumpul. Baru saja ia melangkah
masuk ke dalam gedung, ia sudah disapa oleh Miraldi, salah satu anggota
organisasi. “Ah, baru saja aku akan mencarimu. Sedari tadi anak-anak sudah
berkumpul. Rapat akan berlangsung, tapi kami masih menunggu kehadiranmu.”
“Em,,, maaf, Miral. Aku tadi
bangun tidur kesorean. Maaf banget, ya?” ucap Nadia parau. Nadia lalu
melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Tapi tangannya di sentuh oleh Miral.
“Kau kenapa? Matamu sembab. Habis menangis, ya?”
“Eh, aku nggak apa-apa kok,
Miral. Cuma kelilipan aja. Di luar banyak sekali debu beterbangan. Hehehe.”
Nadia berusaha menyembunyikan perasaannya. “Em, ayo, Miral. Nggak usah kamu
pikirin. Ayo rapat. Tadi katanya rapatnya mau dimulai. Ayo cepat!” ucap Nadia
yang berusaha menghalau rasa malu karena dari tadi Miral memandanginya. Miraldi
pun tersadar. “Oh, oke. Ayo ayo!” keduanya pun masuk ke dalam ruangan yang
sudah dipenuhi banyak orang.
&&&
Jam menunjukkan pukul 20.00,
tapi Nadia masih berkonsentrasi menyelesaikan bab Penutup untuk proposalnya.
Lelah begitu ia rasakan. Ia menggerakkan tulang kepalanya ke kiri dan kanan.
Terdengar suara berderak. “Huhh, capek banget hari ini. Udah rapat sesorean
hari. Masih aja proposalnya nggak selesai-selesai juga. Lama-lama bisa mati
berdiri aku kalau kerjaannya segini banyaknya.”
Karena begitu kecapekan, Nadia
menyudahi pekerjaannya. Ia mematikan laptopnya dan berjalan menuju tempat
tidur. Ia mengambil mp3 player di dekat meja belajarnya. Ia putar sebuah lagu
dari Marcell yang berjudul Firasat. Kembali ia terlelap dalam
bayang-bayang Arya yang hinggap di mimpinya.
Kemarin kulihat awan membentuk
wajahmu
Desau angin meniupkan namamu
Tubuhku terpaku semalam
Bulan sabit melengkungkan
senyummu
Tabur bintang serupa kilau
auramu
Aku pun sadari ku sudah berlari
Cepat pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat
pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi
Akhirnya bagai sungai yang mendamba
samudra
Ku tahu pasti kemanakan ku
bermuara
Semoga ada waktu sayangku
Ku percaya alam pun berbahasa
Ada makna dibalik semua pertanda
Firasat ini
Rasa rindukah ataukah tanda
bahaya
Aku tak peduli ku terus berlari
Cepat pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat
pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi
Dan lihatlah sayang
Hujan turun membasahi seolah ku
berair mata
Cepat pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat
pulang
Cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku ingin kau tuk cepat
pulang
Aku pun sadari engkaulah firasat
hati
&&&
“Hai, Nadia. Aku disini.” Teriak
Dinda sambil melambaikan tangannya ke arah Nadia yang baru keluar dari pintu
kedatangan Dalam Negeri di Bandara Soekarno Hatta. “Dinda.” Nadia melambaikan
tangannya dan berlari menarik kopernya menghampiri Dinda. Mereka berduapun
berpelukan.
“Aku kangen.” Ucap Dinda
tersedu-sedu karena tangis rasa bahagia yang tak bisa ia tahan. “He’um. Aku
juga rindu padamu.” Mereka pun melepaskan pelukan tanda rindu itu. “Bagaimana
kabarmu?” tanya Dinda yang sibuk menghapus sisa-sisa air matanya. “Ah, jangan
menangis Dinda. Aku juga sangat merindukanmu, tau? Aku baik-baik saja.” Nadia
tersenyum dan menggosok-nggosokkan telapak tangannya di punggung Dinda tanda
bahwa Nadia begitu senang bisa berjumpa lagi dengan sahabatnya itu. “Ah, kamu
ini.” Merekapun tertawa bersama-sama.
&&&
“Hai.” Sapa Nadia pada Dinda.
“Oh, hai.” Sore ini mereka berdua sedang menikmati udara sore di sebuah padang
rumput ilalang. Rencananya mereka berdua akan piknik di sana. “Mana bekalnya?
Katanya mau kamu bawain?” tanya Dinda bersemangat.
Nadia tersenyum menggoda,
“Tara!!! Ini dia bekal kita.” Nadia memberikan sebuah kotak piknik kepada Dinda
yang bertepuk tangan senang seperti anak kecil yang kegirangan diberi permen
lollipop oleh orang tuanya.
“Wah, enak nih kelihatannya.
Kamu masak sendiri ya, Nad?” Dinda langsung mencomot sebuah apel dari dalam
kotak tersebut dan mulai menggigitnya.
“Ya, iyalah. Cobain dong, Din.
Aku pingin tau menurutmu masakanku gimana?” Dinda mulai mengambil nasi dan lauk
yang disediakan oleh Nadia. “Emm,,,” ucap Dinda berdeham sambil terus mengunyah
makanannya. “Gimana? Enak nggak? Nggak enak, ya?” tanya Nadia yang pesimis
karena melihat raut wajah Dinda yang menjadi serius. Dinda hanya menanggapi
ucapan Nadia dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Yah, padahal kata mama.
Masakanku enak.”
“Hahaha. Bukan hanya enak. Tapi
dua jempol untukmu. Kalau perlu empat sama jempol kaki sekalian. Hehehe.” Dinda
tertawa melihat Nadia yang kecewa. Nadia langsung memukul-mukul Dinda.
“Bercandanya jelek. Huhhh!!”
“Biarin wekkk. Hemm,
ngomong-ngomong kamu belajar masak dari siapa? Aku aja sampai sebesar ini belum
bisa masak juga tuh. Paling notok masak nasi. Itu pun pakai rice cooker.”
“Hah, payah kamu, Din. Gimana
mau ada cowok yang naksir kamu kalau gitu caranya?”
“Ah, masa bodoh sama cowok. Enak
jomblo. Kalau nanti ada dokter ahli organ dalam yang naksir sama aku baru aku
terima dia. Hahaha.” Ucap Dinda kePD’an.
Mereka pun larut dalam suasana
sore itu. Angin berhembus ria. Menyebarkan bau kering tanah. “Heh, kamu tau
nggak kabar terakhir tentang Arya?” kata Dinda tiba-tiba hingga membuat Nadia
tersedak.
“Uhuk…. Uhuk.”
“Ah, hati-hati dong kalau makan.
Nih minum dulu!” Nadia pun meminum air putih yang diberikan Dinda.
“Aku nggak tau, Din. Sejak Arya
pindah kami sudah lost contact.”
“Kok bisa sih? Padahal seminggu
yang lalu dia telepon aku dan bilang kalau kabarnya baik-baik saja di sana.
Cuaca di sana dingin terus hanya itu yang membuat dia nggak betah di sana. Dia
sering meneleponku paling tidak dua minggu sekali.”
“Yah, mungkin dia menganggapmu
sebagai sahabat dekatnya maka dari itu dia hanya memberitahukan kabarnya
kepadamu. Tapi aku senang dia baik-baik saja di sana.”
“Oh, Nadia. Aku tau kamu begitu
merindukannya. Tapi jangan khawatir ada berita bahagia untukmu.”
“Apa itu, Din?”
“Dalam seminggu lagi Arya bakal
pulang ke Jakarta.” Dan berita itupun membuat Nadia tercengang.
&&&
“Mengapa kau selalu berpikir
bahwa kau bisa melakukan apa saja dengan seenaknya?” Nadia melotot kepada Dinda
yang sedang mengemudikan mobilnya dengan tenang. Dinda lantas menoleh dan
tersenyum lebar pada Nadia. “Karena aku ini Dinda. Dan Dinda bisa melakukan apa
saja sesukanya.” Nadia berekspresi seperti berucap kata Whaat??
“Kamu tenang aja. Kita pasti
sampai tepat waktu.” Merekapun berbelok dari perempatan untuk menuju ke Bandara
Soekarno Hatta. “Kau tahu? Kejadian ini sudah berulang dua kali, Dinda. Kau
menculikku dan membawaku kabur ke Bandara. Dan alasannya sama yaitu karena
Arya.”
“Diam, Nad. Kita hampir sampai.
Lagian ini juga kan yang kamu inginkan. Jangan membohongi perasaanmu sendiri.
Kau mencintai Arya. Dan kau sangat merindukannya.” Dinda langsung memarkir mobilnya
di depan Bandara. Dinda memutar matanya ke arah Nadia seolah berucap Apa lagi yang kau tunggu?? Dengan
tergesa-gesa Nadia keluar dari mobil dan melangkah ke pintu mobil Dinda. “Kau
tidak ikut?” Dinda tersenyum dan berkata, “Ini pertemuan dua sejoli yang
eksklusif mana mungkin aku mengikutimu. Ayolah, jemput dia!” Nadia
menghembuskan napas kesal dan membalikkan badannya untuk berlari ke dalam
Bandara. Mana mungkin Dinda mau ikut? Dia
kan selalu begitu. Menjadi seorang cupid yang benar-benar menyebalkan!
Senyumanmu masih jelas terkenang
Hadir slalu seakan tak mau hilang dariku
Dariku
Takkan mudah kubisa melupakan segalanya
Yang telah terjadi diantara kau dan aku
Diantara kita berdua
Kini tak ada dorongan karena dari dirimu
Kini kau telah menghilang jauh dari diriku
Semua tinggal cerita antara kau dan aku
Namun satu yang belum engkau tahu
Api cintaku padamu tak pernah padam
Tak pernah padam
Takkan mudah ku bisa melupakan segalanya
Yang telah terjadi diantara kau dan aku
Diantara kita berdua
Kini tak ada dorongan karena dari dirimu
Kini kau telah menghilang jauh dari diriku
Semua tinggal cerita antara kau dan aku
Namun satu yang belum engkau tahu
Api cintaku padamu tak pernah padam
By: Sandy Sandoro-Tak Pernah Padam
Nadia berlari di sekitar area
kedatangan luar negeri. Tapi ia tak melihat sosok Arya sama sekali. Ia terus
berlari menyisiri area itu. Sampai ia tiba di belakang gerombolan orang-orang
yang tengah menunggu kerabat atau seseorang lain di belakang batas besi. Nadia
celingukan sendiri di sana. Mana Arya?
Aduh dimana sih kamu itu?
Seorang ibu-ibu berlari menghampiri seorang
pria muda yang berkaca mata. Mereka langsung berpelukan. Tangis bahagia
menghiasi wajah ibu itu. Pemandangan yang biasa terjadi di Bandara ketika orang
yang kita cintai selamat sampai tujuan tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Nadia berlari berkeliling
melewati orang-orang yang berlalu lalang dengan membawa koper dan saling
berbicara satu sama lain. Tak sengaja ia menabrak seorang laki-laki paruh baya
yang memakai jas dan sedang berbicara dengan rekannya. “Maaf. Maafkan saya.
Saya sedang terburu-buru. Permisi.” Dia lantas pergi tanpa melihat orang itu
lagi.
Gerombolan pramugari berjalan di
depannya, Nadia pun menerobos mereka tanpa sabar. Seorang pramugari menjerit
karena kakinya diinjak oleh Nadia. “Maaf mbak, maaf.” Nadia terus berlari
sampai dia melihat seorang laki-laki yang cukup tinggi, berkulit putih, memakai
kaca mata hitam, jas hitam dan kemeja putih yang sedang menyeret koper di
belakangnya. Nadia berhenti berlari dan tertegun memandang laki-laki itu.
Laki-laki itu tak tampak asing
baginya. Laki-laki itu juga berhenti berjalan saat melihat Nadia. Dia tersenyum
di depan Nadia. Jenis senyum yang sangat dikenali Nadia yang selalu hadir
disetiap mimpi malamnya. Sedikit kesan sarkatis dan sinis ada di senyum itu.
Laki-laki itu melepaskan kaca mata. Air mata mengalir dari pelupuk mata Nadia.
Ingin sekali ia berlari dan memeluk pria itu, tapi kakinya tiba-tiba mati rasa
dan tak dapat digerakkan. “Arya….” Bisiknya lirih.
Mereka berdua berjalan mendekat
bersamaan. Nadia terus menangis bahagia sedangkan Arya terlalu senang untuk
tidak tersenyum pada Nadia. Setelah mereka mendekat Nadia mengangkat tangan
kanannya dan menyentuh wajah Arya. Wajah itu yang dia lihat saat pertama kali
jatuh karena tertabrak oleh seorang laki-laki. Arya tersenyum dan menggenggam
tangan Nadia.
“Kau menyentuh dan melihatku
seperti aku ini arwah untukmu.” Ucap Arya pertama kalinya sejak setahun mereka
berpisah. “Arya,” ucap Nadia lirih. Tiba-tiba ekspresinya berubah marah. Lalu
tangannya terlepas dari tangan Arya dan dengan kilat menampar pipi Arya.
“Auh, kau menamparku? Biasanya
di film-film seorang wanita yang bertemu dengan orang yang dicintainya akan
memeluk orang itu. Tapi kau malah menamparku.” Arya mengelus pipinya yang
bersemu merah.
“Kau meninggalkanku selama
setahun. Tak pernah mengirimiku kabar setelah kau tiba di sana. Dan tak pernah
mencoba mengirimiku surat sejak kau di sana. Kau pergi begitu saja meninggalkan
hatiku yang sepi sendiri dan tak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku selama
ini.” Nadia marah-marah di depan Arya dan terus menangis sampai Arya
memeluknya.
“Maafkan aku. Aku bodoh. Aku
ingin kau bahagia. Dan aku tidak ingin membuatmu menangis karena merindukanku.”
Nadia menangis di pundak Arya dan meletakkan kedua tangannya di punggung Arya.
“Kau tidak bodoh, tapi idiot.
Bagaimana bisa kamu bilang aku tidak boleh merindukanmu? Sementara setiap menit
dalam hidupku, aku selalu merindukanmu dan memikirkan kabarmu.”
Arya melepaskan pelukan mereka
dan menyeka tangis di pelupuk mata Nadia. “Kau bahagia sekarang?” Tanya Arya.
“Iya.” Nadia mengangguk senang dan tersenyum. Mereka pun tertawa dan
berpelukan. “Aku juga bahagia.” Ucap Arya berbisik.
THE
END…

